Mohon tunggu...
Lis Liseh
Lis Liseh Mohon Tunggu... Apoteker - Apoteker/Pengajar

Apoteker dan Pengajar di Pesantren Nurul Qarnain Jember | Tertarik dengan isu kesehatan, pendidikan dan filsafat | PMII | Fatayat NU. https://www.facebook.com/lis.liseh https://www.instagram.com/lisliseh

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Seni Mengantisipasi Luka

29 Januari 2019   11:11 Diperbarui: 8 Februari 2019   11:46 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hasil gambar untuk BUNUH DIRI

"Sini duduk di sampingku, Ti!"

Ku turuti saja tanpa banyak tanya dan protes. Sebenarnya kami sering tidak sengaja bertemu di warung kopi lesehan pinggir pasar yang hanya ramai pagi hari, dan dan warung-warung kopi saja yang ramai ketika malam. Dia duduk menghadap jalan raya, sementara aku membelakangi. Dia menyunggingkan senyum tidak simestris, artinya pancingannya berhasil dan akan segera memberikan khotbah khas Bang Arya yang sudah terkenal di kalangan tempat kerjaku dulu sebagai Sang Guru motivasi macam Mario Teguh gadungan.

Ia melepas kacamatanya, diletakkannya di samping kopi hitamnya, lalu ia menyulut rokok yang ia apitkan diantara bibirnya, jadilah asap menyeruah dan siap mengobrol panjang. Aku sudah menyiapkan telinga.

"Sudah beberapa kali kita ngobrol panjang secara tidak sengaja. Aku suka dengan gayamu yang blak-blakan, sekalipun kau irit kata-kata alias tidak cerewet seperti kebanyakan perempuan."

Kata-kata penghibur yang tidak menarik. Aku hanya memainkan sedotan es susu cokelatku dengan bosan.

"Bunuh diri dianggap wajar bagi orang yang baru saja dilalap emosi merasa gagal dalam pekerjaan dan tak kalah parah dalam percintaan..." Mas Arya menatap langsung ke mataku, "aku tidak punya nasihat apapun untuk orang yang ingin mengakhiri hidupnya tapi masih takut dengan sakit. Nanti jika sudah bulat tekatmu untuk bunuh diri, cobalah nasihatku ini. Kau lihat jalan raya di depan kita? Menurutmu berapa banyak kendaraan yang melintas dalam semenitnya? Dengan kepadatan ini, mungkin bisa sampai ratusan kendaraan, jika tiba-tiba lari ke tengah jalan kau akan cepat mati. Berdoalah kendaraan yang menabrakmu dalam kecepatan tinggi sehingga cukup untuk membuatmu mati cepat. Bagaimana, kamu tertarik mencoba?"

"Makasih sarannya, Mas. Bisa nanti aku pertimbangkan," kusunggingkan senyum masam.

Ia tertawa geli mendengar responku. "Tapi tak perlulah kamu bunuh diri. Pulanglah, tidur yang nyenyak bersama hellokitty-mu itu." Tunjuk Mas Arya pada jaket yang aku kenakan.

Ia pakai kembali kacamatanya sambil beranjak, mengantongi kembali rokok dan koreknya dalam saku jaketnya. "Aku pulang dulu ya, Ti. Kali ini biarkan aku yang traktir, membayar traktiranmu yang kapan hari. Biar kalau kau jadi bunuh diri malam ini, aku tidak punya hutang kopi padamu."

Dia pergi. Aku masih merenungi esensi kata demi kata yang Mas Arya coba sampaikankan sambil memandangi jalan raya penuh kendaraan berseliweran dan lampu jalanan yang berderet sedikit mengusir kegelapan malam. Kota ini tidak pernah mati sekalipun malam hendak kembali menjemput fajar, subuh mulai malu-malu menampakkan diri.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun