Mohon tunggu...
Lisa Noor Humaidah
Lisa Noor Humaidah Mohon Tunggu... Lainnya - Penikmat buku dan tulisan

Tertarik pada ilmu sosial, sejarah, sastra dan cerita kehidupan. Bisa juga dijumpai di https://lisanoorhumaidah.com

Selanjutnya

Tutup

Politik

Hasil Webinar tentang Taliban, Radikalisme Global, dan Masa Depan HAM Perempuan Indonesia

13 September 2021   17:10 Diperbarui: 13 September 2021   17:18 537
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pengantar

Hari Sabtu, 11 September 2021, saya memoderatori diskusi yang  diselenggarakan oleh Departemen Pemberdayaan Perempuan dan Kesetaraan Gender, Ikatan Alumni IAIN/UIN Syarif Hidayatullah (IKALUIN) Jakarta yang berjudul, Taliban, Radikalisme Global dan Masa Depan Hak Asasi Perempuan Indonesia. Tulisan rangkuman diskusi yang akan saya bagi di sini juga diterbitkan di website IKALUIN  Jakarta dengan beberapa penyesuaian. 

Diskusi berlangsung pada tanggal yang bertepatan dengan 20 tahun tragedi serangan Menara Kembar World Trade Center di New York dan markas Pentagon, di Amerika Serikat pada 11 September 2001. Peristiwa ini berdampak besar bagi perubahan geopolitik dunia termasuk rangkaian peristiwa perang dan pendudukan di Afghanistan.  Diskusi menghadirkan tiga orang narasumber/pembicara yang kompeten di bidangnya: 1) Prof. Dr. Azyumardi Azra, Intelektual Muslim dan Guru Besar UIN Jakarta, 2) Dr. Siti Ruhaini Dzuhayatin, MA, Tenaga Ahli Utama Bidang Hak Asasi Manusia, Kantor Staff Presiden RI (2020-2024), dan 3) Teguh Santosa, Dosen Hubungan Internasional UIN Jakarta, Jurnalis Senior dan Penulis Buku "Di Tepi Amu Darya". 

Ketua Departemen Pemberdayaan Perempuan dan Kesetaraan Gender, Yuniyanti Chuzaifah dalam pengantar diskusi menyampaikan bahwa kembalinya Taliban berkuasa bukan pada soal gerakan politiknya akan tetapi pada ideologi talibanisasi. Talibanisme lekat dengan reputasi dan gambaran ideologi anti hak asasi perempuan termasuk kontrol atas perempuan dari segala sisi, dari cara berpakaian sampai soal hak pendidikan, dst. Yuni juga mengingatkan dengan fenomena paham keagamaan doctrinal yang menguat dan subur untuk paham radikalisme berkembang di Indonesia. Hal ini berdampak pada praktek -- praktek yang tidak menghargai hak -- hak  perempuan termasuk tingginya perkawinan anak. Dan kembalinya Taliban berkuasa penting untuk diwaspadai. 

Lalu apa arti kembalinya Taliban berkuasa untuk Indonesia dan terutama pada pemenuhan hak asasi perempuan? Ketiga narasumber menyampaikan beberapa point penting yang dirangkum sebagai berikut:

Tidak perlu khawatir yang berlebihan dan Gambaran Singkat Sejarah 

Ketiga narasumber terutama Prof. Azra menyampaikan tidak perlu khawatir berlebihan dengan kembalinya Taliban berkuasa karena secara geopolitik Indonesia tidak terkait secara langsung. Satu hal paling penting adalah Indonesia berbeda dengan Afghanistan. Apa yang terjadi sekarang di Afghanistan merupakan bagian proses dari kisah unik mereka sebagai negara.

Afghanistan mengalami sejarah konflik sectarian etno-politik dan religio-politik yang berlangsung lama. Bahkan Afgahnistan terkenal dengan sebutan negara para raja perang (lands of warlords). Afghanistan majemuk secara demography dengan alam yang tidak mudah terjadi mobilisasi maupun percampuran misalnya melalui perkawinan antar etnis/kabilah. Estimasi jumlah penduduk 30 juta jiwa yang terdiri dari 9 kelompok etnis berbasis kabilah (tribal). Pashtun adalah etnis terbesar, sekitar 38 -- 42 persen dengan aliran Islam Sunni. Kedua Suku Tajik sebanyak 20 persen, berbahasa Persia dan juga beraliran Sunni.

Prof. Azra menjelaskan kelompok Taliban sendiri muncul pada tahun 1994. Mereka mulai muncul dari madrasah atau lembaga pendidikan tradisional lainnya. Tokoh dan anggota Taliban banyak dari generasi terlantar sejak perang saudara Desember 1979 yang disertai masuknya Uni Soviet. Untuk merangkum, Taliban sebagai kekuatan politik mengalami pasang naik dan surut di tengah berbagai gejolak religio-politik Afghanistan selama lebih dari 40 tahun diselingi invasi Uni Soviet (1979-1989), memegang kekuasaan (1996-2001) dan pendudukan AS serta sekutu (2001-2021).

Teguh Santosa menambahkan pengamatan tentang legitimasi pemerintahan Ashraf Ghani yang rendah. Pada pemilihan umum 2019, Afghanistan mencatat kurang lebih 10 juta pemilih. Namun hanya 1,6 juta pemilih yang memberikan haknya diperebutkan oleh 18 calon presiden. Ashraf Ghani kemudian memenangkan babak run off/kedua dengan jumlah tidak sampai 51 persen, persisnya 50,6 persen.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun