Â
Tahun 2018 merupakan tahun yang penuh tantangan, khususnya tekanan perekonomian global akibat kenaikan Fed fund rate, perang dagang, serta pelemahan pertumbuhan ekonomi global menjelang akhir tahun. Di tahun 2019, tantangan global diperkirakan masih akan membayangi meskipun tidak akan sebesar di tahun 2018, terutama berlanjutnya pelemahan pertumbuhan ekonomi global.
 Waktu terakhir pada tahun 2018 banyak kalangan masyarakat menyandingkan krisis tahun 1997/1998 dengan tahun 2018. Hal ini terjadi saat  nilai tukar rupiah mencapai Rp14.400 per 1 dollarnya. Mereka mengidentikkan situasi ekonomi yang sama daruratnya dengan situasi di jelang kejatuhan Soeharto.
Menurut ibu Miranda Goeltom ada tiga aspek yang bisa dibandingkan antara  Dollar, UMR dan harga beras.
- Nilai dollar dan UMR
Nilai tukar Dollar di akhir Agustus 1997 berada di kisaran USD1 senilai Rp2.500,-. Sementara pada saat yang sama, UMR DKI ditetapkan Rp172.500,- per bulan atau sekitar USD 69 per bulan.  Dalam jelang waktu januari-juli 1998, nilai tukar dollar merayap naik lalu melonjak mendekati Rp16.800,-. Dengan kenaikan ini UMR DKI ada diangka Rp192.000,-  atau setara USD11,4. Dari tahun 1997 ke 1998 kenaikan UMR hanya sekitar 13% sementara kenaikan nilai dollar 600%. Situasi ini membuat  banyak perusahaan yang gulung tikar diikuti PHK massa.
Pada saat Jokowi dilantik menjadi presiden, Oktober 2014 nilai tukar dollar berada di kisaran Rp12.200,- dimana pada saat yang sama, UMR DKI berada di angka Rp2.441.000,- per bulan atau setara dengan USD253. Sedangkan pada Maret 2019 nilai tukar dollar ada di kisaran Rp13.959,- Â dimana UMR DKI berada di angka Rp3.940.973,- atau setara dengan USD282. Jika di bandingkan dengan nilai tukar dollar dan UMR pada Februari maka situasi nya tentu jauh berbeda karena kenaikan UMR februari mencapai 61% sementara kenaikan nilai dollar /14%
- UMR dan harga beras
Daya beli pada tahun 1998 besaran UMR Â Rp192.000,- per bulan. Harga beras medium saat itu Rp2.800,- per kilogramnya. Artinya pada saat itu rakyat dapat membeli 69 kg beras per bulan. Dilihat dari tahun 2019 besaran UMR Rp3.940.973 per bulan. Harga beras medium saat ini Rp9.800 per kg. Dengan demikian saat ini rakyat dapat membeli 402 kg per bulannya. Artinya dibandingkan dengan tahun 1998 maka tentu jauh berbeda. Dari perbandingan tersebut tidaklah tepat jika kurs rupiah saat ini yang hampir Rp15.000 disamakan dengan krisis moneter saat tahun 1998.Â
- Lalu kita bisa lihat bahwa kenapa hari ini belum terjadi krisis moneter seperti tahun 1997/1998, karena fundamental ekonomi indonesia sudah jauh lebih baik. Indonesia dipandang sebagai negara berkembang yang memiliki reputasi baik.
Momentum pertumbuhan indonesia yang Baik di tengah ketidakpastian global telah memicu ketertarikan investor asing terhadap Indonesia. Bu Sri Mulyani juga menyampaikan bahwa "kita menutup tahun 2018 dengan pertumbuhan yang baik, inlflasi rendah dan ekonomi tetap stabil. Indonesia dilihat sebagai negara emerging yang besar, growthnya tinggi, stabilitas baik, pihak moneter dan fiskal bekerja sama dengan baik secara pragmatis dan fleksibel. Untuk dunia internasional itu adalah sesuatu yang mengesankan." Lalu apa yang diuntungkan dari reputasi ini?
Pada era saat ini sebuah perekonomian tak akan bisa lagi berdiri sendiri, unsur lain yang sangat penting adalah faktor psikologis yang dipengaruhi oleh kepercayaan dan harapan. Â Dalam hal inilah kenapa kejadian di Turki dan Argentina mempengaruhi indonesia.Â
Alasan utama investor mau menempatkan uang mereka di emerging market seperti turki, argentina, dan indonesia daripada investasi yang aman seperti pada emas batangan atau di negara-negara aman seperti AS dan Swiss adalah karena harapan adanya keuntungan yang lebih tinggi dengan disadari kepercayaan. Sama halnya sebagai pribadi, kita juga pastinya akan lebih percaya diri meminjamkan uang kepada teman yang kerja kantoran daripada pengangguran yang hidupnya kacau. Tetapi faktor kurs lebih dipengaruhi faktor eksternal daripada fundamental.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H