“Visi ke depan adalah visi kompetisi. Tidak ada yang lain. Harus berani. Tidak ada kata yang lain. Sudah enggak bisa ditolak. Tidak bisa lagi kita bilang enggak mau. Enggak mungkin kita berniat menjadi negara tertutup karena ekonomi kita sudah lama terbuka”.
Begitulah pesan Presiden Joko Widodo saat berpidato dalam acara Kompas 100 CEO Forum di Jakarta pada hari kamis tanggal 26 Nopember 2015 lalu.
Saya sangat setuju dengan pesan tersebut. Swear., I like it., much!! Terasa ada semangat yang menyegarkan di dalam kata-katanya itu. Hal semacam ini memang harus segera kita bangun dan pelihara dalam jiwa kita agar negara ini bisa survive dan berjaya di era terbuka yang di tahun-tahun depan kian kompetitif. Ibaratnya kita ini akan segera bertarung dengan negara-negara lain, berebut untuk mendapatkan peluang dan keuntungan. Berebut mendapatkan kantao dan cuan. Tentu semangat yang kita butuhkan adalah semangat yang mengandung optimisme dan harapan, kehadirannya ibarat hulu ledak yang luar biasa dahsyatnya yang mampu membangkitkan dan menggerakkan seluruh energi dan potensi yang ada. Bukan semangat yang sarat sensasi tapi miskin substansi.
Namun bukan hal yang mudah untuk dapat menghadirkan dan membangun sebuah semangat, begitu pula untuk memelihara dan menyebarkannya ke seluruh negeri ini. Perlu energi besar dan dorongan yang masif dan konsisten, tidak mungkin jika hanya segelintir orang saja yang menggerakkannya. Bisa masuk angin kan., hehe..
Persaingan yang dihadapi negeri ini bukan lagi persaingan di tingkat sektoral atau bilateral saja, tapi sudah bersifat regional dan internasional, mendunia. Isu yang semakin sering dimunculkan dan dibicarakan dalam berbagai forum internasional sekarang ini adalah tentang integrasi kawasan dan integrasi ekonomi, borderless. Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), Kemitraan Trans-Pasifik (TPP) yang diprakarsai Amerika Serikat, Kawasan Perdagangan Bebas Asia-Pacific (FTAAP) yang dimotori Tiongkok (Dollar dan Yuan tambahnya semakin sengit saja persaingannya), dan berbagai kerjasama ekonomi dengan negara-negara di luar ASEAN merupakan bukti tegas yang menandai adanya iklim persaingan tersebut. Saya khawatir sekali negara-negara lain telah berbenah dan sudah siap untuk merebut peluang dan mengambil keuntungan dalam setiap persaingan tersebut, sementara kita justru masih asyik jalan di tempat. Masih ribut soal kode etik dan politik destruktif yang menguras banyak energi.
Bangsa ini harus mampu menentukan prioritas utamanya dan berupaya keras untuk merealisasikannya dengan sebaik mungkin. MEA bukan hanya urusan Mr. President dan para pejabat elit saja, tapi urusan seluruh lapisan masyarakat dan bangsa. Bangsa ini butuh untuk segera diinjeksi atau dipompa semangatnya agar tidak (semakin) tertinggal dan dilibas negara lain. Perubahan jaman telah terjadi dengan begitu cepat sekali dan cenderung disruptif. Menakutkan sekali membayangkan akibatnya sekian tahun ke depan jika sekarang kita masih adem ayem saja, dan menganggapnya seolah dunia tidak ada yang berubah.
Kocek Negara
Terus terang, saya merasa bahwa negara kita ini belum berada dalam kondisi yang prima untuk menyambut MEA, TPP, dan bentuk integrasi ekonomi lainnya dalam waktu dekat ini, karena dua alasan, yaitu pertama, kondisi keuangan negara, kedua, etos kerja pegawai/masyarakatnya. Bahwa kondisi keuangan negara kita sekarang ini kurang menggembirakan tentu kita sudah dapat merasakannya. Negara sedang tidak punya duit yang banyak! Tidak berlebihan jika saya katakan bahwa jika negara ini tidak ingin terseok-seok, maka negara harus punya prioritas khusus untuk menggemukkan keuangannya segendut mungkin. Apalagi jika punya target untuk memenangkan kompetisi antar negara. Negara harus tebal koceknya! Ibaratnya, jika ingin menjadi saudagar yang hebat, maka negara ini harus menjelma menjadi saudagar yang kaya, dan banyak fulusnya. Jadi, mau berbuat apapun bisa., tidak (serba) terbatas dan tidak ada yang membatasi. Bukan jadi saudagar yang pas-pasan, atau yang jeblok fulusnya. Jika jeblok, maka predikat saudagar akan merubah menjadi kuli! Disuruh kesana kemari harus mau, harus nurut. Mau makan saja harus nurut antrian, alamaaakkk...!!!
Saya sependapat bahwa uang memang bukan segalanya, tapi segalanya perlu uang. Untuk itu, maka pemasukkan negara, baik yang berasal dari pajak, bea dan cukai, atau lainnya, (kecuali utang) harus dimanage dengan baik. Negara perlu cemas jika setiap tahun dana yang dimiliki tidak mencukupi untuk pembangunan, alias defisit, dan tahun ini sangat besar defisitnya.
Di berbagai media telah banyak diberitakan bahwa kondisi keuangan negara yang defisit ini salah satu sebab utamanya adalah kurangnya penerimaan pajak. Karena penerimaan pajak berkontribusi lebih dari 70% pendapatan negara, maka jika penerimaan pajak jeblok, secara otomatis keuangan negara juga akan terseret jadi jeblok juga. Jika kekurangan penerimaan pajak tahun ini mencapai hingga lebih dari Rp300 triliun, dan diperberat dengan penerimaan dari bea cukai yang juga diperkirakan akan shortfall sekitar Rp. 25 triliun dari target Rp. 149,99 triliun, maka pemerintah harus mengkaji ulang kegiatan pembangunannya senilai Rp. 325 triliun juga. Dalam bahasa yang sederhana, jika tahun ini pemerintah berencana membangun sekolah, rumah sakit, jembatan, jalur kereta api dan jalur transportasi lainnya, memberi subsidi pupuk, membangun fasilitas untuk anak yatim dan anak terlantar, dengan anggaran total Rp. 325 triliun, maka semua itu terancam batal. Rencana tinggal rencana. Bisa bubar jalan semuanya. Bagaimana jika pemerintah bersikeras untuk tetap merealisasikannya? Nah., jawabannya sudah diwacanakan oleh wapres berikut ini:
"Kekurangan penerimaan pajak hanya dua solusinya, ialah mengurangi pengeluaran atau menambah utang," kata wapres pada suatu kesempatan beberapa waktu lalu. Jadi ternyata, pemerintah sudah ancang-ancang untuk utang lagi, artinya nilai rupiah juga siap-siap akan tergerus dan tergerus lagi. It is so spooky...
Dari sedikit uraian tersebut, semoga saja sudah dapat memberikan gambaran bahwa untuk kepentingan pengamanan dan penguatan penerimaan negara, maka instansi pajak dan bea cukai, sebagai instansi utama pengisi kocek negara (revenue centres), sudah saatnya untuk ditingkatkan peran atau kontribusinya. Kewenangan-kewenangan kedua instansi ini harus disesuaikan dengan perkembangan jaman yang semakin tajam dan borderless. Status pegawainya yang selama ini adalah Aparatur Sipil Negara (ASN) atau PNS, juga sudah waktunya disesuaikan dengan iklim kompetisi yang ketat. Saya berkesimpulan bahwa status ASN sudah tidak cocok lagi untuk mereka. Apalagi instansi pajak yang jumlah pegawainya lebih dari 35.000 orang dan tersebar di seluruh pelosok negeri. Sungguh sebuah instansi yang terlalu besar untuk dikelola di bawah sebuah kementerian.
Status ASN itu dikhawatirkan hanya akan menjadi shelter perlindungan bagi pegawai-pegawai yang tidak fokus akan tugas dan kewajibannya. Status ASN ibarat zona nyaman bagi pegawai-pegawai semacam itu, pegawai yang free riders, dan pegawai-pegawai di instansi pajak maupun bea cukai (seharusnya) bukan tipe pegawai yang semacam itu dan tidak memerlukan pegawai yang seperti itu.. Mereka butuh diberi kewenangan dan dibantu dengan penciptaan cara kerja yang lebih agresif dan profesional. Kebijakan di bidang kepegawaian yang cepat, responsif dan transformasional lebih mereka butuhkan, daripada status ASN. Saya kira, pemerintah perlu untuk segera menguatkan mereka dengan seragam dan amunisi yang hebat dan siap pakai, bukan hanya dengan wacana-wacana retoris. Sudah bukan saatnya lagi run the business as usual.
Etos kerja
Selain kondisi keuangan negara yang kurang menggembirakan, ada satu hal lagi yang menurut saya tidak kalah pentingnya dalam menyambut iklim kompetisi global ini, yaitu etos kerja masyarakat. Etos kerja ini adalah nilai-nilai etika yang berkaitan dengan cara atau pola kerja, seperti semangat, integritas, kerajinan, kedisiplinan, ketekunan dan sikap hidup (mind-set), yang digunakan dalam rangka mewujudkan tujuan bersama secara optimal.
Di negara-negara maju, dengan pertumbuhan ekonomi yang pesat, masyarakatnya tentu mempunyai etos kerja luar biasa. Semuanya serba cepat, tetapi tidak terburu-buru. Melainkan teratur dan terukur. Mereka terbiasa disiplin dan sangat menghargai waktu. 1-2 menit adalah waktu yang sangat berarti buat mereka. Terlambat 1-2 menit saja bisa berarti tertinggal, paling tidak tertinggal bus atau kereta, sehingga harus menunggu kedatangan bus atau kereta berikutnya. Mereka tidak mau membiasakan diri menjadi manusia dengan label the last minutes man, yang gemar grusa-grusu dan pontang-panting pada menit-menit terakhir.
Mereka juga tidak segan membangun kebiasaan-kebiasaan sederhana yang sepertinya sepele. Kebiasaan dalam hal antri atau memberi ruang yang cukup untuk para senior berusia lanjut dan ibu hamil, kebiasaan membuang sampah pada tempatnya, disiplin terhadap waktu atau tepat waktu (punctual), dlsb, adalah contoh sederhana dari kebiasaan yang sepertinya sepele tersebut. Bisa jadi, itulah secret recipe mereka dalam membangun dan memajukan bangsanya. Berbeda sekali dengan masyarakat kita. Masyarakat kita terlihat kurang sekali tingkat kedisiplinannya, suka menunda-nunda sesuatu dan terbiasa dengan jam karet. Masyarakat yang kurang disiplin, lebih suka mengulur waktu, bermalas-malasan (malas membaca, malas berpikir dan malas bekerja), maka etos kerjanya cenderung rendah. Dengan etos kerja yang seperti itu, maka memenangkan kompetisi adalah sebuah mimpi di siang bolong. Jadi, etos kerja yang seperti itu harus diubah dan pemerintah mempunyai tanggung jawab dan beban moral untuk mengubahnya.
Dalam pandangan saya, cara termudah bagi pemerintah untuk mengubah dan meningkatkan etos kerja masyarakat adalah mengubahnya melalui pegawai negeri sipil (PNS) atau yang sekarang telah diubah menjadi Aparat Sipil Negara (ASN). Negara kita memiliki tak kurang dari 5 juta ASN. Jika pemerintah bisa mengelola dan mengarahkan para ASN untuk mulai meningkatkan etos kerjanya, maka saya yakin masyarakat juga lambat laun akan mengubah etos kerjanya, mengikuti habit para abdi negara. Bukankah kita menganut budaya paternalistik? Artinya setiap tindak tanduk dan sepak terjang pejabat atau elit negara akan menjadi panutan bagi masyarakat. Pemerintah bisa memanfaatkan ASN sebagai agent of change. Namun bagaimana caranya untuk meningkatkan etos kerja para ASN? Nah, itu lah masalahnya...
Jika kita perhatikan yang terjadi selama ini, level etos kerja para ASN masih di bawah para pegawai swasta, sehingga wajar saja jika produktifitas atau out-come nya belum memuaskan. Banyak sekali perusahaan swasta negeri ini yang produktifitasnya patut diacungi jempol, dan patut dijadikan contoh. Kinerja mereka hebat, penuh passion. Banyak dari mereka yang bahkan mampu menjadi perusahaan raksasa dan berbicara di kancah internasional. Mereka mampu bersaing dan berkompetisi dengan perusahaan luar. Hebat!! Saya yakin, para pegawai di perusahaan itulah yang menjadi kunci dalam membesarkan perusahaan, karena etos kerja mereka di atas rata-rata. Work hard-work smart. Jack Welch, seorang tokoh yang dikenal karena kepemimpinannya yang hebat saat ia menjabat sebagai CEO General Electric (GE), mengatakan: Culture drives great results!
Nah., etos kerja yang seperti itulah yang perlu dicontoh oleh para ASN. Jangan kalah dengan etos kerja pegawai swasta. Berbagai stigma negatif dan ledekan-ledekan yang ditujukan kepada pegawai negeri harus segera dikikis habis dengan cara meningkatkan etos kerja ASN. Para ASN negeri ini harus mampu meng-upgrade etos kerjanya sehingga dapat menyamai atau melebih etos kerja para pegawai swasta. Dengan segala macam cara. All the way.
Dalam tulisan saya yang kemarin, saya menulis bahwa cara agar orang/perusahaan mau membayar pajak, adalah melalui pemaksaan. Jadi rasanya tidak berlebihan jika saya katakan bahwa untuk mendapatkan etos kerja yang baik itu adalah dengan cara dipaksa juga. Entah itu karena dipaksa oleh aturan instansinya, oleh atasannya ataupun oleh lingkungannya sendiri (lingkungan kerja dan/atau lingkungan masyarakatnya). Menurut saya, kisaran angka 5 juta adalah jumlah yang sangat besar dan merupakan sebuah keuntungan demografi, dan sangat potensial untuk membuat negara ini menjadi negara yang kuat dan maju. Sayang sekali jika jumlah ASN yang sebesar itu hanya sekedar angka statistik saja. Jadi, mari kita manfaatkan secara masif dan konstruktif keuntungan demografi itu agar menjadi keuntungan komparatif dan kompetitif. Saya yakin kita bisa!
Flash Mob
Yang jelas-jelas sudah di depan mata kita adalah dimulainya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang efektif berlaku per 1 januari 2016 besok! Dengan berlakunya MEA maka kegiatan ekonomi kita sudah ter-integrasi di seluruh kawasan Asia Tenggara. Akan tercipta kesatuan pasar dan basis produksi dengan tingkat kompetisi yang tinggi di antara negara-negara ASEAN. Republik ini sejatinya memang harus segera bergegas mempersiapkan diri sebaik mungkin untuk menyambut dunia yang semakin terbuka. Jangan (semakin) terlambat dan akhirnya keteteran dan tertinggal.
Belum lama ini, selain menghadiri KTT ASEAN ke-27, Mr. President juga menghadiri sembilan KTT lainnya.. Ya., 9 negara! Sebut saja di antaranya Republik Rakyat Tiongkok, India, Amerika Serikat, Jepang, Republik Korea Selatan dan Selandia Baru. Negara yang hebat-hebat semua dan berdaya saing luar biasa! Artinya negara kita akan banyak terhubung secara aktif dan berkompetisi dengan banyak negara hebat. Apalagi Mr. President sudah bermaksud untuk bergabung dengan sejumlah skema kerja sama perdagangan bebas. Benar-benar sebuah pesan yang jelas sekali bahwa persaingan kita dengan negara-negara lain di tahun-tahun mendatang akan semakin ketat dan tajam. Yang bisa survive kelak adalah negara yang sudah siap sedari sekarang. Bisa jadi., Survival of The Fittest -nya Herbert Spencer berlaku juga di sini.
Siapkah kita menghadapi era persaingan bebas yang ketat dan sudah enggak bisa ditolak itu?? Siap tidak siap.., ya harus siap! Kita tidak bisa lagi mengatakan “Belanda masih jauuh, nyantai aja bro..”. Harus dibuang jauh-jauh kata-kata itu. Tapi kalau mau jujur, siapa di negeri ini yang (sudah) siap? Mr. President saja? Atau dengan para menterinya? Atau siapa?
Kita tidak bisa hanya mengandalkan Mr. President beserta para jajarannya saja. Kita semua harus siap dan semangat. Semakin banyak yang siap, maka efek dan hasilnya akan semakin hebat. Semakin besar semangatnya, maka semakin besar pula energi yang dikandungnya. Kita butuh efek snowball, yang bisa increase/accumulate at a rapidly accelerating rate. We need it seriuosly!!
Apa kita perlu melakukan Flash Mob nasional agar semakin banyak yang siap?! Seluruh lapisan masyarakat harus tahu terlebih dahulu akan datangnya iklim kompetisi yang dahsyat itu, agar kemudian bisa bersiap-siap. Jangan sampai hanya mr. President dan level pejabat elit saja yang mengetahui adanya MEA, dll, tapi mayoritas masyarakat bangsa ini tidak tahu, bisa gawat. Kita bisa menggunakan medsos, komunitas online, web-blog, newsgroup, Whatsapp group, e-mail group, sms berantai, dlsb. Pokoknya bisa menggalang gerakan yang masif dan meraksasa. Kita buat branding-branding yang hebat. Kita panggil pakar marketing yang hebat. Intinya., semangat Mr. President itu harus bisa tersampaikan atau teresonansi dan menggurita hingga ke seluruh pelosok negeri. Agar seluruh lapisan masyarakat paham akan datangnya iklim kompetisi global itu. Agar bangsa ini aware, sadar dan peduli akan datangnya berbagai macam integrasi ekonomi, dan bersatu padu menyongsongnya. Agar bangsa ini mampu merebut banyak peluang dan tidak tergilas jaman. Agar anak cucu kita kelak bisa tegak dan bangga dengan negaranya ini.
Pretty please., c’mon man..!!
“You must show the way, to a better day for all the young” (White Lion)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H