Mohon tunggu...
Lis Liseh
Lis Liseh Mohon Tunggu... Apoteker - Apoteker/Pengajar

Apoteker dan Pengajar di Pesantren Nurul Qarnain Jember | Tertarik dengan isu kesehatan, pendidikan dan filsafat | PMII | Fatayat NU. https://www.facebook.com/lis.liseh https://www.instagram.com/lisliseh

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Indonesia Negara Ramah Monyet?

18 Desember 2018   08:26 Diperbarui: 18 Desember 2018   09:51 234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sore kemarin, seperti biasa aku membeli nasi bungkus di warung langgananku. Ada pemandangan yang tak biasa, atraksi topeng monyet dijalanan gang perumahan itu. Cukup menarik perhatian, terlebih iringan musik semacam gamelan itu terdengar hingga radius ratusan meter. Si monyet yang berkostum celana panjang warna merah yang dibolongi pada bagian bokongnya agar ekornya bebas melambai, dan baju seperti rompi lengan pendek warna merah dan keemasan. 

Si monyet bergerak lincah untuk memikat perhatian penonton. Sang pawang menyerahkan topeng, si monyet dengan cekatan memakainya dan menghampiri gerombolan anak kecil, ada yang tersenyum bahagia melihat tingkah lucu si monyet, ada pula yang menjerit ketakutan yang lalu diambil si emak untuk digendong, ngemongi. 

Yang seorang memainkan gamelan, yang seorang lagi mengedarkan kaleng bekas sebagai tagihan kompensasi untuk atraksi mereka, setiap ada yang memberi lembaran uang, si pemegang kaleng mengacungkan kalengnya tinggi-tinggi sambil menari mengikuti alunan gamelan. 

Setelah itu aku tak tahu lagi apa yang terjadi, tak begitu banyak yang bisa aku saksikan, karena setelah selesai ibu pemilik warung membungkuskan pesananku, aku langsung melenggang pulang.

Ya, topeng monyet. Sudah lama menjadi sarana hiburan dan lahan pendapatan bagi beberapa orang. Banyak hal yang terasa ganjil di otakku, selain seberapa lama waktu yang dibutuhkan si pelatihnya untuk menelateni si monyet hingga bisa berperilaku seolah seperti manusia: memakai topeng, berjalan dengan dua kaki sambil memegang payung, mengendarai sepeda kecil, dan lain sebagainya atraksi yang ditawarkan pada penampilan topeng monyet. 

Apa pada proses pelatihan si monyet diperlakukan layak? Entah kenapa fikiranku bilang tidak, karena yang namanya hewan pasti akan diperlakukan tidak baik saat ia tidak berbuat sesuai kehendak sang pawang. Lalu bagaimana dengan si monyet yang dalam masa karantina (dilatih) itu? 

Aku pernah dengar bahwa cara melatih monyet awalnya dibiarkan kelaparan, lalu pelan dilatih berdiri dengan cara diikat atau digantung. Jika tidak bisa berdiri akan dipukul dengan lidi atau bahkan rotan. Jika berhasil berdiri akan diberinya pisang. 

Terus berlanjut hingga pada adegan yang sulit, semakin susah diatur si monyet, makin banyak ia diganjar pukulan. Semakin baik si monyet menuruti arahan sang pawang, makin sering ia dihadiahi pisang. Semakin lama hingga terbentuk simbiosis yang kompak, bahkan saat si monyet dilepaskan, sang pawang tak khawatir piarannya akan kabur.

Seandainya kita bisa mengerti bahasa monyet, apakah dia senang menjadi bahan tontonan dan hiburan bagi manusia? Yah, aku tahu, monyet tetaplah seekor monyet, binatang. Pernah aku membaca sebuah novel yang mejadikan monyet sebagai tokoh utamanya, judul novelnya "O", karya Eka Kurniawan. Si monyet rela didera dan disiksa demi berinkarnasi menjadi manusia agar dapat bertemu dengan sang kekasih, si monyet yang telah lebih dulu berubah menjadi manusia setelah dilatih menjadi topeng monyet.

Terlepas cerita tersebut mitos atau dapat jadi nyata, aku punya pertanyaan pada kalian semua yang pernah menonton topeng monyet, merasa terhiburkah atau miris? Terhibur hingga terbahak melihat tingkah lucu si monyet yang memperagakan tabiat manusia, atau miris betapa kasihannya si monyet yang terasing dari tabiat kemonyetannya? Ia si monyet yang tak lagi secara bebas menikmati naluri kemonyetannya, terpisah dari gerombolan dan habitat asrinya di alam liar. 

Tapi aku hanya bisa menyalurkan kemirisan itu pada tulisan ini, tak bisa frontal pasang badan menolak ekploitasi sang pawang pada si monyet saat pagelaran topeng monyet itu. 

Dan bagian yang paling lebay dari pikiranku saat ini, berharap adanya penegasan peraturan atau undang-undang penghapusan topeng monyet di Indonesia, memang sudah terdapat UU Nomor 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem, tapi peraturan tetap hanya akan jadi hitam di atas putih jika pemerintah dan masyarakatnya tidak menerapkan. 

Seperti yang pernah dilakukan di Jakarta pada tahun 2013 dengan melepasliarkan 67 monyet ekor panjang eks topeng monyet, hingga 2014 Jakarta dinyatakan bebas topeng monyet. 

Meski terkadang banyak  kontroversi akan pudarnya budaya tradisional yang sudah mengakar sejak jaman kolonial Belanda, tapi kita sebagai manusia patut berjiwa humanis terhadap segala ciptaan Tuhan. Semoga tak hanya Jakarta, tapi Indonesia secara keseluruhan dapat menjadi Negara ramah satwa, Negara yang dapat menjadi tempat aman dan nyaman bagi seluruh satwa endemiknya (Ls).    

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun