Mohon tunggu...
Lisa Yunitha
Lisa Yunitha Mohon Tunggu... Lainnya - Freelance

Senang menulis dan literasi

Selanjutnya

Tutup

Parenting Pilihan

Cara Efektif Menahan Diri Upaya Menjauhkan Diri dari Hedonisme

7 Agustus 2024   12:06 Diperbarui: 3 September 2024   07:12 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cara Efektif Menahan diri upaya melatih diri untuk lebih Tahu Diri

Menahan diri adalah hal penting dalam melatih dan mengelolah emosi dan egosentris dengan lebih baik sehingga mengurangi resiko tindakan atau perilaku impulsif atau berlebihan. Hal Ini saya refleksikan ketika berada di kehidupan saya semasa kecil dulu dan karenanya saya lalu menyadari betapa cukup berdampak di kehidupan saya dimasa sekarang.

Saya bersama adik-adik  dibesarkan oleh kedua orangtua dengan latar belakang pekerjaan sebagai guru sekolah dasar. Kedua orangtua kami bertugas di suatu pulau dimana akses- akses vital masih sangat sulit saat itu. 

Mulai dari Air bersih yang masih mengandalkan air tadah hujan dan jika dimusim kemarau air pisang dan air dari uap bumi menjadi satu satunya cara bertahan hidup. 

Tidak adanya listrik sehingga harus menggunakan lampu pelita atau lampu gas, hingga moda transportasi saat itu yang mengandalkan kekuatan kaki untuk menempuh jalan dengan geografis tanjakan sejauh mata memandang. Wah, lengkap sudah penderitaan hidup ini.

Akan tetapi, hari-hari masa kecil dilewati begitu gembiranya. Sepulang sekolah sehabis makan siang, bersama teman teman pergi ke kebun atau ke hutan mencari bengkuang  atau mangga dan kenari. 

Lalu makan dan bermain dengan sepuasnya tanpa ada beban kehidupan. Sore harinya pergi mengorek batang pisang untuk kemudian ditadah atau ditampung airnya semalamam lalu kemudian diambil keesokan harinya untuk kebutuhan cuci piring dan MCK. 

Jika malam tiba kamipun mencari hiburan dengan menonton TV dirumah tetangga yang memiliki TV dengan genset sebagai motornya. Dan di masa itu hanya orang orang tertentu yang memiliki fasilitas kelas semacam TV dan generator.

Awal bulan biasanya kami bertugas mengambil jatah beras gajian para guru di sekolah gugus yang letaknya 10-20 Km dengan akses jalan tanjakan dan turunan yang cukup melatih otot, tapi ini kondisi yang sangat menyenangkan bagi jiwa kecil kami.

Saya lalu teringat suatu ketika adik kecil saya mengeluhkan kepada ayah karena rumah kami yang hanya berdindingkan pelupu bambu dan beralaskan tanah, dengan penerangan dari 3 lampu pelita disetiap kamar dan lampu gas di ruang tamu dan yang  pasti tidak ada TV disana. 

Ia merengek agar dibelikan TV supaya tidak harus pergi ke rumah tetangga dan harus berlari-larian bersembunyi jika datang hujan dan petir yang disambung halilintar saat musim hujan tiba.

Adik saya merasa iri. Ia lalu membandingkan dengan teman sekolahnya yang kedua orangtuanya juga guru SD tetapi memiliki fasilitas yang lumayan lengkap. 

Mulai dari rumah yang layak karena keseluruhan terbuat dari tembok yang dicat rapih dan fasilitas hiburan seperti TV yang cukup lengkap pada masa itu kemudian merasa mereka di anak emaskan karena tidak dilibatkan dalam setiap kegiatan bhakti  semisal kegiatan mengambil beras gaji guru tadi.

Dan hati kecilnya merasa kecewa ketika jawaban ayah yang tidak sesuai kehendak hatinya. "Harus tau hidup susah, tugasmu hanyalah belajar". Kalimat yang cukup menohok dan masih terus terngiang ngiang bahkan hingga sekarang

Sebuah pembelajaran hidup yang ternyata sengaja dirancang Tuhan melalui orangtua  dan keadaan,dan pikiran kecil kami saat itu belum memahaminya. Sekarang barulah saya menyadari betapa sangat berharga dan mahal pengalaman hidup yang terbangun atau sengaja di bangun pada masa itu. Bahwasannya:

  •   Kesulitan hidup mengajarkan agar bertahan dan     bersyukur serta dinikmati setiap prosesnya. Melatih diri agar terbiasa dengan segala sesuatu yang kurang
  • Keterbatasan membuat respon emosi yang dihasilkan seseorang menjadi  lebih bisa menahan diri dan bersyukur
  • Melibatkan diri dalam lingkungan sosial membuat rasa percaya diri semakin tumbuh
  • Terbiasa dengan hal hal yang sederhana dan biasa dan bukan hal -hal mewah membentuk diri menjadi pribadi yang lebih bisa bergairah mengusahan kualitas hidup yang lebih baik dengan usaha sendiri di masa depan

Dan sayapun akhirnya begitu meyakini dengan pola asuh tentang kesederhanaan ini ketika setelah 30 an tahun setelahnya saya melihat perbedaan yang cukup signifikan antara saya bersama adik adik saya dan anak dari teman guru orangtua kami tadi.

  • Kami bersyukur bahwa kami bisa menyelesaikan pendidikan hingga jenjang sarjana  sedangkan teman kami tadi drop out di Sekolah Menengah Pertama dan yang lainnya berkuliah di jenjang sarjana selama kurang lebih 13 tahun dan pada akhirnya di DO dari kampus.
  • Kami juga bersyukur bahwa dengan hasil keringat kami, kami bisa membiayai hidup sendiri dan perlahan membangun rumah sendiri sedangkan teman kami tadi rumah dan fasilitasnya disiapkan oleh orangtua mereka

Sebuah cerita yang cukup bergharga dan menjadi patokan arah untuk keberlanjutan hidup anak cucu.

***Semoga bermanfaat***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun