"Memedi sawah tampil kapan saja, di mana saja, dalam berbagai ekspresinya: teror, kampanye politik yang membakar, kabar bohong, fitnah, hasutan, intoleransi, dan kekerasan. Nyaris tak ada wilayah yang tak bisa dimasukinya. Media sosial sudah dijadikan koloni ketakutannya. Bahkan memedi sawah bisa menyusup masuk ke dalam kealiman dan kesalehan agama. Di bawah kesalehan agama, ia bisa memaksakan kebenaran yang mutlak. Jika kebenarannya sendiri telah menjadi mutlak, maka kebenaran lain hanya ada untuk ditiadakan dan dilindas," demikian penjelasan detail dari Romo Shindu.
Lukisan manusia menggunakan topeng seram yang tadi saya sebutkan tadi ternyata mempunyai makna sindiran yang dalam. "Manusia ini mempunyai banyak topeng, yang rupanya tenang, sabar, bijak, sampai yang alim. Ia bisa berganti-ganti topeng, sesuai dengan kebutuhan dan situasinya. Namun kali ini ia mengenakan topeng yang menakutkan, maklum tahun ini ketakutan paling laku dijual di pasar," tambah Romo Shindu.
Kurator Bentara Budaya Jakarta, Efix Mulyadi berpendapat, pameran yang berlangsung sampai tanggal 23 Februari 2019 ini sangat kreatif. Hal ini dapat ditiru sebagai upaya untuk meruwat kehidupan bersama, yang terus terancam oleh memedi-memedi sawah masa kini, yang bermunculan dari semua penjuru di Indonesia.
Artikel ini sudah tayang di pepnews.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H