Mohon tunggu...
Lisa Novita Sari
Lisa Novita Sari Mohon Tunggu... Penulis - Freelancer

Suka bercerita

Selanjutnya

Tutup

Diary

Tentang Taqwa, Saya Sungguh Tidak Mengerti

20 Februari 2024   10:18 Diperbarui: 20 Februari 2024   10:32 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Saya pernah mendengar sebuah ungkapan, lupa mendengar dari siapa dan di mana. Namun kurang lebih begini kalimatnya, “Setinggi-tinggi derajat seorang makhluk adalah yang bertaqwa. Dan taqwa itu adalah ketika bahagia dan sedih, itu rasanya sama saja.”

Saya sudah mendengar kalimat itu sejak lama. Sampai sekarang masih tidak bisa mencerna, bagaimana mungkin perasaan senang yang membuncah, dan sedih yang amat memilukan, bisa dirasakan dengan suasana hati yang sama (setidaknya bagi orang yang ekspresif seperti saya). Bahagia tanpa euforia berlebihan, dan sedih tanpa berlarut-larut.

Apa harus mati rasa dulu? pikir saya. Tentu tidak, sih.

Harusnya.

Akan tetapi, hingga hari ini level itu masih sangat sulit saya jangkau. Jika sedang dianugerahi kesenangan, perasaan berbunga-bunga, kupu-kupu dalam perut yang beterbangan, atau apalah itu istilahnya, masih terbawa hingga berhari-hari. Saya menghayati dan terus menerus mengulang memori indah itu di dalam kepala. Bahkan dalam situasi yang tidak seharusnya, misalnya saat bekerja dan butuh konsentrasi penuh. Seringkali aktivitas saya teralihkan oleh ingatan indah secara tiba-tiba.

Demikian pula ketika dilanda kesedihan. Saya menghayati penuh kemalangan itu, memutar dengan detail kejadian demi kejadian yang mengiris hati. Tentu saja sambil menitikkan air mata (mungkin karena saya perempuan, jadi perasaannya lebih sensitif). Dan ya, bisa-bisa pekerjaan saya terganggu karena ini. Sulit sekali mendirikan benteng yang jelas antara masalah pribadi dan pekerjaan secara profesional.

Drama banget, ya?

Tapi bukankah itu manusiawi?

Kembali lagi ke urusan taqwa tadi. Bisakah saya simpulkan, jika masih berada dalam kondisi ini maka saya masih jauh dari taqwa? Lantas jika pola hidup saya sudah otomatis sehari-hari seperti ini, sulitkah mengubahnya? Dari mana saya mesti memulai membuat fase-fase hidup saya menjadi lebih biasa saja? Saya tidak mengerti bagaimana cara meredam emosi yang meluap-luap ini menjadi lebih biasa saja. 

Sukar sekali pelajaran hidup yang satu ini. Saya pikir, selain soal taqwa ini, ada satu lagi pelajaran yang sudah saya tahu teorinya sejak lama, tapi tidak kunjung berhasil saya terapkan dan menjadi karakter. Ialah sifat sabar

Lagi-lagi saya juga tidak mengerti. Setiap terjadi sesuatu yang membakar amarah, saya tahu teorinya, kok. Misalnya jika saya sedang marah dalam keadaan berdiri, dianjurkan untuk duduk. Jika sedang duduk, dianjurkan untuk rebahan saja.

Tapi Ya Tuhan, kurang plong rasanya jika emosi ini tidak tersalurkan. Memang, ya. Dua ilmu yang saya tulis hari ini, taqwa dan sabar, belajarnya seumur hidup, berhasilnya belum tentu.

Sekian keresahan saya hari ini. Terima kasih sudah membaca.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun