Ia merengek agar dibelikan TV supaya tidak harus pergi ke rumah tetangga dan harus berlari-larian bersembunyi jika datang hujan dan petir yang disambung halilintar saat musim hujan tiba.
Adik saya merasa iri. Ia lalu membandingkan dengan teman sekolahnya yang kedua orangtuanya juga guru SD tetapi memiliki fasilitas yang lumayan lengkap.Â
Mulai dari rumah yang layak karena keseluruhan terbuat dari tembok yang dicat rapih dan fasilitas hiburan seperti TV yang cukup lengkap pada masa itu kemudian merasa mereka di anak emaskan karena tidak dilibatkan dalam setiap kegiatan bhakti  semisal kegiatan mengambil beras gaji guru tadi.
Dan hati kecilnya merasa kecewa ketika jawaban ayah yang tidak sesuai kehendak hatinya. "Harus tau hidup susah, tugasmu hanyalah belajar". Kalimat yang cukup menohok dan masih terus terngiang ngiang bahkan hingga sekarang
Sebuah pembelajaran hidup yang ternyata sengaja dirancang Tuhan melalui orangtua  dan keadaan,dan pikiran kecil kami saat itu belum memahaminya. Sekarang barulah saya menyadari betapa sangat berharga dan mahal pengalaman hidup yang terbangun atau sengaja di bangun pada masa itu. Bahwasannya:
-  Kesulitan hidup mengajarkan agar bertahan dan   bersyukur serta dinikmati setiap prosesnya. Melatih diri agar terbiasa dengan segala sesuatu yang kurang
- Keterbatasan membuat respon emosi yang dihasilkan seseorang menjadi  lebih bisa menahan diri dan bersyukur
- Melibatkan diri dalam lingkungan sosial membuat rasa percaya diri semakin tumbuh
- Terbiasa dengan hal hal yang sederhana dan biasa dan bukan hal -hal mewah membentuk diri menjadi pribadi yang lebih bisa bergairah mengusahan kualitas hidup yang lebih baik dengan usaha sendiri di masa depan
Dan sayapun akhirnya begitu meyakini dengan pola asuh tentang kesederhanaan ini ketika setelah 30 an tahun setelahnya saya melihat perbedaan yang cukup signifikan antara saya bersama adik adik saya dan anak dari teman guru orangtua kami tadi.
- Kami bersyukur bahwa kami bisa menyelesaikan pendidikan hingga jenjang sarjana  sedangkan teman kami tadi drop out di Sekolah Menengah Pertama dan yang lainnya berkuliah di jenjang sarjana selama kurang lebih 13 tahun dan pada akhirnya di DO dari kampus.
- Kami juga bersyukur bahwa dengan hasil keringat kami, kami bisa membiayai hidup sendiri dan perlahan membangun rumah sendiri sedangkan teman kami tadi rumah dan fasilitasnya disiapkan oleh orangtua mereka
Sebuah cerita yang cukup bergharga dan menjadi patokan arah untuk keberlanjutan hidup anak cucu.
***Semoga bermanfaat***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H