Diingat-ingat, ternyata pernikahan kakak di tahun 2013 adalah momen terakhir kali dimana kami bisa berkumpul lalu mengabadikannya dalam satu bingkai foto. Setelahnya, sampai tahun berganti sampai di tahun 2017, momen untuk kembali mengulangnya jadi langka. Teramat mahal karena uangpun kadang tak bisa membeli waktu.Kesibukan yang tak sama juga tempat kami yang jadi berbeda, dua alasan utama yang bisa mendasarinya. Terutama kami, sebagai anak-anak yang kini telah beranjak dewasa.
Beberapa yang menjadi teman saya di media sosial sebelah mungkin sudah pernah membaca tulisan bercetak miring diatas. Ya, memang tulisan bercetak miring yang baru saja dan nantinya akan kalian temukan dan baca adalah kutipan status saya di awal tahun yang lalu. Sengaja, saya letakkan di tiap-tiap bagian yang saya anggap pantas. Sebab dari status itu masih banyak hal yang bisa saya ceritakan tentang bagaimana sederhananya momen terbaik yang selalu berhasil menghadirkan kehangatan keluarga kami.
Sejauh dan Sesibuk Apapun, Kembalilah Pada Tempat Bernama Rumah
Seperti kata orang, sesuatu akan terlihat berharga ketika kita meninggalkannya. Pun begitu dengan sebutan tempat bernama rumah. Dulu sewaktu saya masih menghabiskan banyak waktu di rumah, saya kira rumah adalah sesuatu yang membosankan. Hingga momen pergi semisal jalan-jalan ke luar kota menjadi yang dinanti. Tetapi, saya sadar saya bisa keliru.
Sebab hari ini, ketika tak banyak waktu lagi untuk di rumah, saya justru jadi merindukan untuk kembali ke masa-masa itu lagi, dimana rumah masih sering saya beri cap suatu yang membosankan (padahal tidak).
Kakak yang sudah berkeluarga dengan kesibukannya mengurus anak dua, Saya yang disibukkan tugas-tugas lagi di kota Jogja, serta Adik yang sekarang waktunya telah banyak diatur oleh negara karena kewajiban yang mengikatnya. Hanya Bapak dan Mama, berdua, yang tinggal disini, di rumah ketika anak-anaknya harus bergelut bersama rutinitas di kota yang tak lagi sama.
Ya, ternyata bukan hanya saya yang merasa. Kakak juga adik saya kira sama halnya. Apalagi posisi kami yang hampir serupa, sama-sama tidak lagi banyak menghabiskan waktu di tempat dimana tawa kami sering pecah karena berbalas tebak-tebakan walau tak lucu atau tangisan yang (sebenarnya tak perlu) hanya karena tak dibelikan sesuatu yang dimau. Rumah.
Rindu yang Terbuat dari Makanan Buatan Ibu
Salah satu alasan yang membuat saya rindu pulang ke rumah adalah makanan Ibu. Saya tahu Ibu juga tahu, sebab sampai ada yang saya hafal ketika saya mengabarkan keinginan pulang pada Ibu. "Mau dimasakin apa?", katanya dalam pesan singkat yang sering saya terima. Dan saya pun juga tahu, sebenarnya tanpa saya beritahu pun Ibu sudah mengetahui jawabannya.
Makanan favorit yang selalu berhasil saya rindukan adalah suatu yang amat sederhana. Mudah, tapi tetap saja sulit saya menemukan yang rasanya seperti buatan Ibu. Ada bumbu rahasia yang cuma Ibu miliki, dengan perasaan cinta.