Jadi gimana sih rasanya mudik?
Merantau. Sudah sejak kecil saya melakukannya, mengikuti kedua orang tua. Ya, sebelum saya masuk ke sekolah dasar, Bapak sudah membawa saya pergi jauh dari kota kelahiran. Dari Jawa Barat menuju ke Jawa Tengah. Sampai hari ini, sudah hampir lebih dari dua puluh tahun seperti usia saya.
Selama itu pulalah, mudik selalu saya lakukan. Dari yang awalnya harus menunggu setahun sekali untuk pulang sampai Alhamdulilah bisa berkunjung tak harus menunggu lebaran. Dari yang merasakan menunggu bus di terminal dengan menenteng kardus-kardus sampai Alhamdulilah bisa kemana-mana tinggal lurus. Eh maksudnya tidak perlu menunggu penumpang lainnya, bisa menyusun jadwal sendiri dengan mobil pribadi. Alhamdulilah.
Menemukan Sukanya Mudik
Bagi yang tidak pernah merasakan apa itu mudik, pertanyaan soal bagaimana rasanya mudik barangkali jadi membuat penasaran. Apalagi soal sukanya mudik.
Memang sukanya ada dibagian mananya sih? Kok mau-maunya tiap tahun menempuh beratus kilometer hanya untuk beberapa hari saja, apa nggak capek?
Ah, mungkin kalian juga sebenarnya sudah tahu sukanya ada dimana. Di momen pertemuannya. Benar. Menjadi jauh setelah sekian lama lalu jadi bertemu itu seperti rindu yang sedang dibayar lunas, walau nantinya tak pernah juga jadi tuntas. Faktanya sukanya mudik memang tercipta disetiap momen pertemuan dan kebersamaannya. Yang membuat jarak itu cuma soal angka bukan alasan untuk tidak jumpa.
Namun bukan hanya dibagian bertemu keluarga besar saja, sukanya mudik juga ditawarkan dari perjalanan yang kita lakukan. Menjadi mudik selalu membuat perjalanan menuju kampung halaman menjadi suatu yang dinanti dengan suka cita. Seperti ada sensasi yang berbeda saja rasanya dari sekadar pergi ke suatu tempat. Seru.
Meski kadang ada juga kejengkelan yang terjadi di perjalanan seperti bertemu pengendara lain yang ugal-ugalan atau macet yang tiba-tiba datang, perjalanan mudik tetap menjadi suatu yang tidak membuat jadi kapok untuk mengulanginya. Demi untuk pulang menuju kampung halaman, kejengkelan itu cuma iklan yang hanya numpang lewat saja. Mungkin juga gara-gara rindu yang ikut jadi barang bawaan di bagasi, perjalanan mudik jadi begitu dinikmati.
Utamakan keselamatan, kita tetap sama-sama hati-hati di jalan,ya.
Selain Suka, Begini Duka yang Selalu Hadir Ketika Mudik Tiba
Ada suka ada duka. Duka mudik juga ada dan sering membuat sesak di dada. Nyesek.
Duka mudik muncul ketika saya (kami) harus kembali lagi ke perantauan. Menjadi meninggalkan. Apalagi momen bertemu dengan orang-orang tersayang membuat waktu jadi begitu saja berlalu, seperti dipercepat. Hiks.
Padahal baru kemarin rasanya kebersamaan itu diciptakan tiba-tiba saja sudah tiba waktu kami satu per satu menjadi harus kembali. Rumah Nenek di kampung halaman yang semula sepi lalu ramai jadi sepi lagi. Ya, dukanya mudik ada dibagian ini. Dimana kami harus menjalani rutinitas kembali di kotanya masing-masing pun untuk merindu lagi.
Sedih? Iya. Sebab menjadi harus jauh lagi kadang butuh adaptasi. Walau sudah mudik berkali-kali, rasa sesak meninggalkan tetap saja masih terjadi. Benci? Tidak juga. Sebab sudah jalannya memang begini, di tiap pertemuan pasti ada perpisahan. Juga rindu. Toh, perpisahan yang terjadi juga menjelma jadi pengingat bahwa jangan lupa untuk pulang kembali.
***
Bagi mereka yang tidak mudik, smoga singkat tulisan ini bisa memberikan sedikit gambaran,ya. Selamat mudik bagi yang menjalankan. Yang tidak mudik, mudah-mudahan tahun depan bisa mudik ke kampung halaman mertua #eh
Salam,
Listhia H. Rahman
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H