"Ini adeknya atau pacarnya?"
"Bukan..bukan..Saya kakaknya"
Makin kesini rupanya banyak orang jadi salah mengira. Mengira bahwa saya adalah adik dari seorang adik dan adik menjadi kakak seorang kakak. Ada juga yang lucu yaitu menyangka kami adalah pasangan kekasih. Meski awalnya sempat sebel, tapi saya sadar sih mungkin saya awet imut sedang adik memang tumbuh begitu pesatnya. Bahkan sebenarnya bukan hanya saya yang jadi 'kalah', juga kakak pertama dan kedua orang tua.
Adik Kecil Kakak
Adik saya laki-laki. Dia anak paling bungsu, ketiga dari tiga bersaudara. Kedua kakaknya perempuan dan masing-masing terpisah jarak selama empat tahun-nan.
Dulu sewaktu adik masih kecil ada hobi adik yang sampai saat ini masih saya kenang. Hobinya yang nginthilan alias suka mengikuti kemana-mana. Terutama kalau saya sedang bermain dengan teman-teman. Pernah, sewaktu jengkel sudah dipuncak-puncaknya kala itu, tanpa rasa iba saya mengunci adik dari luar hanya agar ia tak mengikuti saya. Suara tangisnya yang kencang tak membuat saya gentar untuk meninggalkannya. Sungguh, saya pernah jadi kakak yang begitu teganya dirimu teganya.
Seiring usia yang makin bertambah, beruntung adik memang tidak lagi nginthilan secara nyata. Namun ternyata dia masih sama mengikuti, kali ini mengikuti hal-hal yang saya suka. Ketika saya belajar menggambar dan mengikuti lomba, adik jadi ikut suka menggambar dan ikut lomba yang sama. Ketika saya belajar menari dan berani pentas di atas panggung, adik sama halnya. Ya, hal-hal yang saya lakukan pernah juga dilakukan adik.
Mungkin itulah fungsi kakak, menjadi contoh nyata adiknya.
Terima Kasih, Pelajarannya Adik!
Sampai kelulusannya di bangku sekolah menengah pertama, saya tak pernah menyangka bahwa adik kelak akan menjadi seperti kupu-kupu, bermetamorfosis 'sempurna'. Baik dari segi postur juga cara berpikirnya yang bisa begitu dewasa.
Menjelang memasuki dunia baru putih abu, rupanya adik mulai berani menunjukan pada kami bahwa ia sudah punya pilihannya sendiri. Ya, adik ingin bersekolah di tempat yang berbeda, tidak seperti kedua kakak perempuannya. Pilihan adik jatuh pada sekolah asrama yang berada di luar kota.
Sempat diawali keraguan orang tua, nyatanya adik tetap "kekeuh" meyakinkan. Dan benar, ia membuktikan bahwa inginnya bukan main-main,bukan omong kosong belaka.
Dari situ ada yang mulai kakak sadari, bahwa ternyata keberanianmu memang melebihi kedua kakak yang terdahulu. Untuk urusan homesick, ternyata kakakmu ini, yang sudah kuliah saja kalah. Jangankan sebulan, baru seminggu di perantauan saja bisa langsung pulang lagi.
***
Tidak terasa ya,dik..
Hari ini, setelah tiga tahun menemuh pendidikan masa-masa sekolah menengah atas,ternyata adik yang nginthilan, sudah tak kakak temukan lagi. Adik yang nangis karena tidak ikut diajak main, juga tak lagi.Adiknya kakak kini telah berubah jadi laki-laki yang jauh lebih mandiri dalam menentukan masa depannya. Salut.
Ya, nggak nyangka, ternyata adik yang sekarang mampu membuat jadi sebaliknya. Membuat kakak yang jadi nginthilan ketika adik diijinkan pulang, menjadi kakak yang nangisan ketika tahu bagaimana perjuanganmu meraih ingin dan impian. Apa ini yang disebut dengan karma? haha.
***
Seiring berjalannya waktu, entah berapa banyak orang yang sering keliru membedakan kami, mana yang kakak mana yang adik. Tapi bagaimana cara waktu mengubahnya, tetap tak ada yang bisa mengubah 'jabatan' masing-masing dari kami. Saya tetaplah menjadi kakak untuknya meski banyak orang tak percaya dan adik tetaplah menjadi adik kecil saya meski kini tubuhnya menjulang tinggi.
Dek, meski setiap kamu pulang kamu menghabiskan bensin, waktu disuruh isi pertamax malah premium, harusnya diisi penuh tapi malah cuma satu liter. NGGA PAPA, SAYANGKU MASIH SAMA!
Cerita bagaimana detail perjuangan adik akan saya bagikan di bulan november, setelah ia telah resmi jadi prajurit. Smoga :)
Salam,
Listhia H Rahman
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H