Salah satu serial di jaringan Netflix dengan topik seksualitas yang saya tonton di masa awal-awal pandemi adalah Sex Education (sesi musim pertama dan kedua), total 16 seri. Kabarnya akan tayang sesi musim ketiga tahun depan. Film ini berlatar belakang kehidupan remaja di kota pinggiran di Inggris. Remaja yang dimaksud di sini berusia 15 sampai 18 tahun.
Serial yang menarik, bergenre komedi, termasuk banyak digemari. Sebagaimana judulnya, isinya memang tentang urusan seks dan seksualitas yang menurut saya bernas, sangat berisi. Dikemas dengan cerita remaja yang apik. Tidak porno walaupun banyak urusan paling intim dibahas. Ringan dan banyak mengundang tawa. Seperti halnya membincangkan hal-hal seru dengan teman sebaya. Tanpa ada rasa canggung, atau malu.
Menyentuh bahkan membuat terharu karena cerita persahabatan yang saling mendukung. Konflik yang melibatkan perasaan, emosi karena perbedaan pendapat, rasa perhatian, rasa takut, hasrat yang bergelora, dan seterusnya. Â
Banyak review dari pengamat maupun penggemar film berkomentar positif. Salah satunya menyebutkan pesan dari serial ini  bagaimana seks mempengaruhi remaja secara sosial dan psikhologis.Â
Paling menarik karena serial ini tidak sedikitpun menghakimi tentang seksualitas dan hasrat. Bahkan serial ini mengajarkan baik saja jika merasakan apa yang kita rasakan. Itu proses yang alamiah. Manusiawi. Tentang cara dan bagaimana memahami tubuh kita. Tidak apa-apa juga kalau merasa bingung. Kita bisa mencari tahu, bertanya dan mendiskusikannya.
Kekuatan film ini karena karakter para tokohnya. Penulis cerita tidak takut menunjukkan kekurangan-kekurangan mereka sebagai pribadi dengan berbagai masalah.Â
Menyegarkan melihat beberapa aspek terkait dengan maskulinitas positif dengan Otis Milburn (si tokoh utama), laki-laki heteroseksual berkulit putih yang bersahabat dengan Erick Effiong, laki-laki gay berkulit hitam. Mereka saling mendukung satu sama lain. Sebagai sahabat mereka juga bertengkar.
Serial ini juga membawa pesan penting tentang prinsip zero tolerance pada kekerasan seksual. Dasar melakukan hubungan seksual adalah asas konsensual/berdasarkan persetujuan dua belah pihak, saling suka, saling menginginkan. Salah satu seri menggambarkan Aimee mengalami pelecehan seksual di bus. Waktu itu bus penuh, ia berdiri.Â
Di belakangnya berdiri seorang laki-laki dewasa. Laki-laki ini menggosok-gosokkan alat kelaminnya sampai ejakulasi. Sperma tertinggal di celana jins kesayangannya. Aimee terpukul dan murung berhari-hari. Teman dekatnya Maeve menggali penyebab ia murung dan Aimee bercerita. Maeve membangkitkan kepercayaan diri Aimee untuk melaporkan ke polisi.Â
Polisi memproses dan menangkap pelaku. Cara bertanya polisi sesuai dengan kondisi psikologi/kejiwaan remaja seusianya terutama mendengar dengan seksama dan tidak ada kalimat yang menyudutkan. Â
Tidak hendak menuliskan resensi film. Ingin memulai membuka saja, gambaran tersebut menunjukkan betapa berbedanya dengan kita jika sampai pada urusan seks dan seksualitas terutama untuk remaja. Seks dan seksualitas adalah topik tabu, sensitive dan bahkan dianggap memalukan.Â
Ada sebuah artikel menarik yang ditulis tahun 2004 dengan judul Youth, Sexuality and Sex Education Messages in Indonesia: Issues of Desire and Control ditulis oleh dua ilmuwan sosial Brigitte M. Holzner dari Belanda dan Dede Oetomo dari Indonesia.Â
Artikel ini ditulis berdasarkan penelitian yang dilakukan dengan melakukan diskusi terfokus kelompok remaja perempuan dan laki-laki di Kota Surabaya, Jawa Timur. Mereka juga melakukan kajian dan analisa materi kampanye termasuk majalah remaja popular yang terbit kurun waktu tahun 2000 sampai 2003 termasuk kebijakan-kebijakan pemerintah.Â
Rangkuman isi artikelÂ
Indonesia turut berkomitmen pada program aksi dari International Conference on Population and Development yang diselenggarakan oleh UN/Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) tahun 1994 di Kairo, Mesir. Beberapa komitmen diantaranya melakukan pendidikan seks bagi remaja. Bagaimana remaja diberikan informasi tentang seksualitas. Karena ini tahap yang paling esensial mengantarkan mereka dewasa.
Dua ilmuwan tersebut mengamati pendidikan seksualitas terutama melalui kampanye dilakukan. Namun pesan kampanye tentang seks dan seksualitas yang disampaikan pemerintah kepada kelompok remaja berasosiasi pada sesuatu yang kotor, berbahaya dan harus dihindari jauh-jauh.Â
Remaja boleh leluasa bergaul, berpacaran, bersenang-senang namun tidak untuk seks. Karena seks merusak, dapat menyebabkan penyakit kelamin, kehamilan yang tidak diinginkan, dan gangguan psikhologis. Hubungan seksual hanya untuk prokreasi, reproduksi.
Tentu saja tidak salah. Namun kita tahu seksualitas juga melingkupi unsur kesenangan, kebahagiaan dan juga kesehatan bukan? Â Â
Salah satu contoh materi kampanye diterbitkan oleh Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI). PKBI adalah organisasi sosial masyarakat berdiri tahun 1957 yang memberi perhatian pada persoalan kependudukan dan angka kematian ibu di Indonesia. PKBI bekerja sama erat dengan Lembaga pemerintah BKKBN dan juga organisasi Internasional lainnya seperti Lembaga UN/Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB).
PKBI berkampanye "Bergaul boleh, - sex no way". PKBI memberikan titik tekan kampanye untuk abstinence (menahan dorongan seksual)/'no sex' bagi remaja karena kelompok remaja tidak mendapatkan akses untuk kontrasepsi dan juga undang-undang yang melarang menggugurkan kandungan.Â
Kampanye dan pendekatan pendidikan lebih cenderung 'melarang' daripada menjelaskan, terbuka mendengar dan memberikan informasi yang dipahami. Dan hubungan seksual hanya disetujui oleh masyarakat kita dalam hubungan perkawinan walaupun mereka masih dalam kategori anak-anak.Â
Buktinya, sebelum pasal usia direvisi, undang-undang perkawinan kita mengatur usia perkawinan 16 tahun untuk perempuan dan 19 tahun untuk laki-laki. Kita tahu perkawinan lebih kompleks dari sekedar urusan melakukan hubungan seksual. Banyak studi telah menunjukkan, menikah pada usia anak melahirkan banyak masalah termasuk resiko tingginya angka kematian Ibu dan anak, belum persoalan sosial lainnya. Â
Apakah cara pendidikan dan kampanye tersebut berhasil?Â
Studi kualitatif yang dilakukan pada tahun 2002 menemukan 18 dari 44 remaja perempuan di Yogyakarta hamil di luar perkawinan. 11 dari 18 menggugurkan kandungan. Beberapa faktor yang mempengaruhi mereka karena pengetahuan soal seksualitas yang minim, impulsive dan juga seks dengan tanpa pengaman.Â
Pada intinya para remaja ini mencari tahu sendiri, dan mencoba karena keingintahuannya tersebut. Saya ingat waktu kuliah, adik kelas mengandung. Ia dan juga pacarnya mengakui pada awalnya mencoba-coba saja. Dengan polos sang cowok bercerita, ia tidak menyadari terjadi ejakulasi di dalam. Tiba-tiba keluar saja. Ia baru belakangan tahu soal kondom. Si cewek juga tidak tahu jika hamil jika tidak mengalami mual yang berlebihan. Dari sisi perempuan, banyak stigma yang kemudian melekat. Kalau perempuan hamil, di luar nikah, seperti akhir segalanya di mata masyarakat kita. Tidak mudah bagi mereka berdua tentu saja. Si ibu dan anak dilahirkan dalam diam lalu diserahkan kepada keluarga lain untuk diadopsi. Â Â
Bagaimana situasi sekarang?Â
Artikel tersebut ditulis tahun 2004. Bagaimana situasi enam belas tahun kemudian? Situasi tak banyak berubah. Beberapa penelitian menunjukkan, belum ada kurikulum formal untuk pendidikan seks dan seksualitas di sekolah. Bahkan cenderung dihindari.
 Begitu pun soal materi kampanye. Tak berubah seperti pendekatan yang dijelaskan di atas. Intinya abstinence. Urusan seksualitas diserahkan pada keluarga dan nilai-nilai agama. Di sisi lain, akses terhadap informasi melalui teknologi terkini semakin berkembang cepat, hanya sekedip mata remaja kita bisa menemukan dan mencari apa saja.  Celakanya lagi, pendidikan seks secara sederhana dipahami mendukung perilaku dan hubungan seks bebas.Â
Maka tak heran jika banyak informasi yang menyesatkan terkait dengan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. RUU ini dianggap mempromosikan seks bebas, impor nilai dan budaya asing, dan seterusnya.Â
Pendidikan seks bukan hanya soal hubungan seks.
Organsasisi Kesehatan Dunia (WHO) dan beberapa lembaga UN menerbitkan panduan lengkap untuk pendidikan seksualitas/comprehensive sexuality education (CSE). Panduan dapat dilihat dan diunduh di sini. Panduan ini disusun dan ditujukan untuk level pendidikan dasar, pertama dan menengah dengan menggunakan pendekatan hak asasi manusia. Mengenal soal tubuh kita, perubahan karena pubertas, kesehatan reproduksi dan juga yang terpenting soal consent/persetujuan.
Fokus dari panduan ini bagaimana memberdayakan dan menyiapkan anak-anak dan remaja kita menjadi  pribadi yang sehat serta orang dewasa yang bertanggung jawab. Hingga saatnya nanti ia dapat membuat keputusan dan membangun hubungan yang sehat, menghormati, menghargai, bebas dari perilaku kekerasan, dan perilaku beresiko lainnya.Â
Bukan hanya soal status sosial dengan misalnya melalui perkawinan. Tapi lebih dari itu bagaimana ia memahami dan menghargai tubuhnya dan tubuh orang lain dan terutama bahwa tubuh perempuan dan laki-laki memiliki kebutuhan yang sama untuk kesenangan dan kenikmatan seksual. Juga mengenal identitas gender yang berbeda.Â
Kosongnya pendidikan seksualitas ini berpengaruh pada banyak hal. Dampak umum pada kesehatan ibu dan anak. Angka kematian Ibu di Indonesia tertinggi di ASEAN, 350 kematian per 100.000 kelahiran. Hal ini berkorelasi erat dengan perkawinan anak yang juga tinggi.Â
Pada tingkat individu: tidak begitu mengejutkan ketika dalam sebuah pelatihan tentang gender dan seksualitas, teman saya seorang fasilitator bercerita, dari sekian perempuan yang mengikuti pelatihan tersebut dan menikah bertahun-tahun tidak tahu apa itu orgasme. Kenikmatan seksual hanya didasarkan pada jika laki-laki sudah 'nyampe'.Â
Juga tingkat perilaku kita terlepas apapun yang kita kerjakan sebab ini soal nilai dan pandangan yang telah tertanam. Tak terlepas di layanan kesehatan yang seharusnya menjadi wilayah netral, tempat aman untuk kesembuhan bukan hanya fisik tapi juga mental.Â
Teman saya bercerita. Ia mengalami pendarahan cukup serius pada masa menstruasi sampai sempat jatuh tidak sadarkan diri. Ia datang ke UGD. Ia sampaikan keluhan pada perawat/suster termasuk ia ceritakan harus selalu memeriksa menstrual cup karena banyaknya darah yang keluar.Â
Suster langsung memeriksa catatan dan bertanya, "bukankah belum menikah? dengan garis muka berkerut. Teman saya diam. Suster lalu mengkonfirmasi sendiri "Oh jadi, sexually active? Komentar dokter pun tak jauh berbeda, "Seharusnya Anda segera menikah agar terjadi pembuahan dan punya anak. Mungkin dengan pembuahan masalah menstruasi Anda teratasi." Komentar tersebut melampaui kapasitas pemberi layanan kesehatan. Iya kalau siap punya anak? Iya kalau berhasil, bagaimana kalau tidak? Dan kita tahu tidak semua hal bisa diselesaikan dengan lembaga perkawinan.
Sekali lagi, pendidikan tentang seksualitas bukan hanya soal berhubungan seks saja tapi seluruh elemen yang membentuk kita sebagai manusia dewasa yang sehat, bahagia dan berdaya.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H