Pada malam itu Panggung Teater Besar Taman Ismail Marzuki menjadi saksi hidup. Kami dihibur oleh tari, musik, drama, dan puisi berima tradisional yang dibawakan oleh 72 Sahabat Indonesia dari 44 negara. Jadi ada berbagai warna kulit dan ras yang menjadi bintang panggung pada hari ini. Acara ini begitu semarak, seolah-seolah berkata  bahwa perbedaan itu indah. Segala sesuatu menjadi selaras dengan caranya sendiri.
Walau pun ini tari tradisional, tapi untuk beberapa gerakan mereka menginterpretasikan dengan cara mereka sendiri. Seperti mencampurkan akrobatik tapi tidak meninggalkan kesan tradisionalnya, bahkan menambah kuat cerita yang disampaikan.
Contohnya pada tarian Ramayana, Hanoman tampak melakukan gerakan tari kejang. Entah mengapa, gerakan itu cocok sekali untuk peran tersebut.
Kalau saya harus menari-nari dengan aksesoris seberat itu dengan pakaian menari yang tak kalah menantang untuk membatasi saya melakukan setiap gerakan, bisa lain akhir ceritanya. Antara menjadi cerita tragis, karena setelah selesai acara leher saya menjadi kaku bak batu. Atau menghasilkan adegan komedi karena di tengah-tengah pertunjukan jatuh terpeleset.
Takjub mendengar ceritanya, bagaimana bisa membentuk orang yang pada dasarnya tidak bisa bermain alat musik menjadi seperti sekarang ini.
Tahun ini ada 6 daerah yang mewakili keberagaman Indonesia dan daerah tersebut yang menjadi tempat belajar para peserta, yaitu Sanggar Sayu Gringsing Banyuwangi, Sanggar Semaranda Denpasar, Rumah Budaya Rumata Makassar, Yayasan Seni Gubang Kutai Kartanegara, Sanggar Seni, Musik, dan tari Syofyani, Padang serta Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta.
Selesai acara, para peserta BSBI seperti menjadi selebritis, bukan artis. Ditarik ke sana ke mari untuk berfoto bersama kami para penonton yang histeris. (...)