"Bumi dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai negara dan digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat." Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945.
Historia Evolusi Pertanian Indonesia
Mempelajari sejarah pertanian Indonesia sama dengan mengulas sejarah kebudayaan masyarakatnya. Aktivitas bercocok tanam telah membuat manusia yang nomaden menjadi menetap hingga terciptalah peradaban yang berkembang bersamaan dengan sistem kepercayaan, kesenian, serta pengembangan alat-alat pertanian. Selain dikenal sebagai bangsa bahari, Nusantara juga dikenal sebagai bangsa agraris. Sebagian penduduknya menanam padi di sawah basah dengan sistem irigasi. Sejarah telah mencatatnya sebagaimana terdapat dalam relief candi dan prasasti berbahasa Jawa Kuno.
Sistem pertanian di daerah tropis seperti Indonesia, selain bergantung pada sumber daya alamnya, juga membutuhkan kombinasi dari pengetahuan, keterampilan dan institusi lokal. Sistem pertanian yang bermacam jenisnya berkembang mula-mula dengan sistem coba-coba yang panjang, disesuaikan dengan kebutuhan, kondisi tanah dan lingkungannya. Sehingga sistem pertanian berkembang dalam interaksi yang konstan dengan budaya dan ekologi lokal.
Pengembangan teknologi pertanian telah mengalami proses evolusi sangat panjang. Disebut evolusi sebab teknologi yang kita kenali saat ini merupakan bentuk akumulasi sejarah pembelajaran manusia dari masa ke masa yang terus disempurnakan dalam beberapa fase. Kita menyebut saat ini di fase 4.0. Beberapa fase sebelumnya bisa dikenali sebagai: Pertama, fase penggunaan otot, kurang lebih satu juta tahun yang lalu manusia menggunakan alat bantu berupa batu, palu, tombak, air, angin, bahkan binatang peliharaan seperti kerbau untuk membajak sawahnya.
Kedua, fase revolusi industri, antara 1700-1940 M manusia mulai menggunakan uap, pembakaran, dan listrik. Manusia mencapai puncak perkembangan yang begitu pesat dibanding fase satu yang berlangsung hingga jutaan tahun. Manusia bisa mewujudkan keinginan primitifnya untuk terbang dengan merancang pesawat terbang. Pertanian pun turut berkembang dengan diproduksinya mesin pembajak sawah yang lebih canggih dari sekedar mengandalkan otot kerbau.
Ketiga, fase revolusi energi, 1940-2000 M manusia mejadikan peralatan elektronik sebagai kebutuhan hidupnya. Pengembangan energi matahari dengan panel surya atau nuklir pun tak luput dari aktivitas pengembangan sumber energi baru. Akhirnya, dari bermodal otot, manusia telah berhasil mengubah sumber energi teknologinya menggunakan banyak jalan, bisa dengan air, angin, matahari, dll. Namun, kebutuhan akan energi listrik tetaplah yang paling besar dan utama.
Rekayasa genetika untuk budidaya varietas unggul mulai menemukan puncak penggunaannya. Bibit-bibit unggul disemai untuk mendapatkan hasil panen yang melimpah, tahan hama dan kualitas unggulan. Tak lupa pula penemuan pestisida, herbisida, insektisida dan fungisida semakin meningkatkan produktivitas pertanian. Namun penggunaannya yang berlebihan membuat persistensi dan daya racun yang berbahaya bagi ekosistem. Penggunaan bibit unggul yang memiliki ketergantungan pada produk kimia (pupuk dan pestisida) membuat varietas lokal mati, juga membuat struktur tanah cepat rusak.
Keempat, fase revolusi informasi, di abad ke-21 ini semakin canggih, mulai dari penggunaan medsos sebagai media berkomunikasi atau sekedar mencari hiburan hingga topik cyberspace, cyborg, dan artificial intelegence (AI) semakin berkembang pesat. Di era revolusi informasi semua serba digital, informatis, otomatis, praktis, dan mekanis. Pengembangan startup di bidang pangan dan pertanian pun mulai dilirik. Contohnya, startup Karsa, TaniHub, iGrow dan Eragano yang didirikan untuk tujuan memberikan informasi seputar pertanian dan regulasi terkait, pemantauan harga produk pangan, menjual hasil panen, perlengkapan pertanian dan pupuk, serta pinjaman dana untuk modal petani kecil mengembangkan usahanya.
Â