Bagaimana keharusan membuat berita yang 'cantik' yang tidak boleh menentang pemerintahan yang sedang berkuasa. Salah kata sedikit media cetak tersebut langsung dibredel. Ditambah pada masa itu belum ada organisasi yang khusus melindungi wartawan/pewarta foto. Bahkan sempat banyak korban dari pewarta foto contohnya pada aksi demo besar-besaran yang kerap terjadi pada masa itu, aparat dan mahasiswa saling bentrok, mahasiswa menuntut perubahan dan adanya keruntuhan rezim Orde Baru.
Baiklah, sekarang kembali ke masa kini. Tepatnya pada tanggal 9 Februari 2019 yang lalu Dewan Pers baru saja menganugerahkan medali Kemerdekaan Pers kepada Presiden Joko Widodo. Penghargaan kepada pejabat tertinggi di negara ini diberikan karena sesosok orang tersebut tidak pernah mencederai kebebasan pers, menurut Margiono, Penanggung Jawab Hari Pers Nasional.
Pendapat saya hal ini sangatlah wajar, karena bertubi-tubi fitnah, ujaran kebencian dan hoaks senantiasa menimpa Presiden yang baru menjenguk Ani Yudhoyono di RS negara tetangga, Singapura.
Yah, sekarang mari kita doakan Pers Indonesia makin maju. Kritik pemerintah tidak masalah, menurut saya bagus untuk ke depannya. Tapi harap menggunakan data dan fakta yang benar dan mohon isinya jangan dipelintir. Yah, ini biasanya hanya oknum-oknum semata yang senantiasa menulis dengan gaya seperti ini.
Demikian opini dan saran dari saya yang tidak ada apa-apanya dalam keahlian menulis dibandingkan para jurnalis di luar sana. Yuk, bersama-sama lawan fitnah, ujaran kebencian dan radikalisme di Indonesia tercinta ini.
***
Sumber : 1 , 2 , 3 dan Buku Megawati dalam Catatan Wartawan : Menangis & Tertawa Bersama Rakyat ; Penerbit Gramedia.
Artikel ini sudah tayang di pepnews.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H