Saya tidak tahu cerita ini benar-benar lucu atau biasa saja. Namun, bagi saya mengingat kejadian ini adalah suatu yang lucu nan menggemaskan, sih. Membuat saya susah lupa begitu saja.
Ramadan di Perumahan Kami
Setiap memasuki bulan Ramadan ada yang selalu didambakan kehadirannya terutama bagi anak-anak di perumahan kami, mengaji. Ya, sebenarnya soal mengaji ini juga sudah ada di hari-hari di bulan bukan puasa, namun rasanya beda saja. Bukan. Bukan semata-mata ada takjilnya, lho. Itu hanya salah satu alasan diantara alasan yang membuat bahagia lainnya. Entah apa alasannya lagi tetapi yang jelas suasananya benar-benar membuat rindu.
Selama bulan Ramadan, masjid tempat biasanya mengaji biasanya akan lebih ramai oleh para santriwan/wati. Tapi tidak apa-apa, tidak ada yang lalu disuruh pulang ketika sebelumnya tak pernah datang, sebab di masjid kami selama puasa dengan senang hati menerima anak-anak yang ingin belajar atau sekadar datang lalu meminta takjilan. Terbukti, di bulan Ramadan jumlah santriwan/wati memang melonjak jika dibandingkan biasanya, mencapai ratusan dan bahkan ada juga yang datang dari luar kelurahan kami berada. Kalau dipikir masjid di perumahan kami, pernah terkenal dimasanya.
Sampai sini, sudah bisa dibayangkan belum susana mengaji bulan Ramadan di perumahan kami?
Pengajian Bulan Ramadan
Selain belajar mengaji, hal yang membuat berbeda dan makin semarak adalah adanya kakak-kakak (yang sudah masuk usia remaja) yang turut serta mengajari kami. Mereka datang sembari mengajari banyak kegiatan dari mulai belajar sholat, wudhu, berbagi cerita nabi juga bernyanyi. Kegiatan menyenangkan untuk mengisi waktu jelang berbuka, gitu deh.
Oya, dulu kami sering memanggil kakak-kakak yang mengajar selama Ramadan itu dengan sebutan ustadz/ustadzah. Waktu itu kami menganggap semua yang mengajar disebut dengan panggilan demikian. Tetapi sekarang sih sudah diluruskan, bahwa kakak itu adalah kakak-kakak bukan ustadz/ustadzah. Berat juga sih dipanggil dengan sebutan ini! Hehe.
Di akhir bulan Ramadan, ada agenda yang selalu kami lakukan sebagai ajang pembuktian kegiatan selama ini. Agenda yang juga menjadi puncak kegiatan mengaji, pentas seni. Pentas seni yang menampilkan banyak pertunjukan dengan tema yang berbeda tiap tahunnya. Mulai dari drama, gerak lagu, main rebana dan berpuisi, macam-macam.
Diantara pertunjukan itu, terselip momen yang juga sering ditunggu, pengumuman ustadz/dzah ter-. Dimana sebelumnya kami, para santriwan/wati diberi kesempatan untuk memberi voting siapa ustadz/dzah yang menurut kami masuk kedalam kategori terapi, terlucu, terbaik, terajin dan tergalak sampai ada juga terfavorit. Ya, untuk kategori tergalak memang sedikit mengerikan tetapi kenyataannya ya memang ada dan selalu saja ada nama yang bertahan, orangnya itu-itu saja. HEHE.
Ketika Giliran Itu Tiba
Seiring berjalannya waktu, saya tidak lagi menjadi santri. Ya, giliran itu tiba. Giliran untuk menjadi dan merasakan posisi di kakak-kakak itu. Bukan santri yang tugasnya hanya duduk dan mengamati lagi, tetapi yang jadi di depan dan belajar mengajari.
Dari awal sampai purna tugas (halah), saya selalu mendapat bagian untuk mengajar anak-anak yang masih kecil-kecil, kira-kira dari rentang usia TK sampai SD awal. Ya, dari empat tingkatan mengaji di masjid yaitu TK A, TPA 1, TPA 2 dan TPR (Remaja), saya biasanya ditempatkan di TK A atau TPA 1. Bersyukur sih karena mengajari mereka tidak perlu materi yang susah, seperti menghafal doa harian, menggambar, menyanyi atau bermain lari-larian. HAHA. Tetapi tidak selamanya menyenangkan juga, karena ngga jarang mereka ada yang tidak mau diatur (banyak) dan lagi nakal-nakalnya. Saya yang tidak bisa galak, sungguh menyiksa!
Pun ketika pemilihan itu tiba. Akhirnya saya bukan lagi memilih tetapi dipilih. Pemilihan ustadz-ustadzah harus saya rasakan juga. Deg-degkan,ih! HAHA lebay! Padahal belum tentu ada yang mau memilih.
Tetapi, ternyata...nama saya pernah disebut di panggung pentas seni itu, dihadapan orang tua santriwan/santriwati (yang juga turut hadir orang tua saya) dan yang paling greget juga di hadapan pengurus masjid yang nantinya kan memberikan penghargaan kepada para ustadz-ustadzah ter-.
Bukan terapi, karena ada yang sudah kelihatan necisnya setiap hari. Bukan terajin, karena saya pernah tak datang. Bukan terlucu, karena mau ngelucu saja sok wagu. Bukan juga tergalak, membentak saja tak tega rasanya. Terfavorit, ah itu ngimpi. Tetapi ternyata saja jadi ter.......
IMUT!
Haaaa?
Saya bingung, karena kategori macam ini belum pernah ada di tahun sebelumnya. Pun di tahun setelahnya. HAHA. Kocak pun membuat saya tersipu malu. Ah, saya tahu kunci mengapa saya bisa sukses besar mendapat label ini. Sebab saya punya pendukung yang loyal, adik-adik kecil itu sepertinya pendukung terbesar saya.
Saya tidak ingat, saya pernah maju karena dipanggil mendapat kategori ustadz/ustadzah ter- ini pada tahun berapa.
Terima kasih, saya tetap bangga!
*cerita ini real bukan hoaks, berikut adalah bukti pemungutan suara. Dari resolusi foto tersebut, bisa nebak ngga itu tahun berapa?*
Listhia H Rahman
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H