Mohon tunggu...
Lis Liseh
Lis Liseh Mohon Tunggu... Apoteker - Apoteker/Pengajar

Apoteker dan Pengajar di Pesantren Nurul Qarnain Jember | Tertarik dengan isu kesehatan, pendidikan dan filsafat | PMII | Fatayat NU. https://www.facebook.com/lis.liseh https://www.instagram.com/lisliseh

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Seni Mengantisipasi Luka

29 Januari 2019   11:11 Diperbarui: 8 Februari 2019   11:46 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada banyak barang yang kubeli kemudian kusimpan dalam kardus tidak pernah aku pakai. Hari ini akan kuluangkan waktu meyeleksinya, dan yang sudah tidak aku butuhkan akan kuberikan saja pada tetangga atau aku jual di tukang loak. Kutemukan catatan, kliping dan hadiah dari teman yang sudah lama, membuatku kembali bernostalgia. Mengingat kenangan yang manis-manis saja, serasa baru kemarin baru mengalaminya. 

Bukankah begitu fungsi ingatan? Saat ia dipanggil untuk me-review kejadian dulu, sensasinya serasa masih segar baru saja terjadi. Dari buku harian terbaca tentang kejadian masa lalu yang konyol atau aneh, dan berbagai impian yang aku tuliskan untuk masa depan. Mungkin aku tempelkan saja di kaca lemariku dan bertekad akan mewujudkanya.

Aku lanjutkan dengan mendekorasi ulang kamar. Menata beberapa perabot dengan posisi yang baru agar terlihat lega sehingga lapang pula batinku. Cukup lapang untuk mulai belajar menerima keadaan, berdamai dengan diri sendiri dan belajar memaafkan semua orang yang membuatku kesal sekalipun aku tahu tidak sepenuhnya salah mereka.

Akan kumaafkan temanku, Setya, yang sudah menipuku lalu membawa kabur uang 100 jutaku sehingga membuatku di pecat dengan menanggung hutang. Aku akan mencari lagi modal usaha baru, memulai lagi dari awal dengan pengalaman buruk kemarin sebagai pelajaran agar lebih hati-hati, melunasi hutangku secepatnya.

Akan aku maafkan Enzo yang lebih memilih menikah dengan Mirna, sahabatku sendiri. Meski kenangan dua tahun bersama Enzo rasanya bergantian berkelebat menusuki batin dan jiwaku, lalu berusaha menghibur hati bahwa cinta yang lebih baik akan segera datang. Sebab aku harus memaafkan. Bukan untuk mereka, tapi untuk kebaikanku sendiri, karena aku tidak akan kuat melangkah lebih jauh jika masih memuat beban kebencian dan dendam masa lalu yang mengotori kedalaman batinku.

Aku ingin bertingkah seperti anak kecil yang akan tertawa lepas sambil berlarian di bawah hujan. Menguyah permen dan gulali sebanyak yang kusuka. Jika cuaca cerah, akan kupandangi matahari lamat-lamat berusaha mengingat berapa banyak hari cerah yang sudah aku alami. Dan aku akan membuktikan bahwa aku tidak pernah sendirian atau sebutan mereka tentangku yang penyendiri tidaklah benar, sebab dimanapun aku berada, ada semesta yang senantiasa berkomunikasi dan melingkupiku.

Saat petir menyambar dikejauhan, akan kupercayai sebagai kemurkaan Tuhan padaku yang selama ini hanya menganggap ibadah sebagai rutinitas, bukan waktu khusus untuk menghadap dan menyucikan jiwa dari kefanaan dunia. Lalu aku akan berjanji untuk menyempatkan diri setidaknya 5 kali dalam sehari untuk benar-benar hadir menghadap pada Tuhan-ku. Kemudian jiwaku mulai mendapati kedamaiannya. Membuatku tersenyum lepas merasakan energi perubahan positif dan diliputi kebaikan. Dan inilah aku yang terlahir kembali, bukan sebagai anak dari Ayah dan Ibuku, tapi aku adalah anak dari semua pengalaman yang telah aku lalui hingga saat ini.

Jikapun ini hari terakhir aku hidup, aku akan menikmatinya senikmat-nikmatnya. Segala bahagia yang membahagiakan ataupun sedih yang kupaksa. Hidup berarti merasakan emosi serta sadar akan kesadaran dan keberadaanku diantara semesta raya ini. Segala gemuruh dalam jiwa akan rasa sakit, kecewa dan sesal; jeritan hati sebab dirundung perasaan tak berguna yang disusul pula sensasi nyeri tak tertahankan dari rasa patah hati yang tak kunjung mereda, perasaan gagal dalam pekerjaan, lebih gagal lagi dalam percintaan. Semua, segala rasa sakit itu bersatu, lalu berusaha dibungkus oleh kenikmatan dan penerimaan. Kenikmatan rasa bahagia, penerimaan akan rasa sakit.

Kenapa pula selalu merasa sakit saat jatuh? Padahal gravitasi selalu menjatuhkan. Tidakkah itu dijadikan pelajaran? Kita jatuh cinta bukan cuma sekali, kita patah hati bukan cuma dua kali. Seharusnya sebagai manusia masa depan, kita dapat mengantisipasi luka dan meminimalisir sakit. Gagal adalah bukti kita pernah mencoba. Jatuh adalah semangat kita untuk terus bangkit.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun