Mohon tunggu...
Lisa Selvia M.
Lisa Selvia M. Mohon Tunggu... Freelancer - Literasi antara diriku, dirimu, dirinya

Anti makanan tidak enak | Suka ke tempat unik yang dekat-dekat | Emosi kalau nemu hoaks

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Dilema Budaya Perayaan Pernikahan di Indonesia

6 Juni 2017   17:56 Diperbarui: 9 Juni 2017   11:56 361
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salah satu teman yg saya bantu (dok. pribadi)

Saya pernah memajang foto sedang memakai kebaya pengantin di media sosial saat dahulu kala. Pada saat itu, warganet belum seagresif sekarang. Dan langsung keluar komentar salah satu teman saya kira-kira seperti ini "Kamu jahat !!! Kok ngga ngundang-ngundang  ?" Yang lain hanya berkomentar dengan tulus "Selamat atas pernikahannya"  dan ucapan lainnya memuji betapa elok dan cantiknya saya di foto itu dengan riasan yang mumpuni plus modal program photo shop.

Membaca komentar-komentar tersebut membuat saya tersenyum-senyum sendiri. Karena foto itu hanyalah upaya saya membantu teman dalam bisnis rias-merias (MUA) dan organisasi acara pernikahan (EO).

Salah satu teman yg saya bantu (dok. pribadi)
Salah satu teman yg saya bantu (dok. pribadi)
Yang menjadi titik pembahasan saya adalah kebudayaan orang Indonesia pada saat menikah akan berusaha mengundang banyak orang dan pastinya perlu banyak uang untuk merealisasikan hal itu dan menurut saya terserah mereka, duit-duit mereka. Apa hak saya mengatur-atur. Mau dipakai buat hal yang baik, yah bagus. Mau disebar di bawah pohon toge juga bukan urusan saya, paling saya usil, tanya-tanya.

Setelah mereka menikah, saya sudah melakukan survey dan hasilnya 90 % setelah acara pernikahan mereka tinggal bersama orangtua atau hidup mandiri dengan modal rumah yang dibelikan oleh orangtua. Jadi, saya mengucapkan “Selamat, Kalian Hebat” kepada 10 % peserta survey yang sanggup membeli/menyewa rumah sendiri.

Menurut hitungan saya, biaya pernikahan tidaklah sedikit apalagi menikah di gedung. Banyak juga yang mengadakan di rumah. Biasanya ini para tetangga saya yang budiman. Mereka sangat suka membagi kebahagiaan dengan cara menutup akses kendaraan saya menuju ke rumah. Bahkan ada yang sampai 3 hari. Bukan karena mengadakan acara sampai 3 hari 2 malam, tapi panggungnya tidak langsung dibongkar. Sering juga kejadian tamu-tamu kondangan yang tidak kalah budiman berlomba-lomba menutup pintu pagar rumah saya, bagi mereka pagar pintu keluar rumah adalah tempat yang ideal untuk bersantai, sehingga kami sekeluarga harus meneriakkan permisi agar bisa keluar dengan gembira.

Biaya pernikahan yang menurut saya (tolong digarisbawahi; menurut saya) di Indonesia itu lumayan besar. Apalagi jika ditambah kewajiban kawin adat. Biasanya kalau saya tanyakan alasan mereka merayakan pernikahan, ada menjawab karena tuntutan orang tua bisa juga malu kalau tidak dirayakan, dan jawaban paling banyak karena ini acara yang sangat spesial karena hanya dialami sekali seumur hidup.

Silahkan dibaca juga

Dan setelah menjadi raja dan ratu sehari di pesta yang megah, sebagian dari mereka hidup bahagia selamanya di daerah PIM (Pondok Indah Mertua). Kadang-kadang ada kejutan-kejutan kecil dari kunjungan tim penagih kekurangan biaya pesta pernikahan seperti penyedia gedung, pengisi acara, penagih utang dari kartu kredit atau KTA sampai rentenir yang tiba-tiba perhatian sekali, entah mulai sering menelpon sampai rajin bertamu ke rumah.

Setelah mempelajari, meresapi dan memandangi isi tabungan saya dan pasangan serta ditambah rasa tidak tega disertai gengsi tinggi untuk meminta kepada orang tua untuk biaya perayaan, jadi saya mengambil keputusan yang beresiko untuk kebiasaan orang Indonesia yaitu saya dan pasangan tidak akan mengadakan pesta kalau menikah, biar cuma yang sederhana saja. Karena kalau dibuat sederhana mungkin akan ada pihak yang sakit hati karena tidak termasuk dalam undangan. Belum dibilang dikomentari sombong karena tidak mau mengundang. Biarlah saya dibilang pelit tapi hati tentram. Sampai saat ini masih ada beberapa sahabat yang masih harap-harap cemas agar diundang setelah saya curhat keputusan ini dan membagi artikel ini kepada mereka. Maafkan saya, ya.

Mohon doakan saja jika saya dan pasangan mempunyai uang tunai paling sedikit beberapa miliar rupiah dan memiliki rumah sebenarnya di daerah Pondok Indah, kami akan mengadakan perayaan pernikahan sebesar-besarnya dan mengundang orang sebanyak-banyaknya minimal di hotel berbintang 5 dan di undangan akan tertulis "Tidak Menerima Sumbangan Apapun" ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun