Mohon tunggu...
๐–“๐–Ž๐–“๐–Ž ๏ฝกโ‹†เฌ“เผ‰โ€ง.โญ’
๐–“๐–Ž๐–“๐–Ž ๏ฝกโ‹†เฌ“เผ‰โ€ง.โญ’ Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi

Saya percaya bahwa kata-kata memiliki kekuatan untuk menyentuh jiwa dan menginspirasi orang lain~

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Analisis Dampak Budaya Patriarki Terhadap Pendidikan Perempuan di Indonesia

30 Juli 2024   15:44 Diperbarui: 6 September 2024   21:31 255
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Analisis Dampak Budaya Patriarki Terhadap Pendidikan Perempuan di Indonesia

PENDAHULUAN (Introductory)

Budaya patriarki telah lama menjadi bagian integral dari banyak masyarakat di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Menurut Alfian Rokhmansyah (2013) di dalam bukunya yang berjudul Pengantar Gender dan Feminisme, patriarki berasal dari kata patriarkat, berarti struktur yang menempatkan peran laki-laki sebagai penguasa tunggal, sentral, dan segala-galanya (Sakina, 2017). Sistem patriarki yang mendominasi kebudayaan masyarakat menyebabkan adanya kesenjangan dan ketidakadilan gender yang mempengaruhi hingga ke berbagai aspek kegiatan manusia. Menurut (Susanto, 2015), meskipun isu kesenjangan gender sudah menjadi konstruksi sosial dan budaya masyarakat dan sudah berlangsung sejak lama, namun hal tersebut semakin menarik perhatian banyak kalangan dan mencari solusinya, hal tersebut merupakan cita-cita luhur untuk mewujudkan keadilan sosial yang utuh. Budaya patriarki ini diturunkan dari generasi ke generasi sehingga membentuk perbedaan perilaku, status, wewenang antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat, kemudian membentuk hierarki gender (Faturochman, 2002: 16).

Patriarki merupakan sistem sosial dimana laki-laki memegang kekuasaan dominan dan perempuan seringkali berada pada posisi subordinat. Hal ini berdampak luas pada seluruh aspek kehidupan, termasuk pendidikan. Berdasarkan hasil penelitian Yudhaningrum (Yudhaningrum, 2009) yang dikutip dalam (Nursaptiani, 1019) disebutkan bahwa masyarakat yang masih menganut nilai-nilai budaya patriarki mempunyai pengaruh yang besar terhadap model pendidikan yang berlaku dalam keluarga. Anak laki-laki cenderung dididik untuk menjadi calon kepala rumah tangga dan anak perempuan dididik untuk menjadi calon pendamping suami yang baik (ibu rumah tangga). Perbedaan perlakuan orang tua terhadap anak laki-laki dan perempuan terjadi dalam penanaman moral terutama mengenai cara duduk dan pergaulan anak, penanaman nilai sosial, cinta kasih, dan dukungan terhadap pendidikan formal. Pendidikan adalah salah satu pilar utama dalam pembangunan sosial dan ekonomi sebuah negara, namun, dalam konteks budaya patriarki, perempuan seringkali menghadapi berbagai hambatan yang menghalangi akses mereka terhadap pendidikan yang layak.

Di Indonesia, meskipun telah ada kemajuan signifikan dalam meningkatkan akses pendidikan bagi perempuan, berbagai tantangan masih tetap ada. Budaya patriarki yang mengakar dalam norma dan nilai sosial seringkali menjadi penghalang utama bagi perempuan untuk mendapatkan pendidikan yang setara dengan laki-laki. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dampak budaya patriarki terhadap pendidikan perempuan di Indonesia, mengidentifikasi hambatan-hambatan yang ada, serta mengeksplorasi upaya-upaya yang telah dan dapat dilakukan untuk mengatasi masalah ini.

-----------------------------------

ISI (Body)

Beberapa dampak dari budaya patriarki terhadap pendidikan perempuan di Indonesia, yaitu:

A. Hambatan Sosial dan Budaya

Budaya patriarki di Indonesia mempengaruhi pendidikan perempuan melalui berbagai cara. Norma-norma sosial yang mengutamakan peran domestik perempuan seringkali mengurangi nilai pendidikan bagi anak perempuan. Di beberapa daerah, pendidikan perempuan dianggap tidak sepenting pendidikan laki-laki, karena perempuan diharapkan untuk menikah dan mengurus rumah tangga daripada mengejar karir atau pendidikan tinggi. Menurut data penelitian Pusat Kajian Gender dan Seksualitas Universitas Indonesia tahun 2015, angka pernikahan dini di Indonesia peringkat kedua di kawasan Asia Tenggara. ย Ada sekitar 2 juta dari 7,3 perempuan Indonesia di bawah umur 15 tahun sudah menikah dan putus sekolah. Jumlah ini diperkirakan akan meningkat menjadi 3 juta pada tahun 2030. Dilihat dari banyaknya kasus yang dikumpulkan oleh Komnas Perempuan, hampir 50% pernikahan dini terjadi antara perempuan di bawah usia 18 tahun dan laki-laki di atas usia 30 tahun dan terjadi di bawah tekanan atau paksaan.

B. Stereotip Gender

Menurut (Susanto, 2015) stereotip merupakan citra baku tentang individu atau kelompok yang tidak sesuai dengan kenyataan empiris yang ada. Stereotip gender yang menganggap perempuan kurang mampu dalam bidang tertentu, seperti sains dan teknologi, menghalangi mereka untuk mengejar studi di bidang-bidang ini. Perempuan yang menunjukkan minat atau kemampuan di bidang STEM seringkali tidak mendapatkan dukungan yang sama seperti laki-laki, baik dari keluarga, guru, maupun masyarakat. Hal ini mengakibatkan rendahnya partisipasi perempuan dalam bidang STEM (Sains, Teknologi, Teknik, dan Matematika), yang penting untuk pembangunan ekonomi dan teknologi negara.

C. Beban Ganda dan Implikasinya terhadap Pendidikan Perempuan

Beban ganda adalah beban yang harus ditanggung oleh perempuan secara profesional. Berbagai pengamatan menunjukkan bahwa perempuan melakukan hampir 90% pekerjaan rumah tangga. Bagi pekerja kantoran, selain bekerja, mereka juga harus mengerjakan pekerjaan rumah. Sosialisasi peran gender seperti itu menimbulkan rasa bersalah dalam diri perempuan jika tidak menjalankan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga. Sedangkan bagi kaum laki-laki, tidak saja merasa bukan tanggung jawabnya, bahkan di banyak tradisi, laki-laki dilarang terlibat dalam pekerjaan domestik (Mansour Fakih, 2008: 80).

Beban ganda ini memiliki implikasi signifikan terhadap pendidikan perempuan di Indonesia. Perempuan yang harus membagi waktu antara pekerjaan rumah seringkali mengalami kelelahan fisik dan mental. Hal ini dapat mengurangi waktu dan energi mereka untuk belajar, sehingga berdampak negatif pada prestasi akademis mereka. Selain itu, tekanan sosial untuk menjalankan peran domestik dapat membuat perempuan merasa bersalah ketika mereka menghabiskan waktu untuk belajar atau mengejar pendidikan tinggi.

D. Dampak Jangka Panjang

Dampak patriarki pada pendidikan perempuan memiliki implikasi jangka panjang yang serius. Rendahnya tingkat pendidikan perempuan berpengaruh langsung pada peluang karir dan ekonomi mereka. Pada masyarakat terdapat anggapan bahwa perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, pada akhirnya akan ke dapur. Bahkan dalam keluarga yang memiliki keuangan terbatas, maka pendidikan akan diprioritaskan pada anak laki-laki (Narwoko, J. Dwi & Suyanto, 2013). Perempuan dengan pendidikan rendah cenderung memiliki peluang kerja yang terbatas, penghasilan yang lebih rendah, dan lebih rentan terhadap kemiskinan. Kondisi ini memperkuat siklus kemiskinan antar-generasi, di mana perempuan yang kurang terdidik cenderung melahirkan dan membesarkan anak-anak dalam lingkungan yang juga kurang mendukung pendidikan.

Selain itu, pendidikan perempuan yang rendah berdampak pada perkembangan sosial dan ekonomi negara secara keseluruhan. Studi menunjukkan bahwa peningkatan pendidikan perempuan berhubungan positif dengan penurunan angka kelahiran, peningkatan kesehatan keluarga, dan pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat. Perempuan yang berpendidikan lebih cenderung menunda pernikahan dan kelahiran anak, berinvestasi dalam kesehatan dan pendidikan anak-anak mereka, dan berpartisipasi lebih aktif dalam kegiatan ekonomi. Oleh karena itu, mengatasi hambatan pendidikan bagi perempuan tidak hanya penting untuk kesetaraan gender, tetapi juga untuk kemajuan bangsa secara keseluruhan.

------------------------------------

Upaya Mengatasi Dampak Negatif Dari Budaya Patriarki di Indonesia

Pendidikan nasional adalah pendidikan demokratis yang tujuannya membangun masyarakat demokratis. Sistem pendidikan demokratis memberikan akses yang sama terhadap pendidikan berkualitas kepada semua orang sesuai dengan kemampuan dan bakatnya (Tilaar, 2009). Indonesia telah mengambil berbagai inisiatif untuk meningkatkan pendidikan perempuan. Pemerintah telah mencanangkan program seperti "Rencana Indonesia Pintar" dan "Kartu Indonesia Pintar" untuk meningkatkan kesempatan pendidikan bagi anak-anak dari keluarga miskin. ย Program ini memberikan bantuan keuangan dan beasiswa untuk memastikan anak perempuan dari keluarga miskin dapat melanjutkan pendidikan mereka. Dimensi keadilan akses terhadap pendidikan mengkaji apakah akses terhadap pendidikan setara antar kelompok yang berbeda (Education, 2007).

Pemerataan akses pendidikan dasar sembilan tahun sebagai sebuah investasi pada pengembangan sumber daya manusia (Ali, 2009). Berbagai peraturan yang ada berkaitan dengan pentingnya pendidikan sampai hal-hal teknis sudah dijelaskan dalam Undang-undang (Hakim, 2016). Diantaranya Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-undang No 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional. Selain itu, berbagai organisasi non-pemerintah bekerja untuk mengadvokasi hak pendidikan perempuan dan menyediakan beasiswa serta dukungan lainnya. Inisiatif ini termasuk kampanye kesadaran untuk mengubah persepsi masyarakat tentang nilai pendidikan perempuan, serta program pemberdayaan yang fokus pada meningkatkan keterampilan dan peluang karir perempuan.

Namun, upaya ini perlu didukung oleh perubahan budaya yang lebih luas. Pendidikan dan kampanye kesadaran tentang pentingnya pendidikan perempuan perlu ditingkatkan. Masyarakat perlu dididik tentang manfaat jangka panjang dari pendidikan perempuan, baik untuk individu maupun untuk komunitas secara keseluruhan. Selain itu, pemberdayaan perempuan melalui pelatihan keterampilan dan dukungan karir juga penting untuk mengatasi hambatan struktural yang dihadapi perempuan.

---------------------------------

PENUTUP (Concluding)ย 

Budaya patriarki di Indonesia menimbulkan hambatan besar terhadap pendidikan perempuan, mulai dari norma sosial dan stereotip gender hingga beban ganda yang harus ditanggung perempuan. Dampak-dampak ini tidak hanya merugikan perempuan secara individu, namun juga merugikan masyarakat dan negara, serta menghambat pembangunan sosio-ekonomi.

Upaya pemerintah dan berbagai organisasi untuk meningkatkan akses perempuan terhadap pendidikan telah membuahkan hasil positif. Namun, perubahan budaya yang lebih mendalam diperlukan untuk mengatasi akar permasalahan ini. Pendidikan tentang pentingnya pendidikan bagi perempuan harus diperkuat dan stereotip gender harus dilawan dengan memberikan dukungan yang setara di semua bidang pembelajaran.

Mengatasi dampak budaya patriarki terhadap pendidikan perempuan memerlukan komitmen bersama untuk mengubah sikap dan pandangan yang telah lama mengakar. Hanya dengan usaha kolektif, kita dapat menciptakan lingkungan yang mendukung kesetaraan gender dan memberdayakan perempuan, serta membangun masa depan yang lebih cerah dan inklusif bagi seluruh bangsa.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun