"Katanya kamu sudah jadian sama Rades, tapi kenapa kamu masih ngeganggu aku sama Radit ?"
Oh! Itu to masalahnya. Ternyata Radit mutusin Rinta dengan alasan masih sayang sama aku katanya, jadi wajar kalau Rinta sampai marah-marah macam ngelabrak pelakor, bahkan dia mengeluarkan sumpah serapan dan tamparan yang tentunya berhasil aku tangkis. Maaf Rinta, mungkin dulu kamu boleh sampai berbusa curhat tentang seberapa banyak cowok yang kamu putusin duluan begitu kamu sudah bosan. Tapi kali ini? Aku tidak akan menjadi pendengar yang baik. Mungkin sudah tiba karma untukmu. Tahu kan bagaimana rasanya ditinggal ketika sayang-sayangnya?
"Lebih baik kamu pulang saja, Rin. Percuma kita bicara kalau kamu lagi emosi." Usirku berusaha tenang agar tidak semakin membuat suasana makin runyam.
"Aku nggak akan tinggal diam kalau kamu masih terus dekat sama Radit." Ucapnya kemudian pergi.
Aduh, Rinta. Hanya karena perasaanmu dibutakan oleh cinta, persahabatan yang kita bangun hancur seketika. Bagaimana mungkin semua kenangan persahabatan kita berubah menjadi tidak ada artinya begitu saja saat ini? Andai saja kamu bicara baik-baik, aku pasti akan berusaha merelakan Radit untuk kamu, Rin. Ah, sudahlah! Cinta memang buta, saking bukanya, orang yang coba membantu menuntunpun dianggap lawan yang akan menjegal.
***
"Pasti Rinta datang ke kamu ya? " Tukas Radit keesokan harinya, bertamu ke rumahku.
"Selesaikan dulu masalah kamu dengan Rinta, baru kamu boleh datang lagi padaku, Dit!"
"Aku benar-benar tulus sayang sama kamu, kamu mau kan balikan lagi ama aku, Prin?" Ah, dasar Radit, yang tidak suka bertele-tele dan langsung ke topik.
"Ini yang kamu maksud tempo hari? Kamu anggap persahabatan aku dan Rinta itu tidak artinya sehingga kamu bisa dengan mudah dan tidak berperasaan menghancurkannya?" Aku geram.
"Sudah aku bilang, saat itu masih ada urusan yang harus aku selesaikan, Prin. Dan sekarang, kita bisa kembali seperti dulu tanpa ada yang mengganggu lagi."