Mohon tunggu...
Lisa Selvia M.
Lisa Selvia M. Mohon Tunggu... Freelancer - Literasi antara diriku, dirimu, dirinya

Anti makanan tidak enak | Suka ke tempat unik yang dekat-dekat | Emosi kalau nemu hoaks

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Mengintip Pintu Kota di Pulau Lembeh

1 Agustus 2017   00:02 Diperbarui: 19 Agustus 2017   15:59 2266
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kapal-kapal nelayan penduduk sekitar (dok. pribadi)

Perjalanan ini adalah rangkaian wisata ke Pulau Lembeh, yang terletak di pucuk Pulau Sulawesi. Awal tujuan kami ke Pantai Kahona, karena penasaran pantainya yang berpasir panjang tapi apalah daya ternyata waktu terbatas. Terpaksa dibatalkan karena tempatnya terlampau jauh, sementara kami tidak mau tertinggal Kapal Ferri.

pondok & hutan mangrove (dok. pribadi)
pondok & hutan mangrove (dok. pribadi)
Bingung mau memanfaatkan waktu yang terbatas ini, timbullah ide untuk menanyakan ke kantor kelurahan terdekat. Dan mereka berkata "Pintu Kota". Lalu kami bertanya lagi "Di sana ada apa ?" Jawab staf di sana dengan singkat, padat dan tidak jelas "Silahkan lihat sendiri". Setelah mengucapkan terima kasih dan berbingung-bingung ria dengan jawaban itu meluncurlah kami di tempat yang disarankan. Daripada harus menghabiskan sisa waktu hanya menunggu kapal Ferri di pelabuhan penyeberangan adalah sangat disayangkan, pikir kami.
Peta Pulau Lembeh (dok. google maps)
Peta Pulau Lembeh (dok. google maps)
Setelah mengikuti petunjuk jalan yang sudah diberikan tadi dalam beberapa menit iring-iringan mobil tiba di tempat tujuan. Terlihat dari papan petunjuk di sebelah kiri jalanan utama dan konfirmasi dari penduduk setempat yang tampak menyambut hangat menunjukkan bahwa kami sudah tiba di tempat tsb.

Akhirnya, mobil-mobil rombongan kami terparkir dengan tertib di pinggir jalanan karena memang tidak disediakan tempat parkir khusus. Sambil celingukan ke kanan dan ke kiri, saya berpikir "Kok, tidak ada apa-apa hanya pepohonan." Setelah menuruni beberapa anak tangga dari tanah dari samping kiri petunjuk empat wisata itu tampaklah rumah-rumah nelayan dan perahu kayu sedang nangkring di atas tanah yang kering dengan anak-anak kecil bermain di atasnya. Pemandangan tsb makin membuat bingung tempat wisata apakah ini ?

Setelah membayar tiket masuk yang hanya Rp 2.500,-/orang kepada seseorang yang tampaknya memang penduduk di sana, dengan santainya dia memasukkan uang tiket kami ke dalam kotak bergembok kecil yang terletak di pos pintu masuk menuju jalanan berkayu yang dibangun di atas air. Dan menyerahkan beberapa lembar karcis milik kami.

tempat wisata ini bisa dicapai dengan kapal kayu bermotor tempel (dok. YouTube)
tempat wisata ini bisa dicapai dengan kapal kayu bermotor tempel (dok. YouTube)
Saya pun melangkahkan kaki dengan hati-hati di atas papan kayu yang tampak rentan di mata saya yang biasa berjalan di atas tanah yang padat. Terlihatlah hutan mangrove dimana tumbuhan dikotil hidup di habitat air payau ini. Tampak ada beberapa tempat sampah bertengger juga. "Wow, hebat juga pengelola di sini" batin saya, karena memperhatikan hal-hal yang terlihat sepele namun penting ini. Juga tersedia fasilitas toilet umum di depan pos masuk tadi.
pondok di seberang (dok. pribadi)
pondok di seberang (dok. pribadi)
Dengan rasa antusias saya susuri jalanan berkayu itu dan tampak pondok-pondok kayu dengan nama yang berbeda di tiap lokasinya yang terletak di balik kerimbunan pepohonan. Tempat ini ideal dimanfaatkan untuk bersantai atau pun memakan bekal yang ternyata kami lupa membawanya, karena disediakan tempat duduk. Masih dengan rasa penasaran tingkat tinggi kami berjalan hingga tiba di salah satu ujung trek dimana terdapat pondok yang mengarahkan pemandangan khusus langsung mengarah ke "Pintu Kota". Pantaslah tempat ini disebut "Pintu Kota" karena seolah-olah ada pintu besar yang adalah daratan membukit di bagian kiri dan kanannya di bagian tengahnya adalah perairan yang menghubungkan dengan dunia luar Pulau Lembeh ini.
Kapal-kapal nelayan penduduk sekitar (dok. pribadi)
Kapal-kapal nelayan penduduk sekitar (dok. pribadi)
Pemandangan ini luar biasa indahnya, membuat saya terkesima sehingga timbul keinginan untuk meraup memori sebanyak-banyaknya dari seluruh panca indera saya dari warna-warnanya, suara-suara alamnya sampai aroma laut yang samar-samar tercium. Entah mengapa terpaan anginnya berhembus begitu kuat sehingga membuat rambut saya yang lurus, kaku dan kebetulan sedang lepek itu tampak berkembang cantik, seolah-olah baru keluar dari salon. Ahaaa, saatnya berfoto-foto. Karena tak mau menyia-nyiakan waktu yang sempit ini, maka kami segera kembali mengambil bekal di mobil dan menikmati makanan sederhana ini sambil disuguhi pemandangan spesial pintu kota yang terbuat dari tangan Tuhan.
Pintu Kota (Dok. pribadi)
Pintu Kota (Dok. pribadi)
Pada saat makan sambil menahan nasi kuning bungkus dari terpaan angin yang sudah menjatuhkan beberapa botol air mineral kami, saya baru melihat nama tempat wisata ini adalah Ekowisata Mangrove Pintu Kota terpampang di pinggir pondok ini. Dan saya mendapatkan info bahwa tempat ini baru diresmikan tahun 2015. Dibentuk dari dana Coastal Community Development Programme (CCDP)-International Fund for Agricultural Development (IFAD) bekerjasama dengan Kementrian Kelautan dan Perikanan dengan dukungan Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Bitung. Lewat program CCDP-IFAD masyarakat di sini diberikan studi banding dan setelah itu, tempat ini dijadikan model percontohan di 12 kota di Indonesia untuk ekowisatanya.
Peta lokasi ekowisata Mangrove (dok. pribadi) mohon abaikan dahi tante saya
Peta lokasi ekowisata Mangrove (dok. pribadi) mohon abaikan dahi tante saya
Tujuan didirikan ekowisata ini patut saya angkat tangan acungkan kedua jempol ke atas (kalau bisa jari kaki saya juga ikut-ikutan, tapi nanti saya jatuh) yaitu memberdayakan masyarakat pesisir mendapatkan penghasilan lebih sekaligus menjaga dan menambah kelestarian hutan mangrove yang tentunya berdampak menambah banyak populasi ikan-ikan hidup nyaman sejahtera di tempat ini sampai ditangkap nelayan. Awalnya masyarakat setempat suka menebang dan mengambil hasil kayu Mangrove sehingga berdampak, ikan sulit dicari. Setelah diadakan program keren ini, pola pikir mereka berubah dan tempat wisata ini terwujud.
Bersantai di dalam pondok (dok. pribadi)
Bersantai di dalam pondok (dok. pribadi)
Jadi itu salah satu alasan kami disarankan untuk datang ke tempat ini dari Kelurahan dan mengapa sambutan dari warga pun terlihat antusias.

Entah saya kuper (kurang pergaulan) atau Ekowisata Mangrove Pintu Kota ini terlihat kalah pamor dengan tempat wisata lainnya di Pulau Lembeh ini. Rombongan saya tidak akan datang kalau tidak bertanya ke kantor kelurahan setempat. Dicari melalui internet pun tidak ada rekomendasi untuk ke tempat ini, kecuali harus mengetik nama tempatnya. Saya berharap promosi yang lebih kuat dari pemerintah atau juga dari masyarakat Manado sendiri. Sungguhlah sayang tempat wisata indah dengan tujuan mulia ini kurang dikenal. ***

Pintu kota tampak dari atas (sumber Youtube)
Pintu kota tampak dari atas (sumber Youtube)
Catatan :

- Untuk mencapai tempat ini bisa membawa mobil (wajib menyebrang pakai Kapal Ferri) atau menyewa kapal kayu bermotor tempel yang bisa langsung diantar ke tempat tujuan.
- Untuk cara mencapai ke Pulau ini silahkan klik link ini
- Untuk tempat wisata rekomendasi lainnya di Pulau Lembeh silahkan klik link ini
- Untuk melihat videonya silahkan lihat tautan YouTube di bawah ini.


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun