Mohon tunggu...
Listhia H. Rahman
Listhia H. Rahman Mohon Tunggu... Ahli Gizi - Ahli Gizi

Lecturer at Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Holistik ❤ Master of Public Health (Nutrition), Faculty of Medicine Public Health and Nursing (FKKMK), Universitas Gadjah Mada ❤ Bachelor of Nutrition Science, Faculty of Medicine, Universitas Diponegoro ❤Kalau tidak membaca, bisa menulis apa ❤ listhiahr@gmail.com❤

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Mengenang Perjuangan Adik Menjadi Anggota Tentara Nasional Indonesia!

11 November 2017   14:56 Diperbarui: 12 November 2017   06:08 5399
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sudah lama cerita ini saya simpan sendiri. Demi menunggu waktu yang benar-benar tepat.

Akhirnya setelah sekian lama menahan untuk tidak bercerita, saya memilih hari ini untuk mengungkapkan meski tidak juga bisa semuanya. Hari yang saya rasa memang amat tepat, di tanggal 11 November, dimana jatuh menjadi Hari Ulang Tahun Akademi Militer yang sudah ke-60 usianya. Ya, ijinkah saya bercerita tentang perjuangan seseorang menjadi bagian pertahanan Indonesia, tentara!

Ketika saya menulis ini, jujur saja saya bingung harus dari mana memulainya. Sebab meski ada banyak momen yang begitu melekat di pikiran namun hati ini masih selalu 'merinding'. Bukan karena itu menakutkan, tetapi cerita-cerita yang saya akan ceritakan ini selalu berhasil mengaduk emosi saya, membuat saya selalu terharu.

Di sebelah saya,sudah  ada tisu. Menjaga kalau tiba-tiba ada 'sungai' yang mengalir dari dua bola mata. #serius

Ketika Dia Memutuskan Menjadi Tentara

Dialah yang memutuskan untuk menjadi tentara. Bukan saya (jelas). Dia yang saya maksud adalah adik saya sendiri.

Saya sendiri juga heran, mengapa adik begitu mantap untuk bercita-cita menjadi tentara, karena perasaan tidak ada  orang terdekat yang mengintervensinya bertubi-tubi, termasuk juga kedua orang tua. Keinginan adik untuk memilih tentara jadi jalan hidupnya sendiri pun baru saya cium gelagatnya ketika ia duduk di bangku kelas tiga SMA.  Tapi ada yang saya duga. Barangkali pengaruh terbesar datang justru dari lingkungan sekolahnya. Sekolah asrama yang banyak mendidiknya disiplin, teman-teman yang punya tujuan sama dan adanya dukungan satu sama lain, sepertinya jadi faktor terbesar yang mendorong adik memilih menjadi putera terbaik milik bangsa, tentara.

Perjuangan Sedari Awal yang (Tidak Pernah) Mudah

Kalau diingat bagaimana perjuangan adik, saya  jadi malu sendiri. Sebab, sebagai kakak yang sudah sepatutnya menjadi contoh, jusru saya merasa belum ada apa-apa dan jadi banyak belajar dari bagaimana cara berjuang yang dilakukan adik untuk mendapatkan suatu keinginannya, mencapai cita-citanya.

Jika dibandingkan, saya kalah soal urusan memperjuangkan cita-cita. Adik jauh lebih lihai lebih getol bahkan jika dibandingkan kedua kakaknya.

Hal ini sudah terlihat lama memang, semenjak ia lulus bangku SMP. Ketika ia memilih tidak bersekolah di tempat kedua kakaknya,  melainkan di tempat yang lebih lebih jauh jika diukur dari jarak juga persaingannya. Apakah karena adik saya yang laki-laki? Ah! #apahubungannya

Kemandiriannya makin terlihat ketika ia memasuki dunia putih abunya. Sebagai laki-laki, adik saya berhasil jadi yang paling mandiri, termasuk juga ketika dia berjuang untuk meraih cita-cita ini. Peran saya sebagai kakak hanya bisa menjadi pendukung paling setia dan banyak berdoa. Juga peran orangtua, yang memberikan dukungan doa yang tiada putus, motivasi  dan tentu memberi kepercayaan bahwa adik mampu.

Ketika yang Lain Ditemani Orangtua

Sebagai kakak yang banyak menemani adik dalam perjalanan perjuangannya. Semangat adik begitu terasa, amat terasa bahkan.

Akan ada yang selalu saya kenang ketika saya menemani tiap langkah perjuangannya. Salah satunya ketika kami berdua sedang mengantri untuk mengecek kondisi kesehatan di sebuah rumah sakit. Ketika yang lain ditemani oleh Bapak atau Ibu, atau bahkan kedua-duanya beserta sanak saudara. Adik hanya ditemani kakak yang ukurannya 'lebih imut', yang banyak orang sangka malah bukan kakak justru jadi adiknya, atau malah dikira pacar.

"Mbak ini pacarnya?"

"Bukan, saya kakaknya"

Pun ada yang kemudian membuat saya ingin menangis, tetapi bukan karena saya tidak berani menemani adik. Adalah ketika seorang perawat tiba-tiba berkata sembari berdoa,

"Semoga adiknya keterima ya,Mbak."

Nyesss! Kata-kata itu ntah mengapa membuat mata saya menahan sesuatu , sesuatu yang berair yang ada dimata.

Ramalan yang Dijadikan Doa

Dalam perjalanan berjuang. Ada kejadian yang unik yang kemudian jadi selalu teringat. Waktu itu, ketika saya bersama ibu (tanpa adik karena dia di sekolah) berada di catatan sipil untuk melegalisir beberapa berkas penting untuk dijadikan syarat.

Selagi menunggu antrian, sesorang yang duduk persisi di kanan saya tiba-tiba mengajak ngobrol. Awalnya pembicaran kami tidak berisi macam-macam, standar cuma ngalor-ngidul, hingga kemudian dia melihat berkas yang kami (saya dan ibu) bawa, pembicaraan jadi berubah haluan. Pembahasan berubah jadi soal nama adik yang tertera di berkas tadi.

"Coba saya lihat nama anaknya,Bu." Sambil diam lama, kemudian dia melanjutkan, "Sepertinya anak ibu ini orang yang keinginannya kuat,ya.  Anak ibu cocok di darat ini. Semoga lolos ya,bu. Soalnya sedari tadi duduk kok saya sudah merinding."

Walau tidak terlalu serius menanggapinya, saya dan ibu menanggap ramalan itu adalah doa. Ada-ada aja,sih. 

Lagi.

Ketika di kelurahan untuk meminta tanda tangan. Seseorang petugas berkomentar, "Sudah berkasnya diletakkan saja. Berkas punya Pak Tentara (menyebutkan nama seseorang) kan?"

Kemudian saya cuma tertawa kecil, "Baru calon,pak"

"Oh, tak kira sudah jadi tentara"

Dan kata-kata itu ter-amin-i.

Ketika Tekadnya Melebihi Rasa Kasihan Saya

Ada lagi.

Waktu itu kebetulan adalah bulan puasa. Ditengah harus menahan nafsu termasuk haus dan lapar, adik tak henti-hentinya berlatih baik pagi mapun sore menjelang adzan. Melatih fisik dengan berlari atau melakukan gerak-gerakan untuk memperkuat otot-otot lainnya, yang terkadang membuat saya kasihan. Namun tekadnya jelas lebih besar daripada rasa kasihan yang saya punya.

Selain dari fisik, soal makan juga adik terlihat hati-hati. Selama perjalanan menuju seleksi menjadi tentara, pola makan adik banyak diatur. Semisal soal makan buah, yang jadi sesuatu yang tidak ia lupakan barang sehari.

"Mah, bikinin Jus wortel!"

Saya Tahu, Sepanjang Hari yang Dia Lewati Pernah Grogi

Yang ini, lucu.

Waktu itu saya hendak ke Puskesmas untuk mengurus sesuatu, adik saya tinggal di rumah sendiri dan saya tahu bahwa ia juga sedang tak ingin diganggu. Dia sedang mengerjakan sesuatu, menulis berkas persyaratan yang harus ia tulis dengan tulisan tangannya sendiri, bukan ketikan.

Jam 8 pagi saya pamit, bersamaan itu saya lihat adik sudah khusyu' di meja belajarnya. 

Dua jam saya habiskan mengurus ini itu. Jam 10 pagi saya sudah kembali dan saya masih melihat posisi adik masih sama seperti dua jam yang lalu. Duduk khusyu'.

Rupanya sedari tadi ditinggal sendiri, adik tidak menghasilkan apa-apa. Semua tulisan yang ia buat, selalu ada khilafnya, dari tulisan yang ngga ajeg *tidak tetap* sampai kata-kata yang terlewat. Padahal ada 7 rangkap yang harus ia tulis sendiri dan selesaikan, ternyata dua jam? Bisa satu saja Alhamdulilah.

"Teh (panggilan Mbak dala bahasa sunda), ini udah bagus yah"

Beberapa detik kemudian.

"Ya Allah, ini katanya ada yang kelewat", tambahnya.

"Jangan grogi toh yaa,dek. Santai aja"

Perjuangan dibayar Manis

Di bulan agustus, akhirnya kepastian adik ditentukan. Ada rasa bahagia karena sebentar lagi nasib adik jadi jelas, namun juga sedih kalau-kalau hasilnya nanti tidak sesuai dengan harapan kami. Terlebih, dalam perjalanannya, adik memang tidak punya cadangan apa-apa. Ya, dia tidak memiliki cadangan sekolah lain. Dengan mantap, dia memilih menjadi tentara adalah satu-satunya cita yang ia ingin raih.

Pengumuman itu tiba. Setelah tiga hari kami (saya, bapak dan ibu) menunggu kepastian resmi, yang juga membuat kami tidak berselera makan juga tidur selama itu. Mungkin juga adik yang merasa lebih.

Alhamdulilah, puji syukur kami Panjatkan.

Meski pada akhirnya adik tidak bisa kami temui, tapi kami percaya adik baik-baik saja dan mampu menaklukan kawah Chandradimuka selama tiga bulan.

Menerka-nerka kabarmu,
Jelmaan bunga tidur pemanggil risau
Rindu yang aku alamatkan,
Umpama hutang yang minta dibayar
dengan pertemuan

(Wisuda Prajurit, 2 November 17)

November, akhirnya kami bisa dipertemukan kembali. Adik kini resmi jadi bagiannya. Adik berhasil membuktikan tidak ada yang sia-sia dari perjuangannya.

 "Sekarang adik jadi Tentara!", katamu sambil berbinar.

Ya, ada yang kakak tangkap dari bola matamu, masa depan yang bersinar!

Menjadi Tentara adalah Kesempatan Bagi Semua Warga Indonesia dan Darah Turunan Kakek!

Kenyataannya kedua orang tua kami bukanlah dari kalangan militer, hanya kalangan sipil biasa. Ini juga sebagai jawaban pertanyaan dugaan yang sering muncul, "Orangtuanya tentara juga,ya". Bukankah menjadi tentara adalah kesempatan bagi semua warga Indonesia? Jadi, jangan pernah pesimis hanya karena alasan yang demikian.

Selidik punya selidik, dari garis keturunan, memang bukan orang tua kami namun 'darah' tentara mengalir dari Almarhum kakek.

Ya, kakek saya adalah salah satu veteran yang pernah berjuang demi Indonesia. Perannya banyak terlibat dalam Pembebasan Irian Jaya. Meski tidak banyak waktu yang saya juga  keluarga bisa habiskan untuk mendengar cerita seluruhnya dari beliau. Ada yang saya yakini, bahwa beliau (almarhum) adalah orang yang gigih, gagah dan pemberani seperti layaknya  pahlawan. Apalagi Kakek juga pernah membuktikannya langsung meski bukan dengan cara peperangan lagi. Buktinya diusianya yang telah berkepala delapan, kakek pernah datang jam empat pagi dengan tiba-tiba. Berangkat dari Cianjur, Jawa Barat menuju Temanggung, Jawa Tengah dengan tanpa siapa-siapa. Dan masih ingat dimana rumah kami berada?

Kedatangannya adalah kali pertama, juga terakhir. Kakek datang hanya untuk bercerita, beberapa hari kemudian lalu beliau (alm) pamitan pulang. Selama di rumah, mungkin saja beliau juga berdoa. Berdoa kelak salah satu cucunya mengikuti jejaknya!

Dan doa kakek dikabulkan!

**

Selamat berjuang, Taruna!

Selamat Ulang Tahun, Akademi Militer!

Salam,

Listhia H Rahman

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun