Mohon tunggu...
Lisa Noor Humaidah
Lisa Noor Humaidah Mohon Tunggu... Lainnya - Penikmat buku dan tulisan

Tertarik pada ilmu sosial, sejarah, sastra dan cerita kehidupan. Bisa juga dijumpai di https://lisanoorhumaidah.com

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

"The Social Dilemma", Dilema Kita Semua

20 September 2020   16:42 Diperbarui: 21 September 2020   04:23 1030
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Film Social Dilemma. Sumber: metro.co.uk

There're only two industries that call their customers "users": illegal drugs and software." -- Edward Tufte
 

Kutipan di atas menohok sekali bukan? Social Dilemma adalah sebuah film dokumenter yang menyajikan tentang bahaya media sosial bagi kehidupan manusia di bumi ini. Bahkan bagi peradabannya. 

Film ini menghadirkan orang-orang penting yang pernah bekerja di teknologi digital, media sosial populer asal negeri Paman Sam dari Google, Facebook, Twitter, Snapchat, Pinterest, WhatsApp, Youtube, dan juga para akademisi, peneliti termasuk aktivis hak asasi manusia (HAM). 

Film ini sangat penting karena membuka mata untuk kita semakin berhati-hati dengan media sosial.

Saya dan banyak kita mungkin seringkali merasa susah membedakan mana berita yang benar dan tidak. Begitu cepatnya informasi datang dan kita terima. Juga yang pasti perasaan lain yang mengikuti, takut, khawatir dan juga lelah. Bukan saja karena begitu banyak versi berita namun juga energi yang dihabiskan untuk menyerap semua hal tersebut.

Bagi pengguna Facebook (FB) pasti tidak asing dengan iklan atau tayangan di news feed/lini masa tentang sesuatu yang kita pikirkan. Entah itu yang berhubungan dengan hobi, perjalanan, bahkan sesuatu yang mungkin baru terbersit di dalam pikiran. Seperti magic/sulap. Seakan-akan FB tahu segalanya. 

Saya sering menjumpai status teman-teman yang sering merasa takjub dengan itu. Padahal itulah pekerjaan artificial intelligence (AI). Algoritma yang bekerja mengumpulkan data dan informasi untuk kemudian FB akan membaca siapa diri kita. 

Bukan hanya soal kegemaran, tapi juga soal pandangan politik atau hal lainnya yang mungkin tidak pernah kita duga. Mungkin mereka akan tahu jam berapa kita buang air, pergi ke kantor, sedang bersantai dan seterusnya. Karena di saat-saat itulah persuasi atau bujukan pada hal tertentu akan bekerja lebih efektif.

Tristan Harris, mantan desainer estetika Google yang saat ini turut mendirikan Center for Humane Technology mengatakan pesulap sangat memahami bagaimana bagian dari pikiran kita bekerja, dengan tanpa kita sadari.

Tidak memandang seberapa tinggi tingkat pendidikan. Banyak orang kagum, terpesona dengan permainan sulap. Soal teknik dan permainan kecepatan. Begitulah sebuah ilusi bekerja.

Psikologi dibangun di dalam teknologi media sosial ini. Untuk menjadi lebih persuasive. Media sosial mendorong kita tetap terpaku di depan layar. Asyik dengan jari-jari. Menghabiskan waktu berjam-jam. Tidak mengenal waktu. Tidak merasa bersalah atau bermasalah. Sampai kemudan kita melakukan sesuatu. 

Sandy Parakilas, mantan manajer operasional FB dan mantan manajer UBER bahkan mengatakan manusia seperti tikus percobaan. Bukan seperti untuk menemukan obat tapi kita tak ubahnya seperti zombie. Untuk apa? Agar kita melihat lebih banyak iklan dan lalu melakukan sesuatu. Uang tujuan utama. Dan inilah industri yang sebenarnya.

Selain menampilkan fakta, dan argumen dari para pelaku, film ini mengilustrasikan dengan cerita bagaimana media sosial bekerja, mempengaruhi dan mengubah para penggunanya.

Menciptakan perasaan yang palsu
DR. Anna Lembke, Stanford Uni School of Medicine Medical Director of Addiction Medicine mengatakan memang media sosial itu seperti obat. Terhubung dengan orang lain membuat ada pelepasan dopamine, sebuah bentuk reward/penghargaan juga untuk diri sendiri. 

Ini bagian dari evolusi jutaan tahun pada sebuah sistem untuk kita hidup di komunitas, menemukan teman, dan mempengaruhi yang lain juga. Maka tidak diragukan lagi, sosial media seperti kendaraan untuk mengoptimalkan koneksi antar manusia. Dan sudah pasti ada potensi besar untuk kecanduan.

Namun demikian, menurut Chamath Palihapitiya, mantan vice president FB untuk Growth tanpa disadari, kita membentuk hidup kita pada sebuah perasaan kesempurnaan karena kita mendapatkan reward dalam bentuk emoticon hati, likes (jempol) dan kita menggabungkan semua perasaan tersebut dengan nilai, dengan kebenaran. 

Padahal jelas, ini adalah kepalsuan. Mungkin seharusnya bersifat sesaat tapi kemudian sebentar kemudian kita merasa perlu melakukannya lagi. Lalu kita posting kembali untuk mendapatkan reward tersebut. Seperti lingkaran setan. Berputar kembali seperti itu. Dan memang itulah tujuannya agar kita berlama-lama menghabiskan waktu di depan layar/gadget kita.

Pada mulanya, pilihan emoticon seperti like dan yang lainnya bertujuan positif untuk menyebarkan dan mendukung hal-hal yang baik. Namun pada kenyatannya yang terjadi cenderung melenceng jauh.

Alarm bahaya bagi anak-anak
Sosial media tidak didesin untuk psychologi anak yang bertujuan untuk melindungi dan memelihara, memastikan pertumbuhan emosi sesuai usianya. 

Sosial media didesain untuk membuat algoritma yang kemudian dengan sangat baik menyarankan video, termasuk untuk mengambil foto/gambar lengkap dengan filternya. Sosial media mulai masuk semakin dalam pada jaringan sistem otak lalu merampas jati diri anak-anak, sasarannya pada identitas dan kepercayaan diri.

Film ini menyajikan data yang membuat miris.

Jonathan Haidt, PhD, NYU  Stern School of Business Social Psychologist dan juga penulis buku The Righteous Mind: Why Good People are Divided by Politics and Religion menyebutkan angka yang sangat besar remaja di Amerika mengalami depresi dan kecemasan dalam kurun antara tahun 2011 dan 2013. 

Ada 100 ribu remaja perempuan yang dibawa ke Rumah Sakit karena melukai dan membahayakan dirinya. Angkanya naik 62 persen dari tahun sebelumnya untuk teen girls (usia 13-19 tahun). Untuk preteen girls (usia 10-12 tahun) naik sampai 189 persen. Lebih menakutkan lagi jika dilihat kaitannya dengan angka bunuh diri.

Ia menambahkan, Gen Z, anak-anak yang lahir setelah 1996-an adalah generasi pertama di dalam sejarah yang mendapatkan pengalaman dengan media sosial di tingkat middle school, dalam konteks Amerika. Untuk konteks kita setingkat sekolah dasar (SD). 

Generasi ini diperkirakan lebih rentan cemas, lemah dan cenderung mudah depresi. Mereka sangat tidak nyaman mengambil resiko. Ia juga melihat kecenderungan angka kepemilikan surat ijin mengemudi (SIM) turun. Angka mereka yang pernah keluar untuk nge-date atau segala jenis relasi asmara juga menurun drastis. Ia mengatakan ini adalah perubahan nyata pada generasi kita. 

Terbayang apa yang dirasakan oleh para orang tua yang ketakutan dan trauma karena membawa anaknya ke rumah sakit. Pasti mereka punya pertanyaan sama, apa yang sebenarnya terjadi pada anakku!  

Digambarkan di film sebuah ilustrasi, saat makan malam keluarga, sang Mama meminta anggota keluarga yang lain menyimpan gadget di wadah berwaktu/timer (untuk satu jam) sampai mereka selesai.

Si anak remaja perempuan terlihat gelisah dan pandangannya selalu tertuju pada gadget yang aktif mengirimkan notifikasi. Hingga kemudian ia memecahkan wadah tersebut dengan kayu demi mendapatkan gadget-nya, bahkan baru sekitar 15 menit berlalu. 

Si anak remaja ini juga digambarkan sangat sedih ketika ada komentar di foto filter cantik yang dipostingnya tentang telinga yang terlihat lebar seperti telinga gajah. Ia memandang dirinya lekat-lekat di depan cermin sambil berurai air mata menutup daun telinga dengan rambutnya.

Dan diakui oleh salah satunya Tim Kendall, mantan eksekutif FB, presiden Pinterest yang saat ini CEO Moment, ia tidak mengijinkan anak-anaknya mengakses sosial media sampai mereka berusia dewasa. Dan itu berlaku bagi semua penemu, pencipta media sosial. Karena mereka tahu media sosial diciptakan bukan untuk anak-anak.

Bumi dan kehidupan kita yang chaos dan terpolarisasi
Ada beberapa kisah yang digambarkan, bagaimana  media sosial menciptakan, menyulut kekacauan serta polarisasi politik.

Guillaume Chaslot mantan engineer YouTube. Sekarang CEO IntuitiveAI, dan pendiri AlgoTransparency mengakui YouTube turut meningkatkan polarisasi di tengah masyarakat. Polarisasi ini justru sangat efisien membuat orang tetap online dan berkutat dengan gadget-nya. Algoritma berupaya untuk menemukan beberapa, yang mereka sebut sebagai 'lubang kelinci'/rabbit hole yang sangat kuat dan berpengaruh. 

Untuk itu, jika Anda memulai menonton salah satu dari beberapa video, maka video yang serupa atau sama akan direkomendasikan terus menerus.

Teori bumi datar direkomendasikan ratusan juta kali oleh algoritma. Dan terbukti mendapatkan pengikut yang luar biasa termasuk di Indonesia. Bukti algoritma semakin cerdas. Dan algoritma tidak peduli dengan kebenaran berita tersebut.

Tristan bahkan menggambarkan cara bekerjanya. Temukan 100 orang yang percaya pada teori konspirasi bumi datar dan berikan 1000 orang yang kurang lebih serupa dengan itu. Jika kita minta ke FB, mereka akan senang hati memberikan informasi data pengguna yang serupa dengan itu dan kita siap memberikan asupan makanan terus  menerus tentang teori konspirasi.

Kisah lain adalah soal 'pizzagate'. Renee Diresta, Manager di Standford Internet Observatory Research bercerita tentang pizzagate ini adalah tentang anggapan jika kamu memesan pizza sama saja memesan orang yang diperdagangkan. Anggota group yang membicarakan ini membesar di FB, maka FB mulai merekomendasikan kepada pengguna lain untuk mengikuti page ini.

Jika pengguna FB, menurut algoritma, adalah seseorang yang anti vaksin atau percaya pada chemtrail (teori konspirasi jejak kimia) dan teori konspirasi yang lain, maka mereka akan direkomendasikan oleh mesin untuk masuk page pizzagate ini. 

Puncak dari cerita ini, seorang laki-laki bersenjata mendatangi restaurant yang juga tempat produksi pizza dan mengatakan akan membebaskan anak-anak yang disandera di basement. Padahal tempat pizza tersebut tidak memiliki basement. Dan tentu saja itu tidak ada anak-anak yang disandera.

Ini adalah contoh bagaimana platform media sosial sanggup melakukan ini, tidak perlu propagandis ulung. Bahkan untuk mereka yang tidak pernah tahu menahu tentang pizzagate bisa terpengaruh, kemudian melakukan hal terburuk yang bisa membahayakan dirinya dan tentu saja orang lain.

Hal yang paling dikhawatirkan adalah ketika sosial media digunakan oleh pemerintah yang berkuasa sebagai senjata yang berdampak pada kekerasan yang nyata. Cynthia M. Wong, mantan senior internet researcher human rights watch (HRW) menceritakan kondisi di Myanmar, negara tetangga kita. 

Menurutnya, FB memberikan militer dan aktor yang lain cara untuk memanipulasi opini publik dan menyulut terjadinya kekerasan kepada kelompok muslim Rohingya termasuk pembunuhan massal, bumi hangus kampung, pemerkosaan, dan bentuk kejahatan serius yang lain yang menyebabkan 700 ribu muslim Rohingya melarikan diri dari negaranya sendiri.

Tentang berita palsu ini, Tristan mengutip hasil studi dari Massachusetts Institute of Technology (MIT) yang menyebutkan berita bohong enam kali lebih cepat menyebar melalui Twitter dibandingkan berita yang benar. 

Pertanyaannya kemudian bagaimana bentuk wajah dunia kita, jika salah satu memiliki enam kali keunggulan dari yang lain. FB memiliki trilyunan berita di lini masa dan mereka tidak tahu mana yang benar, mana yang tidak. Eksponensial gossip dan rumor semakin meningkat melalui media sosial dan kita berada pada poin dimana kita tidak tahu lagi mana yang benar terlepas dari isu yang kita minati.
 
Mereka di film ini juga percaya tentang intervensi Rusia pada hasil pemilu di Amerika Serikat tahun 2016. Roger McNamee, investor awal FB dan juga venture kapitalis mengatakan Russia tidak meng-hack. Mereka mengintervensi melalui pengguna dan pengiklan yang sah dan menggunakannya untuk kepentingan mereka.
 
Hal yang paling dikhawatirkan
Film ini mendiskusikan tentang hal-hal yang dikhawatirkan untuk masa depan kita, masa depan peradaban. Jika kita tidak melakukan sesuatu akan terjadi situasi yang sangat kacau dan perpecahan di masyarakat. 

Jika kita tidak setuju tentang apa yang benar dan kebenaran itu ada, maka kita akan mati. Ini bukan soal teknologi sebagai ancaman namun kemampuan teknologi untuk membawa pengaruh buruk di masyarakat lah ancaman yang sebenarnya. Bahkan Tim Kendall mengatakan dalam waktu dekat akan terjadi perang sipil.
 
Dari berbagai kisah di atas, algoritma dan juga para politisi yang memanipulasi semakin ahli untuk mendorong dan mempengaruhi kita percaya pada berita yang tidak benar yang celakanya itu kita anggap kenyataan. Berhasil membuat bingung dan kita harus percaya. Cathy O'Neil, PhD, seorang data scientist. Penulis buku weapons on math destruction mengatakan Google tidak bisa mengatakan apakah ini konspirasi? Apakah ini kebenaran? Karena mereka tidak tahu kebenaran itu sendiri. 

Sangat penting bagi industri ini adalah kita klik dan menghabiskan waktu untuk berselancar.  Untuk 20 tahun ke depan  kita mungkin akan merusak peradaban kita dengan keacuhan yang disengaja. Kita mungkin gagal untuk mengatasi climate change. Kita mungkin gagal mencapai negara demokratis sehingga melahirkan pemerintahan yang autokratik. Kita mungkin mengalami krisis ekonomi global yang parah yang membuat kita tidak bisa lagi bertahan.
 
Terdengar semakin mengerikan. Apalagi jika kita mulai kehilangan kuasa atas diri kita dan juga apa yang  kita percaya. Maka yang akan terjadi tidak percaya satu sama lain, perasaan kesepian, terpinggirkan, dan banyak pengalihan isu. Tidak ada yang lain selain kekacauan itu sendiri. Dampaknya bisa dalam skala besar, ke orang lain yang mungkin tidak ada sangkut pautnya sama sekali. Jika orang dewasa terkena dampak, apalagi dengan anak-anak!  
 
Lalu apa?
Tristan mengingatkan jika teknologi adalah alat maka dia seharusnya diam saja. Menunggu dengan sabar untuk kita gunakan. Ini jelas tidak. Mereka menuntut banyak dari kita. Membuat kita menghabiskan waktu berjam-jam, sampai kemudian mengubah dan membahayakan kita semua dalam kehidupan bermasyarakat.
 
Celakanya kita tidak bisa  meminta pertanggungjawaban. Ini lah yang kemudian didorong oleh para pelaku yang bersuara di film ini agar teknologi ini lebih bertanggung jawab dengan aturan main yang jelas. Mereka bertanggung jawab untuk melindungi pemilihan umum. Mereka bertanggung jawab menjaga kesehatan mental anak-anak. Melindungi akhir pekan dari perhatian ke gadget. Jika ini tidak segera dilakukan, mereka akan melemahkan, merusak demokrasi. Melemahkan, merusak kebebasan yang paling mendasar. Tidak ada cara lain selain membuat aturan main, hukum yang berlaku tegas.
 
Dan untuk kita para pengguna sosial media, semakin waspada dan berhati-hatilah. Cathy O'Neil mengajak untuk berpuasa dengan sosial media. Ia bahkan sangat menganjurkan untuk menghapus semua aplikasi sosial media kita. Mulai hiduplah dengan kenyataan, berinteraksi dengan alam dan sekitarnya. Paling tidak, saran Tim Kendall, matikan semua notifikasi, jangan sampai perhatian kita dialihkan. Kembalikan kendali pada diri kita bukan sebaliknya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun