Mohon tunggu...
Lisa Noor Humaidah
Lisa Noor Humaidah Mohon Tunggu... Lainnya - Penikmat buku dan tulisan

Tertarik pada ilmu sosial, sejarah, sastra dan cerita kehidupan. Bisa juga dijumpai di https://lisanoorhumaidah.com

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Hari Perempuan Internasional 2021: #ChooseToChallenge Pelecehan Seksual

7 Maret 2021   19:39 Diperbarui: 8 Maret 2021   08:34 992
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Percakapan ketika melaporkan kasus pelecehan seksual di kantor Sentra Pelayanan Kepolisian (SPK) kepolisian sektor (Polsek):  

(+): "Kalau ketemu pelaku mau diapain?"  

(-): " Ya Polisi akan tangkap kan, Pak?"

(+): "Memang mau dihukum apa? Apa dampaknya?" 

(-): "Sudah jelas, ini pelecehan dan membuat saya trauma!"  

(+) "Jadi nanti musti ada bukti visum yang menunjukkan Ibu trauma." 

(-) $?!%?!!%!! 

Beberapa minggu lalu adik saya pulang dari toko kelontong dan membeli makanan matang untuk makan siang, tak jauh dari komplek rumah. Kita tidak masak hari itu. Ia berjalan sendiri di jalan setapak komplek yang cukup luas dan terbuka. Jalan sedang sepi. Jalan setapak letaknya sekitar 300 meter dari rumah tempat kami tinggal. Tak jauh, selepas mata memandang saja.

Dari arah berlawanan, seorang pengendara motor ojek (online) laki-laki berhenti. Ia bertanya alamat di sekitar komplek kami. Adik memperhatikan alamat tersebut dan memberitahu arah yang semestinya ia ambil. Pengendara berterima kasih dan berlalu. Baru beberapa saat adik saya melanjutkan langkah, pengendara tadi muncul kembali dan menanyakan hal yang sama. Ia bilang masih kebingungan. Adik saya menjelaskan kembali sambil menunjukkan arah lebih detil.

Setelah itu, tiba-tiba motor semakin mendekat, lalu tangan pengendara meremas payudara sebelah kiri, kemudian ia melesat hilang di belokan jalan!?%!$!!%

Adik saya serasa diguyur air es. Badan menggigil, gemetar bercampur rasa terkejut dan marah. Ia sempat meneriaki pengendara tersebut dengan suara tertahan.

Sesampai di rumah, kami yang mendengar ceritanya tak kalah geram dan marah. Ini adalah kejahatan. Merendahkan martabat perempuan. Martabat manusia. Siapapun tidak layak mendapatkan perlakuan seperti itu. Siapapun yang melakukan layak mendapatkan hukuman. Terlebih agar tidak terulang pada orang lain. Apalagi seorang pengendara yang melayani banyak pelanggan terutama penumpang perempuan.

Kita tidak akan diam dan biarkan. Tujuan dan harapan utama pelaku dapat ditangkap. Diberikan hukuman agar perbuatan kejahatan tersebut tidak terulang.

Setelah jauh lebih tenang, saya dan adik ipar membantu mengingat lebih detil pelaku terutama seragam atau identitas lain yang dikenakan pengendara tersebut. Adik saya yakin itu adalah pengendara dari salah satu perusahaan ojek online. Jika diminta untuk menggambarkan bentuk wajah, raut muka pada saat itu, adik saya bisa mengingatnya. Walaupun menggunakan masker, tidak terlalu menutupi, muka pengendara masih bisa dikenali.

Kami bertiga segera menghubungi call center layanan ojek tersebut secara terpisah. Kami melaporkan dan meminta mereka melacak pengendara yang berada di daerah dan jam kejadian. Menurut kami mudah saja perusahaan dengan teknologi canggih seperti mereka melakukannya. Kami pun melaporkan kejadian tersebut sebelum satu jam berlalu. Perkara yang sangat mudah.

Respon call center:

  • Mereka minta plat nomor kendaraan pengendara.
  • Jika tidak ada, mereka minta hasil rekaman kamera closed-circuit television (CCTV).
  • Jika tidak ada dua hal di atas, mereka tidak bisa membantu.
  • Secara keseluruhan, tidak menunjukkan rasa empati dari apa yang dialami.

Kesal? Tentu saja. Adik saya tidak memiliki informasi yang diminta tersebut semua. Bagaimana bisa mencatat nomor polisi dalam situasi yang serba cepat dan tidak terbayangkan? Ia bahkan sempat menyesal mengapa ia keluar siang itu. Ia yang berpakaian tertutup rapat dari ujung kepala dan kaki bertanya mengapa ia mengalaminya? Itu beberapa bentuk trauma. Menyalahkan diri sendiri. Bukan sebaliknya.

Adik saya kemudian mengirimkan email resmi ke pihak ojek online ini dengan kronologi yang lebih detil berikut desakan untuk menindaklanjuti laporan ini dengan serius. Memang, dalam kasus ini ia tidak sedang menggunakan layanan. Namun, pelaku adalah mitra dan menggunakan atribut perusahaan yang cepat atau lambat sangat berpotensi tidak hanya merusak reputasi namun membahayakan orang lain terutama perempuan. 

Berbalas email kemudian berlanjut. Kurang lebih email keempat atau kelima, mereka merespon lebih serius. Terakhir, mereka menelfon adik saya menyampaikan beberapa tindak lanjut yang dilakukan. Salah satunya mereka telah mengidentifikasi pengendara sesuai dengan informasi kronologi serta ciri -- ciri yang disampaikan. Namun demikian, mereka akan menyampaikan informasi tersebut untuk kepentingan proses hukum. Mereka akan bekerja sama dengan sebaik mungkin jika diminta oleh pihak kepolisian untuk penyelidikan lebih lanjut.

Sampai di sini kami menghargai upaya yang dilakukan. Kami juga memberi masukan agar ke depan call center merespon lebih baik laporan -- laporan seperti ini terutama untuk bersikap lebih responsive dan empati.

Laporan ke Polisi 

Sebelum pihak perusahaan merespon, melaporkan ke polisi sudah dalam rencana. Pada awalnya merasa tidak ada guna. Sudah  banyak cerita tentang hal ini. Namun demikian, demi sistem agar berjalan sebagaimana mestinya kita tetap melaporkan kejadian ini ke pihak yang berwajib.

Datanglah adik saya berdua ke kantor Polsek. Setelah menyampaikan tujuan, mereka diarahkan ke bagian reserse kriminal (Reskrim). Laporan direspon baik. Bersama 6 orang petugas, mereka ke lokasi kejadian. Mereka cukup serius mengolah tempat kejadian perkara. Mereka meminta keterangan ke beberapa rumah di sekitar lokasi kejadian terkait CCTV. Salah satu bapak Polisi sempat menghentikan pengendara ojek berseragam yang kebetulan melintas untuk mengkonfirmasi ke adik saya tentang warna seragam yang dikenakan.

Salah satu angota polisi mengusulkan untuk melakukan pengecekan silang dari lokasi pihak yang memesan. Adik saya ingat alamat komplek berapa yang dituju.

Sampai di sini respon polisi cukup memberikan harapan.

Mereka berdua lalu diminta kembali ke Polsek untuk membuat laporan ke SPK untuk pemrosesan lebih lanjut. Setelah jam makan siang mereka menuju ke Polsek dan menunggu di ruang tunggu yang telah disediakan.

Di ruang tunggu  45 menit telah berlalu. Tidak ada tanda-tanda petugas kembali ke tempat. Ada beberapa orang yang duduk di kursi tunggu di ruangan itu. Mereka juga hendak memproses laporan. Polisi yang bertugas ternyata masih asyik berbincang tak jauh dari ruang tunggu. 15 menit kemudian ia masuk lalu terjadilah percakapan di awal tulisan ini.

Laporan tetap dibuat dan telah disampaikan untuk proses selanjutnya.  Saat tulisan ini dimuat, belum ada informasi perkembangan yang berarti dari pihak kepolisian. 

Pelecehan Seksual dan Lemahnya Penegakan Hukum Kita   

Pasal 281 Kitab Hukum Pidana (KUHP) mengatur tentang melanggar kesusilaan dan kesopanan di tempat umum. Kesopanan menurut R. Soesilo adalah perasaan malu yang berhubungan nafsu/gairah seksual misalnya bersetubuh, meraba buah dada perempuan, meraba tempat kemaluan, memperlihatkan anggota kemaluan, mencium, dan sebagainya. Melanggar norma kesopanan ini semuanya dilakukan dengan tindakan. Dijelaskan bahwa tindakan melanggar kesusilaan tersebut tergantung pada pendapat umum pada waktu dan tempat itu. Lebih lengkap dapat dilihat di sini.

Jelas, pasal yang mengatur untuk melakukan penindakan pelecehan seksual ada di dalam hukum kita untuk digunakan. Jadi pertanyaan polisi di atas seperti menunjukkan ketidakpedulian terhadap kasus-kasus seperti ini. Menyedihkan mengingat banyak upaya yang dilakukan selama ini untuk memperkuat penanganan kasus -- kasus kekerasan terhadap perempuan.

Apalagi tafsir tindakan kesusilaan di KUHP tergantung pada pendapat umum pada waktu dan tempat itu. Ini tentu tafsiran yang berbahaya. Tidak heran jika contoh yang diambil Menteri Koordinator Bidang Polhukam, Mahfud MD baru -- baru ini tentang restorative justice adalah kasus pemerkosaan. Restorative justice bertujuan membangun harmoni antara keluarga korban dan pemerkosa agar masyarakat tidak gaduh. Jadi tidak perlulah hukuman dan penindakan. Lihat beritanya di sini. Ini seperti menunjukkan bahwa kasus pelecehan, kekerasan bahkan perkosaan adalah perkara biasa saja.

Sungguh pernyataan yang tidak sensitive pada keadilan korban! Kita semua tahu tidak sesederhana itu. Trauma bisa menjadi masalah seumur hidup. Membahayakan kesehatan mental yang berujung pada kualitas hidup kita sebagai manusia.

Untuk itulah kita masih memerlukan pengaturan mekanisme penanganan, perlindungan, pemulihan dan pencegahan yang lebih lengkap dan berpihak pada keadilan korban. Juga tak kalah penting adalah pencegahan. Bagaimana pemahaman tentang kesetaraan gender ditanamkan sejak dini sehingga tidak ada yang merasa superior atas yang lainnya. Bahwa derajat laki -- laki dan perempuan adalah sama.

Hal tersebut diatas diupayakan melalui RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS). Kelompok masyarakat sipil terus mengawal sampai disahkannya RUU PKS ini. Bacaan lebih lanjut tentang pentingnya RUU ini bisa dibaca di sini.

#choosetochallenge tema Hari Perempuan Internasional 2021  

International Women's Day (IWD) atau Hari Perempuan Internasional diperingati setiap tanggal 8 Maret. IWD diperingati sejak awal tahun 1900-an dimana waktu itu terjadi ekspansi dan turbulensi yang besar di dunia industri dimana kesadaran atas kesamaan perlakuan dan hak  perempuan berlangsung sejak itu. Pada tahun 1977, Sidang Umum PBB secara resmi menetapkan 8 Maret sebagai hari Perempuan Internasional.  

Tema kampanye tahun ini adalah #choosetochallenge untuk terus menyuarakan keberanian menantang bias dan ketidaksetaraan gender dimana salah satu bentuknya adalah kekerasan termasuk pelecehan seksual.

Hal yang paling terpenting, jika kamu mengalami pelecehan seksual, jangan diam dan abaikan! Ini bukan karena sedang sial atau tidak berada di tempat dan waktu yang tidak tepat. Bukan karena pakaian yang kamu kenakan. Bukan karena caramu berperilaku, berjalan, dan seterusnya. Mau serapat, seterbuka apapun, tidak ada toleransi untuk tindakan pelecehan seksual. Tindakan ini bisa terjadi dimana dan kapan saja.

Terus menyuarakan hal ini juga sebagai bentuk kampanye untuk menantang dan semoga menjadi awal terjadinya perubahan. Perubahan untuk membangun kesadaran bahwa tindakan pelecehan itu bukan hanya memalukan tapi merendahkan manusia lain. Tindakan pelecehan hanya membuat yang mengalami menderita bahkan sampai membuat terpuruk dan mempengaruhi kualitas hidupnya.

Walaupun perubahan itu lambat, lama dan terasa melelahkan, yang paling terpenting terus kita lakukan sekecil apapun itu. Baik perempuan, laki-laki, transgender berhak atas kehidupan yang aman untuk kehidupan di bumi yang lebih adil, setara dan bermartabat.

Selamat Hari Perempuan Internasional 2021! 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun