Mohon tunggu...
Listhia H. Rahman
Listhia H. Rahman Mohon Tunggu... Ahli Gizi - Ahli Gizi

Lecturer at Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Holistik ❤ Master of Public Health (Nutrition), Faculty of Medicine Public Health and Nursing (FKKMK), Universitas Gadjah Mada ❤ Bachelor of Nutrition Science, Faculty of Medicine, Universitas Diponegoro ❤Kalau tidak membaca, bisa menulis apa ❤ listhiahr@gmail.com❤

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Undangan Mantan, yang Tak Pernah Sampai ke Rumah

17 Maret 2016   00:01 Diperbarui: 17 Maret 2016   20:23 2016
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Ilustrasi: eliteweddinglooks.com"][/caption]“Sha, Mantanmu menikah tuh”, bunyi pesan dari Ardha yang tiba-tiba menggetarkan handphone, mungkin getar juga sampai ke jantungnya.

Shania benci mengingat. Tapi mau tak mau ingatan itu harus dirunut ke belakang, masa lalunya. Masa-masa itu, saat beberapa orang pernah ia sediakan tempat di hatinya, yang hanya seperti tamu, urusan selesai (tak selesai) hanya singgah,  yang kemudian mau (tak mau) mengorek luka lamanya, yang meski tlah ia lupakan sakitnya namun masih saja berbekas.

Shania is typing...

 “Hah? Mantan? Mantan yang mana?”

Tak habis tiga menit, balasan ia lontarkan. Ya, Shania benci mengingat, tak bisa berlama-lama jadinya.

Tak ada balasan.

Ardha nampaknya senang membuat Shania menduga-duga.

Satu menit, dua menit, sepuluh menit, setengah jam. Ardha tak juga merespon. Rasa penasaran yang makin lama makin membuat Shania menjadi-jadi, mempermainkannya. Getaran itu kembali lagi, kini dari jantung ke ponselnya. Sebuah pesan gambar, masuk.

Laki-laki dengan jas hitam, dengan senyum yang hanya ia tarik masing-masing dua senti tuk memperlihatkan bahwa ia sedang cukup bahagia.  Sembari dua buku kecil, ia pamerkan. Tak ada orang lain selain dirinya yang jadi fokus utama. Tak ada perempuan.

Kemana perempuan yang baru saja ia jadikan istri?, Shania jadi bertanya-tanya pada dirinya sendiri. 

Bukankah ini pernikahan? Ya, pernikahan, buku itu saksinya.

Shania benci mengingat. Tapi ia terlalu pandai menyimpan, ingatan.

Laki-laki itu tak nampak asing. Dua tahun lalu , mereka pernah habiskan. Ya, wajah yang masih sama, hanya perasaan mereka yang tlah berbeda. Laki-laki yang pernah menanam cinta, meski hanya pada empat musim yang terlewati. Gulma tak terhidarkan hadir juga disela-sela. Merambat perlahan, mengikis sedikit demi sedikit. Pernah diusir untuk tak datang. Pernah berhasil, pun sia-sia. Di musim kelima, tak tertolong lagi. Mereka selesai, dengan (tak juga) baik.

Shania benci meningat. Tapi tak juga bodoh untuk bisa melupakan.

Baik-baikkah kamu disana?”, pesan Ardha yang nampak khawatir dengan keadaa sahabatnya diseberang sana.

“Sudah, ini mengagetkanmu memang”

" Terlalu Mendadak"

Tapi, Aku tahu kamu pasti bisa melalui ini semua”

“ Semangat Shaniaku”

Belum juga Shania membalas. Pesan Ardha bertubi-tubi.

Shania baik-baik saja. Tak ada air mata yang berkaca-kaca hiasi matanya. Ia masih sama, seperti saat pesan itu tak ada.

Tapi.

Shania benci mengingat. Tepat seminggu lalu, saat tak ada firasat apapun yang datang dari mimpi atau pertanda ganjil di sekitarnya, pesan masuk itu juga datang. Bukan Ardha. Bukan. Pesan yang sempat getarkan hatinya juga, yang tiba-tiba datang menanyakan kabar, yang sempat juga tawarkan pertemuan setelah musim ke lima itu menandaskan.

Shania benci mengingat. Lama ia pandangi gambar yang seminggu lalu sempat muncul diberandanya. Laki-laki dengan kaca mata hitam, duduk dengan santainya. Tak ada orang lain, apalagi perempuan yang ia bisa nobatkan sebagai pasangan barunya.

Shania benci mengingat. Laki-laki dengan jas hitam, dengan senyum yang hanya ia tarik masing-masing dua senti tuk memperlihatkan bahwa ia sedang cukup bahagia. Sembari dua buku kecil, ia pamerkan. Tak ada orang lain selain dirinya yang jadi fokus utama. Tak ada perempuan. Ya, tak ada juga perempuan.

Kemana perempuan yang baru saja ia jadikan istri?, Shania jadi bertanya-tanya pada dirinya sendiri, lagi. Tetapi kali ini, masa bodoh perempuan mana.

Shania yang benci mengingat, akan jadi suka mengingat ;  bahwa laki-laki yang sama itu cukup butuh seminggu kemudian untuk berubah menjadi nama pada undangan sebuah pernikahan.

Undangan yang tak (akan) pernah sampai di rumahnya, dan tak ia harapkan juga untuk ada apalagi datang.

Widyanatha Putra.

Salut untuk keberanianmu.

Kini kau tlah buktikan jadi laki-laki, suami.

Selamat menempuh perjalanan sesungguhnya.

Shania Resti Pramadana

-- Blokir--

 

Shania benci mengingat, kembali.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun