P
etir menggelegar lantang, menambah mencekamnya tarian malam di kadipaten Trowulan, kerajaan Kadiri yang dipimpin oleh raja Dhanapati. Kadipaten Trowulan terkenal sebagai kadipaten yang paling disegani di kerajaan kadiri karena banyak para pendekar sakti mandraguna yang lahir dari kalangan bangsawan kerajaan maupun rakyat kelas bawah disana. Kepemimpinan raja yang adil dan bijaksana membuat rakyat pun menjadi sangat nyaman bertempat tinggal disana. Rakyat jajahannya pun merasa lebih nyaman oeh kepemimpinan raja Dhanapati daripada raja yang sebelumnya dapat di lumpuhkan oleh kerajaan Kadiri.
Di sebuah balai pengobatan yang remang-remang oleh nyala obor, ada seorang lelaki tua dan cucu perawannya yang sedang serius menangani para prajurit yang terluka karena perang. Mbah Wongso sangat telaten sekali dalam merawat pasien, cucunya yang cantik bernama Kirana juga setia menemani kakeknya yang berusia kepala tujuh itu. Sedikit demi sedikit pasien pun terobati dan ramuan yang mbah Wongso racik terkenal manjur di kadipaten Trowulan, tak heran balai pengobatannya pun tak pernah kunjung sepi walau malam kian larut.
Ketika malam semakin larut, ada seseorang lelaki bernama Jaka Haneswara yang selalu membantu Mbah Wongso dan Kirana mengemasi, merapikan serta menutup balai pengobatan mereka. Naheswara merupakan kekasih Kirana, walaupun rumahnya jauh sekali dari balai pengobatan itu, walau hujan badai pun dia tetap setia membantu kakek kirana menutup balai pengobatannya. Naheswara dan kirana sudah lama sekali menjalin kasih. Hubungan mereka sangat baik dan tidak menunjukkan kalau mereka adalah kekasih melainkan seperti adik dengan kakaknya sendiri.
“Sudah dinda, biar kanda yang membereskan ini semua” Naheswara berkata dengan lembut. “Tidak kanda, cepat lekaslah pulang, jangan sambai biyung memarahi kanda lagi!” kirana menjawabnya dengan tegas. “Tidak usah khawatir, kanda punya jurus Sapu Angin, kanda bisa melangkah cepat laksana angin… sudah jangan khawatir” berujar dengan tersenyum dan Kirana tidak bisa berkata apapun lagi.
Hari menjadi cerah kembali setelah semalam suntuk hujan badai menyelimuti kadipaten trowulan, tetapi burung pun tak mau berseru, banyak sungai darah yang mengalir di kadipaten trowulan pagi ini pemberontakan rakyat damarwulan masih terjadi, mereka tidak senang atas kepemimpinan Raja Dhanapati yang mereka anggap perebut kekuasaan kerajaan Harinjing. Tetapi rakyat Damarwulan memutuskan untuk mundur karena jumlah pemberontak lebih kecil daripada prajurit kerajaan Kadiri.
Naheswara terkejut melihat di kejauhan, Kiran telah terkulai lemas karena kakinya terkena kibasan pedang para pemberontak. Segera Naheswara lari dan dengan jantung yang berdebar kencang dia membawa Kirana menemui Mbah Wongso Kakeknya agar lukanya sesegera dirawat. Melihat cucunya terkulai lemas, mbah wongso lekas meracik obat untuk dijadikan bobok untuk dibalutkan ke luka cucu kesayangannya itu. Naheswara sedih melihat Kirana yang terkulai lemas “Oh Jaga Dewa Batara… Sembuhkanlah segera luka kekasihku” batinnya dalam hati sembari memegangi tangan kekasihnya yang tak berdaya.
Satu bulan pun berlalu, kini kirana bisa berjalan lebih lancar seperti biasanya, senyumnya yang mengembang membuat mbah Wongso merasa menjadi muda lagi. Sudah sebulan sejak Kirana terkulai lemas, Naheswara tidak pernah lagi bertemu Kirana. Dia berlatih dan terus mengasah ilmu kanuragan dan kebatinan yang telah dia pelajari dari kecil, dia ingin mengikuti sayembara beladiri kerajaan Kadiri. dia ingin sekali mengikuti sayembara tersebut dan masuk menjadi Panglima kerajaan seperti yang ia dambakan sejak kecil.
Kiran termenung dalam rasa rindu yang tak dapat dikurangi sedikit pun banyaknya… semakin dibendung semakin kuatlah rasa rindu itu
Cinta… bagai kemarau merindukan hujan…
Bagaikan pagi yang merindukan petang….
Kanda… dimanakah engkau berada…. Rindu hati ingin jumpa…
masihkah hatimu utuh untukku seorang….
Sesegera kirana menuliskan kalimat itu dalam serat pelepah pisang yang kemudian digulungnya dan dikirimkannya lewat merpati putih kesayangannya yang kiran beri nama Salur. Salur adalah merpati pengirim surat yang sangat disayangi oleh kirana.
“Salur… Sampaikanlah surat ini kepada kanda Naheswara” sesegera salur pun diterbangkannya dan sekejap hilang menembus awan.
Beberapa hari pun berlalu, Naheswara yang sedang konsentrasi mengamalkan ilmu sejati mendengar kepakan sayap salur yang dari jauh dia pun tahu siapa yang mengirimkan merpati putih itu. Dibacanya surat yang diselipkan di kaki salur.
“Salur… ini makanlah” Naheswara menyodorkan segenggam jagung. “kuurrr….” “Merpati pintar…” Sambil memberikan minuman ke merpati itu dan menulis jawaban atas pesan dari Kirana.
Sungguh hati tak kuasa berdusta…
rinduku hanya milikmu seorang…
lekaslah sembuh… jaga dirimu… jaga cinta kita….
Sesegera setelah menulis jawaban atas surat kiran, Naheswara menyelipkan gulungan itu ke kaki Salur berharap suratnya akan lekas sampai.
“Salur… Tolong sampaikan ini ke Kirana…” sambil melepas merpati putih itu, sesekali merpati itu berputar-putar di atas Naheswara lalu terbang dengan sangat cepat menembus awan.
“Seharusnya aku sendiri yang datang menemui kiran dan membalas suratnya, dengan ajian Sapu Anginku, aku dapat menempuh setengah hari perjalanan untuk dapat sampai kesana, tapi apalah daya, aku masih harus mengamalkan ilmu Sejati dan kanuragan yang aku miliki, maafkan aku dinda… aku harap engkau sabar menungguku datang… “ Naheswara berkata dalam hati.
Beberapa hari kirana menunggu cemas balasan pesan dari Naheswara, dia tak bisa tidur pulas berharap menunggu kekasihnya lekas memberikan kabar.
Matahari pun mulai memancarkan sinarnya, kepakan sayap salur pun terdengar… senyumnya pun mengembang melihat Salur membawa pesan. Kirana membaca pesan itu dengan hati yang berbunga, walau rasa rindunya masih belum banyak terobati.
Kirana ingin segera pergi ke Puncak Gunung Rinjani seperti apa yang dia utarakan kepada Naheswara sebelum terjadi pemberontakan rakyat Damarwulan yang membuat kakinya terluka cukup parah. Kirana membulatkan tekad dan memutuskan besok sebelum fajar menyingsing dia akan pergi ke Puncak Gunung Rinjani. Lekas dia menulis surat mengabarkan kepergiannya kepada Naheswara.
Kanda… dinda ingin pergi ke Puncak Rinjani seperti yang dinda inginkan sedari dulu, dinda mohon doa restu darimu… Jaga diri kanda
dan segera Salur pun diterbangkannya.
Beberapa hari berlalu, akhirnya Salur pun sampai di Tempat Naheswara. Naheswara terkejut membaca surat yang ditujukan padanya.
“Oh Jaga Dewa Batara… Kirana, mengapa engkau senekat ini, padahal kakimu belum pulih total akibat kibasan pedang para pemberontak” Ujarnya dengan suara lantang.
Naheswara berterimakasih kepada Salur dan melepaskannya agar kembali ke kadipaten Trowulan, Salur pun sekejap tidak tampak oleh mata.
“Kirana… Tunggu aku, aku akan segera menjemputmu” gumamnya dalam hati.
Malam pun semakin larut, Naheswara bersiap akan berangkat menuju Pucuk Rinjani. Naheswara pun tersentak atas kehadiran seseorang yang selama ini dia kenal.
“Kanda”… senyumnya mengembang.
“Kiranaa….” Dengan tatapan tidak percaya untuk beberapa saat.
“Terus kanda ingin aku berdiri disini sampai berapa lama?” dengan nada yang sedikit menggoda.
“Ohh ee iya… Ma mas suk lah” dengan nada tergagap masih tidak percaya.
“Nahh… begitu kan lebih baik, bagaimana latihan kanda?” berkata sambil duduk di dalam rumah.
“Baik… selama ini masih lancar… bagaimana dinda bisa datang cepat kesini?” Naheswara bertanya dengan heran.
“Itu tidak penting, yang terpenting aku sudah disini kan?” senyum paras cantiknya menggoda Naheswara.
“Iya… kanda sempat terkejut membaca kabar dari dinda yang ingin pergi ke puncak Rinjani sendirian”
“….”
“Apa dinda serius ingin kesana?.Bukankah kaki dinda belum pulih secara total?”
“Sudahlah jangan bahas itu dulu… kita bahas yang lainnya…”
Mereka berdua menghabiskan waktu bersama mengobati kerinduan yang mereka alami setelah lebih dari satu bulan tak bertemu. Dan kembali kirana mengawali percakapan itu
“Kanda, bagaimana kalau kita akhiri saja hubungan ini…”
“ Apaa? Mengapa? Apa Alasannya?”
“Aku merasa tidak pantas berada disisimu, menemani hingga ujung usiamu”
“Dinda tidak boleh berkata seperti itu… kita harus kuat menjalani semua ini” Suara Naheswara menyahut tegas.
“Tapiii……”
Kirana Berhenti berbicara sekian lama hingga akhirnya memutuskan untuk pulang ke kadipaten Trowulan
“Hari sudah semakin larut… dinda mohon pamit” jawabnya dengan lembut
“Sepetang ini dinda ingin pulang sendiri? Apa tidak menginap di sini saja?”
“Tidak baik seorang perempuan tinggal serumah dengan laki-laki tanpa ikatan hubungan perkawinan kanda…” kembali Kirana tersenyum…
“Kalau begitu kita menikah sekarang…. Kanda antar sampai kadipaten Trowuan ya?” Dengan sedikit menggoda.
“Tidak perlu, kanda istirahat saja… dinda bisa jaga diri” sambil memberikan sentuhan bibirnya ke arah kening Naheswara.
Naheswara terdiam melepas kepergian kekasihnya yang telah lenyap ditelan malam.
Sebelum pintu rumahnya tertutup rapat, Naheswara mendengar kepakan sayap Salur.
Sesegera ia membuka pintu kembali, dia heran melihat Salur membawa surat.
Tapi surat itu bukan dari Kirana, tetapi dari Mbah wongso kakeknya Kirana…
Sabar ya Ngger…
Kirana sudah menyapa Dewata Agung di Nirwana Sana…
Dia dikabarkan telah tergelincir dan masuk ke jurang saat ingin mendaki Puncak Gunung Rinjani…
Mayatnya tidak berhasil ditemukan…
Mbah harap kamu ikhlas melepasnya…
Dengan perasaan campur aduk Naheswara Bingung mau berbuat apa… dia tidak percaya akan surat yang dilayangkan oleh Mbah Wongso kepadanya…
“Lantas siapa yang datang kemari, beradu pandang dan memberikan sentuhan bibir di kening yang masih terasa kehangatannya ini?” gumamnya dalam hati dengan perasaan yang tidak menentu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H