"Kami sudah menyerahkan foto kopi KTP, tetapi petugas TPS menolak karena foto kopi KTP harus diperbesar 100 %, sementara hari libur mana mungkin ada tempat foto kopi buka ?"Â
Peristiwa pencoblosan
Bulan April kemarin merupakan hari yang mendebarkan buat saya, terutama hari pencoblosan. Biasanya saya tidak terlalu peduli dengan pesta demokrasi, tapi tgl 17 April 2019 kemarin saya benar-benar melakukannya dengan hati yang gembira. Karena ini adalah pesta, jadi wajar harus dirayakan dengan perasaan senang. Pagi hari saya sudah dibangunkan oleh orang tua saya, walau baru tidur. Maklum, bisa dibilang saya termasuk komunitas yang bela-belain bangun pagi demi mencoblos pilihan tersayang, padahal baru tidur dua atau tiga jam.
Bangun pagi langsung cuci muka dan sikat gigi. Saya berangkat ke TPS tanpa mandi, yang penting wangi dan sudah berdandan rapih. Keluarga saya sudah berkumpul, bahkan PRT saya dan anaknya juga sudah datang demi mencoblos. Tidak ada sekat-sekat antara kami, malah kami sempat was-was karena sang anak terlambat datang. Beberapa kali kami menanyakan posisi dia sudah ada di mana ? Ketika dia sampai langsung kami giring ke TPS walau jari kelingking kami sudah bertinta ungu. Di sana pun kami berfoto-foto dengan petugas TPS.
Karena keluarga kami sudah menempati rumah ini sudah puluhan tahun, wajar kami sangat "terkenal". Setelah menghabiskan waktu  berfoto kesana-kemari di tempat pencoblosan, yah karena salah satu petugas TPSnya agak "nge-fans" dengan saya (Harap maklum, saya termasuk selebriti tingkat RT), kami pulang dengan riang gembira. Selanjutnya langsung membagikan keriaan di TPS hari ini di media sosial dan melanjutkan tidur yang tertunda.
Bangun tidur, saya tidak terlalu berharap jagoan saya akan menang di TPS saya. Karena pada saat Pilkada, BTP jagoan saya keok di sini. Oleh karena itu tidak terlalu antusias akan hasilnya. Ketika saya hendak keluar mau mencari makan, saya "terdampar" di salah satu tempat tongkrongan di warung tetangga terdekat. Kami mengobrol tentang pencoblosan tadi.
Para tetangga saya ini sudah tidak tinggal di sini, tetapi KTP mereka masih terdaftar di sini. Demi memilih jagoan mereka pulanglah ke daerah domisili KTP. Ada yang menginap, ada yang langsung pulang, intinya ada banyak pengorbanan mereka demi menunaikan hak mereka. Kebetulan mereka adalah pemilih paslon 01 garis keras, sama dengan saya, jadi bertukarceritalah kami. Dugaan saya mengenai hasil di TPS ini ternyata benar, Paslon 02 yang menang.
Mengalirlah pembicaraan, bahwa mereka merasa dicurangi pada saat mau memilih. Kebetulan mereka terlihat akan memilih paslon #01. Pertama, ada keluarga yang pada saat Pilkada kemarin mendapat surat suara semua, tetapi pas sekarang hanya satu orang saja yang menerima. Kedua pada saat ke TPS, mereka sudah menyerahkan foto kopi KTP dan menunjukkan Kartu Keluarga akan tetapi ditolak oleh petugas dengan alasan foto kopi harus diperbesar 100 %, tidak boleh foto kopi biasa.
Langsung keluar protes dari mereka, mana mungkin mencari tempat foto kopi yang buka pada hari pencoblosan alias libur. Tapi petugas tidak menggubris keluhan mereka. Dengan hati kecewa mereka pulang ke rumah masing-masing, sambil menahan rasa kesal tapi tidak tahu mau dilampiaskan ke siapa. Â Mereka emosi, sudah meluangkan waktu, tenaga bahkan uang untuk kembali ke tempat asal KTP mereka.
Untunglah ada salah satu warga kami, sebutlah Pak Haji menghadap ke petugas TPS. Entah apa yang dibicarakan, intinya mereka dipersilahkan memilih akibat beliau menghadap. Itu juga menit-menit terakhir. Dengan segera mereka ke TPS untuk menyalurkan suara akibat setelah diinfokan kabar baik ini. Coba bayangkan kalau Pak Haji tidak menghadap ke petugas TPS, tentu banyak suara-suara yang tidak bisa disalurkan.
Dengar-dengar dari tetangga saya, di RT kami memang 01 satu bukanlah favorit. Karena di sini sering ada pembagian sembako dari salah satu partai pendukung 02. Tapi hal ini saya tidak melihat dengan mata kepala sendiri, hanya mendengar saja. Jadi tidak etis kalau hanya dari kabar angin, harus ada bukti dan saksi kuat. Jika dilihat dari alat peraga kampanye memang partai pendukung 02 sangat kuat bahkan banyak mempunyai panggung utama di wilayah kami.
Lain cerita dari salah satu teman saya yang kebetulan bernasib sama dan dia adalah garis keras Jokowi. Mereka sekeluarga, suami, anak dan istri tidak mendapatkan surat undangan atau C6. Hal ini tidak membuat semangat mereka layu sebelum berkembang. Panggil saja dia si Abang A. Kebetulan mereka adalah orang Betawi asli, jadi dengan percaya diri mereka datang ke TPS yang menumpang di tanah  sang kepala keluarga.
Singkat cerita menghadaplah Abang A ke petugas TPS berwenang, mereka meminta agar hak memilih diberikan. Persyaratan juga mereka sudah sesuai, boleh mencoblos dengan syarat Kartu Keluarga dan E-KTP. Tiba-tiba petugas menolak dengan alasan harus ada formulir C6 beres terlebih dahulu. Jika sudah keluar formulirnya, baru dapat giliran. Abang A bertanya ke petugas apa bukti kalau orang tidak ada form C6 harus tunggu giliran? Dia meminta surat dari KPU dan Bawaslu. Dari mereka menjawab SOP-nya seperti itu.
Mendengar jawaban yang tidak beralasan kuat tersebut membuat dia berkata "Mau semua ini gue acak-acak, gue lemparin semua kotak-kotak suara dan bilik suara ??" Petugas TPS bereaksi tampak kaget mendengar perkataannya. Lanjut teman saya "Lu, Lu sudah pada pakai lahan dan tanah tempat gue, kenapa gue didiskriminasi segala ?" Selang 30 menit insiden curahan hati dari seorang yang ditekan di kampungnya sendiri, mereka diperbolehkan memilih. Â Yang didapatkan akibat melakukan protes keras.
Coba bayangkan, kalau banyak orang yang hanya menerima nasib saja. Mau memilih tapi dipersulit bahkan dilarang dengan berbagai macam alasan. Berapa banyak suara yang hilang sia-sia ?
Pengalaman Pribadi ketika Pilkada
Saya juga bercerita sedikit tentang pengalaman saya pada saat Pilkada di Jakarta kemarin. Di TPS saya, entah mengapa tumben ada banyak orang yang duduk-duduk di sekeliling. Saya pikir mereka sedang mengantri, ternyata tidak. Dari wajah-wajahnya juga saya tidak familiar dengan mereka. Selagi menunggu tampak seseorang diintimidasi.
Orang-orang ini berteriak sambil berkata "Eh, Elo pilih Ahok ya, ahahahaa" Intinya mereka menertawakan pencoblos yang baru datang dan tampaknya mereka kenal. Dan ini bukan hanya sekali, tetapi beberapa kali karena memang antriannya menghabiskan waktu. Sekaligus saya bertemu dengan teman lama, jadi sempat bertukarkabar di tempat ini.
Suasana di sana berisik karena teriakan-teriakan mereka sambil menunjuk-tunjuk. Saya hanya bisa terdiam saja, karena memang tidak mengenal mereka. Waktu itu saya tidak berpikiran untuk merekam kejadian tidak mengenakkan ini.
Pada saat quick count Pilkada menunjukkan hasil bahwa Anis yang menang saya hanya bisa berlapang dada menerima hasil. Sedih memang sakitnya ternyata mirip-mirip patah hati, tapi pikiran tetap harus jernih. Saya tidak sibuk membuat status di media sosial bahwa KPU curang. Menuding bahwa hasil quick count bohong, apalagi berniat menuntut lembaga-lembaga resmi tersebut.
Merasa Dicurangi ? Buktikan !
Entah mengapa pada pemilu saat ini, sikap dari pihak yang kalah di quick count seolah-olah mengatakan lembaga penyelenggara quick count curang sampai menuntut mereka. Membuat tersebesit pikiran saya, ketika Pilkada Jakarta mengapa mereka mempercayai lembaga-lembaga ini ? Helooo, mungkinkah mereka sedang mengalami hilang ingatan atau sedang halu ?
Bahkan lebih tidak sopan, mereka sibuk menentang KPU yang sudah sangat berpengalaman mengadakan pemilu di negara kita yang sangat luas dan beragam permasalahan ini. Tidak menghargai ada ratusan orang gugur demi melaksanakan pemilu kita. Yang saya membuat saya terpesona adalah komentar seorang yang tidak berani pulang ke Indonesia mengatakan agar KPU menghentikan penghitungan suara karena disinyalir curang.
Rasanya saya ingin berteriak "Siapa elo ? Buronan yang ngga berani pulang kok dengan lancangnya berkata seperti itu ? Sedang halu ye !!!" Kalau bisa sambil kasih kaca yang super besar, agar bisa dia berkaca, dasar provokator perusak persatuan negara !!! Mohon maaf kalau kata-kata saya cenderung kasar.
Saya sadar tinggal di negara Indonesia.  Harus taat kepada UUD yang berlaku. Kita wajib menghormati hasil KPU. Memang mungkin ada  oknum-oknum yang adalah petugas. Tapi kalau menemukan penyimpangan harap lakukan sesuai prosedur yang berlaku. Bukan hanya teriak curang sana-sini tanpa alasan yang jelas. Di mana letak kecurangannya, monggo, silahkan berikan bukti.
Kalau menurut pengalaman dari tetangga-tetangga dan teman-teman saya, justru pihak kami #01 yang merasa dicurangi. Tapi kami bertindak, bukan hanya "nyinyir" tidak jelas. Yang lebih takjub lagi, pendukung #02 dengan liciknya mengancam menggunakan "people power" dan perang.
Ah sudahlah, semoga di bulan ramadan ini mereka bisa sadar. Mari kita doakan semoga mereka kembali ke jalan yang benar, menuju Indonesia bersatu. Amin.
(***)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H