Kompasianival 2017 sudah berakhir sabtu malam lalu, namun bagi saya rasanya masih belum selesai jika saya belum menuliskan ceritanya.
Sebelumnya, pada awal tulisan ini saya hanya ingin mengingatkan bahwa mungkin (atau memang beneran bukan) yang akan kalian baca bukanlah cerita-cerita mengenai serangkaian acara Kompasianival. Bukan. Justru saya akan banyak berkisah tentang apa-apa yang terjadi di luar itu yang juga tak kalah seru. Seru? Haha. Semoga sih.
Mari diawali dengan "Galau"
Galau. Barangkali satu kata itu sudah cukup mewakili apa yang saya rasa ketika Kompasianival segera datang. Entah mengapa, rasa-rasanya galau ini memang jadi syndrome saya menjelang Kompasianival sih. Ibaratnya nih, niat datang sewaktu pengumuman kompasianival baru diluncurkan itu skornya sempurna 100, kemudian makin kesini lama-lama rasanya makin berkurang, makin menciut menjelang hari H-nya jadi 50:50. Duh.
Sebabnya pun sebenarnya itu-itu lagi.Misal karena jadwal kuliah yang tidak bisa ditebak, bingung cari teman perjalanan, dan yang selalu jadi alasan klasik yaitu kehabisan tiket karena terlalu mepet. Oya, sebab ketigalah yang membuat Kompasianival jadi makin gregetnya tuh.
Berbicara soal tiket. Seperti jadi kebiasaan kalau Kompasianival, saya selalu menunda dan menunda sampai tahu-tahu kehabisan aja. Kejadian itu pun terulang lagi di tahun ini, di h-2 kompasianival 2017 saya sama sekali belum memegang tiket apapun. Di hari itu jugalah saya sempat mantap untuk memang tidak datang alias absen di Kompasianival tahun ketiga saya berada di Kompasiana. Bahkan untuk menginformasikan ketidakdatangan saya dan agar tidak di arep-arep, saya sempat menuliskan kode-kode keabsenan itu di medsos milik saya. #pedebangetyadiarep
Meski sudah mantap tidak hadir, rasanya ternyata memang ada yang masih selalu mengganjal atau mungkin karena saya tidak benar-benar mantap untuk tidak datang? Bingungi deh. Di h-1 nyatanya saya masih saja terbayang-bayang dan galau lagi. Hingga akhirnya saya memutuskan untuk bertanya kepada penasihat terbaik saya, kakak, juga beberapa teman yang suka curhat. Waktu itu kakak sempat menyarankan tidak perlu datang karena nanti takut saya kecapekan apalagi juga tahu saya belum punya tiket apa-apa. Sedangkan beberapa teman dekat memberi jawaban sebaliknya, "perlu dong!"
Dan disitulah pergulatan batin kembali terulang. Lebay yes!
***
Tanggal berganti, dua puluh satu. Pagi itu saya masih di Jogja, masih leyeh-leyeh di kos. Padahal di Jakarta sana, detik-detik Kompasianival berjalan mundur, siap dimulai. Beberapa kompasianer ternyata ada yang belum menyerah untuk memastikan kedatangan saya lagi, "Mbak listhia, beneran gak datang?"
Kasih tahu gak,ya. Haha.