Buktinya, sebelum pasal usia direvisi, undang-undang perkawinan kita mengatur usia perkawinan 16 tahun untuk perempuan dan 19 tahun untuk laki-laki. Kita tahu perkawinan lebih kompleks dari sekedar urusan melakukan hubungan seksual. Banyak studi telah menunjukkan, menikah pada usia anak melahirkan banyak masalah termasuk resiko tingginya angka kematian Ibu dan anak, belum persoalan sosial lainnya. Â
Apakah cara pendidikan dan kampanye tersebut berhasil?Â
Studi kualitatif yang dilakukan pada tahun 2002 menemukan 18 dari 44 remaja perempuan di Yogyakarta hamil di luar perkawinan. 11 dari 18 menggugurkan kandungan. Beberapa faktor yang mempengaruhi mereka karena pengetahuan soal seksualitas yang minim, impulsive dan juga seks dengan tanpa pengaman.Â
Pada intinya para remaja ini mencari tahu sendiri, dan mencoba karena keingintahuannya tersebut. Saya ingat waktu kuliah, adik kelas mengandung. Ia dan juga pacarnya mengakui pada awalnya mencoba-coba saja. Dengan polos sang cowok bercerita, ia tidak menyadari terjadi ejakulasi di dalam. Tiba-tiba keluar saja. Ia baru belakangan tahu soal kondom. Si cewek juga tidak tahu jika hamil jika tidak mengalami mual yang berlebihan. Dari sisi perempuan, banyak stigma yang kemudian melekat. Kalau perempuan hamil, di luar nikah, seperti akhir segalanya di mata masyarakat kita. Tidak mudah bagi mereka berdua tentu saja. Si ibu dan anak dilahirkan dalam diam lalu diserahkan kepada keluarga lain untuk diadopsi. Â Â
Bagaimana situasi sekarang?Â
Artikel tersebut ditulis tahun 2004. Bagaimana situasi enam belas tahun kemudian? Situasi tak banyak berubah. Beberapa penelitian menunjukkan, belum ada kurikulum formal untuk pendidikan seks dan seksualitas di sekolah. Bahkan cenderung dihindari.
 Begitu pun soal materi kampanye. Tak berubah seperti pendekatan yang dijelaskan di atas. Intinya abstinence. Urusan seksualitas diserahkan pada keluarga dan nilai-nilai agama. Di sisi lain, akses terhadap informasi melalui teknologi terkini semakin berkembang cepat, hanya sekedip mata remaja kita bisa menemukan dan mencari apa saja.  Celakanya lagi, pendidikan seks secara sederhana dipahami mendukung perilaku dan hubungan seks bebas.Â
Maka tak heran jika banyak informasi yang menyesatkan terkait dengan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. RUU ini dianggap mempromosikan seks bebas, impor nilai dan budaya asing, dan seterusnya.Â
Pendidikan seks bukan hanya soal hubungan seks.
Organsasisi Kesehatan Dunia (WHO) dan beberapa lembaga UN menerbitkan panduan lengkap untuk pendidikan seksualitas/comprehensive sexuality education (CSE). Panduan dapat dilihat dan diunduh di sini. Panduan ini disusun dan ditujukan untuk level pendidikan dasar, pertama dan menengah dengan menggunakan pendekatan hak asasi manusia. Mengenal soal tubuh kita, perubahan karena pubertas, kesehatan reproduksi dan juga yang terpenting soal consent/persetujuan.
Fokus dari panduan ini bagaimana memberdayakan dan menyiapkan anak-anak dan remaja kita menjadi  pribadi yang sehat serta orang dewasa yang bertanggung jawab. Hingga saatnya nanti ia dapat membuat keputusan dan membangun hubungan yang sehat, menghormati, menghargai, bebas dari perilaku kekerasan, dan perilaku beresiko lainnya.Â