Pernah mereview bukunya 2 tahun lalu. Lalu tahu buku ini akan difilmkan dengan judul sama beberapa bulan lalu dari facebooknya Donny Dhirgantoro (si pengarang). Excited…
Menunggu berbulan-bulan, yay finally… bisa nonton juga.
Sedikit penilaian (bukan review), menurut sy emosi para pemainnya kurang greget di sini. Karakter-karakter yang mereka perankan kok rasanya kurang kuat, kurang mewakili dengan karakter sesungguhnya di novel.
Malah lebih seru membaca novelnya, asal tidak males saja buat baca.
Ada cerita yang ga pas di sini, dan sebenarnya hal yang memang sering terjadi untuk sebuah film yang diadaptasi dari novel. Ga pure bener2 sama dengan novelnya. Yah, meski pastinya sang sutradara punya pertimbangan-pertimbangan tertentu, entah itu dari sisi komersilnya atau terkait biaya produksi, selalu seperti itu. Tapi tetap saja, penonton sering dibuat kecewa ketika menonton sebuah film yang diadaptasi dari novel, terlebih jika telah membaca sendiri novelnya. Secara otomatis, kita pasti akan membandingkan antara novel dan filmnya. Misal :
Pada ending film, Ian menikah dengan Hepi Salma padahal di buku ga loh. Genta pada akhirnya suka sama Dinda, di buku ia nikah sama temen kantornya Riani, Citra (muncul sesaat dalam film, saat Riani pulang kantor). Atau, seingat sy Ian mendapatkan bantuan bukan lantaran ia meminjamkan dongkrak (jalan cerita ini malah ga ada di novel) tapi pada saat ia meminjamkan korek api saat terduduk lelah dan putus asa, karena survey untuk kebutuhan Tugas Akhirnya selalu mendapat penolakan.
Memang ada beberapa jalan cerita yang terkesan sangat dipaksaan dan tidak natural. Sedikit mengganggu, kok  aneh…kok tiba-tiba melompat begini tanpa gambaran awal dan sedikit deskripsi…kok bisa y…Itu yang akan kita dapatkan klo mau sedikit lebih jeli.
Contoh, aneh rasanya seorang jumbo seperti Ian mampu mendaki Mahameru (puncak tertinggi Jawa) hanya dengan persiapan seminggu dan (dikatakan dalam film) hanya latihan lari sekali. Sy lupa bagaimana di novelnya.
Sy rasa hal yang wajar sih, krn film kan mempunyai durasi yg sangat terbatas, tak mungkin menyajikannya secara utuh. Pinter-pinternya sang sutradara bagaimana harus mengemasnya sehingga nampak utuh dan sesuai fakta di lapangan, jadi tidak terkesan dipaksakan.
So far, bagus banget filmnya. Cukup bisa merecharge semangat kita. Terlebih, sukses menciptakan gelak-tawa sepanjang film berjalan. Banyak hal-hal lucu dari penggalan-penggalan percakapan para pelaku. Cukup menghibur dan bikin fresh.
Good Job!
Yang kita butuhkan sekarang adalah :
- Kaki yang akan berjalan lebih jauh dari biasanya (Genta)
- Tangan yang akan berbuat lebih banyak dari biasanya (Arial)
- Mata yang akan menatap lebih lama (Ian)
- Lapisan tekad yang seribu kali lebih kuat dari baja (Riani)
- Hati yang akan bekerja lebih keras dari biasanya (Zafran)
- Serta mulut yang akan selalu berdoa (Dinda)
Sy suka kalimat di atas.
***
Jadi….gimana klo novel keduanya Donny yg berjudul “2″ difilmkan juga? Saya rasa ini akan lebih bagus, karena nilai perjuangan dan semangatnya lebih keren. Tentang perjuangan seorang anak perempuan melawan penyakit genetis yg dideritanya.
Seperti 5 cm terinspirasi dari kisah nyata, 2 juga terinspirasi dari kisah nyata. Bahkan hingga novel 2 ditulis (2011) tokoh center dalam novel 2 ini masih terus berjuang melawan penyakitnya hingga kini.
Saya bukan novel-holic, tapi sy tetep suka membaca novel2 tertentu, meski sedikit pemilih. Dan untuk karyanya Donny Dhirgantoro, sy memang termasuk peminat dan penikmat setia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H