“Kanda, bagaimana kalau kita akhiri saja hubungan ini…”
“ Apaa? Mengapa? Apa Alasannya?”
“Aku merasa tidak pantas berada disisimu, menemani hingga ujung usiamu”
“Dinda tidak boleh berkata seperti itu… kita harus kuat menjalani semua ini” Suara Naheswara menyahut tegas.
“Tapiii……”
Kirana Berhenti berbicara sekian lama hingga akhirnya memutuskan untuk pulang ke kadipaten Trowulan
“Hari sudah semakin larut… dinda mohon pamit” jawabnya dengan lembut
“Sepetang ini dinda ingin pulang sendiri? Apa tidak menginap di sini saja?”
“Tidak baik seorang perempuan tinggal serumah dengan laki-laki tanpa ikatan hubungan perkawinan kanda…” kembali Kirana tersenyum…
“Kalau begitu kita menikah sekarang…. Kanda antar sampai kadipaten Trowuan ya?” Dengan sedikit menggoda.
“Tidak perlu, kanda istirahat saja… dinda bisa jaga diri” sambil memberikan sentuhan bibirnya ke arah kening Naheswara.
Naheswara terdiam melepas kepergian kekasihnya yang telah lenyap ditelan malam.
Sebelum pintu rumahnya tertutup rapat, Naheswara mendengar kepakan sayap Salur.
Sesegera ia membuka pintu kembali, dia heran melihat Salur membawa surat.
Tapi surat itu bukan dari Kirana, tetapi dari Mbah wongso kakeknya Kirana…
Sabar ya Ngger…
Kirana sudah menyapa Dewata Agung di Nirwana Sana…
Dia dikabarkan telah tergelincir dan masuk ke jurang saat ingin mendaki Puncak Gunung Rinjani…
Mayatnya tidak berhasil ditemukan…
Mbah harap kamu ikhlas melepasnya…
Dengan perasaan campur aduk Naheswara Bingung mau berbuat apa… dia tidak percaya akan surat yang dilayangkan oleh Mbah Wongso kepadanya…
“Lantas siapa yang datang kemari, beradu pandang dan memberikan sentuhan bibir di kening yang masih terasa kehangatannya ini?” gumamnya dalam hati dengan perasaan yang tidak menentu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H