Mohon tunggu...
Lisa Noor Humaidah
Lisa Noor Humaidah Mohon Tunggu... Lainnya - Penikmat buku dan tulisan

Tertarik pada ilmu sosial, sejarah, sastra dan cerita kehidupan. Bisa juga dijumpai di https://lisanoorhumaidah.com

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Untuk Semesta, untuk Indonesia

2 Februari 2020   19:06 Diperbarui: 3 Februari 2020   09:17 480
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Akhir pekan ini saya menyempatkan untuk menonton film dokumenter Semesta yang secara resmi mulai tayang serentak di beberapa bioskop di seluruh Indonesia pada Kamis (30/1/2020). Film dokumenter yang mengangkat profil singkat tujuh orang sosok inspiratif dari tujuh provinsi di Indonesia: Bali, Kalimantan Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT), Papua Barat, Aceh, DI Yogyakarta, dan DKI Jakarta.

Saya ambil sesi jam tiga sore. Ada 31 penonton termasuk saya dari sekitar 266 kursi yang tersedia. Tidak banyak.

Tapi seperti yang disebutkan oleh salah satu produsernya, Nicholas Saputra (Nico), ia tak memiliki target mutlak (saya duga dari sisi jumlah penonton) untuk kesuksesan film yang perdana diproduserinya ini. Ia menargetkan siapapun yang menonton sadar akan pentingnya menjaga lingkungan. Target yang mulia dan patut diapresiasi.

Sesuai dengan tujuannya, film ini mengangkat tema ekologis untuk menginspirasi apa yang dapat kita lakukan, mulai dari diri sendiri menyikapi dampak perubahan iklim yang terjadi. Bahwa dampak dari perubahan iklim/climate change itu nyata bagi manusia dengan meningkatnya emisi karbon, menipis dan hilangnya sumber pangan, punahnya satwa alam, anomaly cuaca dan seterusnya.

Film dokumenter ini memang tidak biasa. Karena ia membawa misi yang tak biasa. Mengangkat sosok anggota masyarakat biasa yang membawa dampak tak biasa bagi lingkungan, masyarakat di sekitarnya.

Diputar di bioskop komersil dan dikampanyekan dengan baik, terutama karena salah satu produsernya adalah aktor yang telah dikenal luas, film ini diharapkan memberi dampak yang tidak biasa juga, seperti yang telah disinggung di atas.  

Film dibuka dengan gambar-gambar indah pemandangan dan suasana prosesi Nyepi di Pulau Dewata Bali. Gambarnya begitu dekat dan nyata, seperti kita menjadi bagian dari prosesi suci yang sedang berlangsung. Sesi pertama dibuka dengan kisah tokoh budaya di Ubud, Bali, Tjokorda Raka Kerthyasa.

Salah satu scene beliau menguraikan makna Melasti yang merupakan tahapan pertama dalam perayaan Hari Raya Nyepi. Melasti untuk menyucikan buono agung dan buono alit yakni alam semesta dan juga tubuh.

Dan salah satu tujuan prosesi Nyepi dengan tapa brata agar terjadi keseimbangan melalui kontrol atas sifat-sifat manusia yang merusak. Melalui proses Nyepi, disebutkan oleh film ini dapat mereduksi emisi dari gas Karbondioksida (CO2) sebanyak 30 ribu ton.

Kisah berikutnya cerita dari Sungai Utik, Kalimantan Barat tentang upaya untuk menahan laju deforestasi oleh Agustinus Pius Inam, Kepala Dusun Sungai Utik. Disebutkan dalam film, satu abad terakhir, 50% hutan di Kalimantan telah hilang akibat deforestasi.

Secara global, proses ini menyumbang 15% emisi penyebab perubahan iklim. Dusun ini turut berkontribusi untuk menjaga sekitar 9 ribu hektar hutan yang dilindungi. Ada aturan-aturan ketat yang mereka harus patuhi seperti setiap keluarga hanya boleh menebang 3 pohon selama setahun. Rangkong, Orang Utan adalah beberapa satwa yang tidak boleh diburu.

Menurut Agustinus yang mengutip pernyataan Apay Janggut, tetua-tokoh adat yang mempertahankan hutan adat, tanah seperti Ibu dan air adalah darahnya. Untuk itu, mereka harus selalu dijaga untuk kelangsungan hidup manusia.

Selain gambaran asli hutan dengan pohon-pohon besar di pedalaman hutan Kalimantan, bagian ini menceritakan prosesi pesta adat untuk mensyukuri hasil panen yang disebut Gawai. Para laki-laki berpakaian adat Dayak semarak berwarna-warni indah menghiasi layar.

Tanpa kita sadari cerita berpindah ke Bea Muring, Nusa Tenggara Timur (NTT) tentang Romo Marselus Hasan. Ia bersama warga menginisiasi pembangkit listrik tenaga air (PLTA). Setelah enam tahun, PLTA ini rusak diterjang banjir besar yang belum pernah terjadi sebelumnya. Banjir tersebut disebutkan karena lingkungan yang dirusak manusia.

Selain memperbaiki secara swadaya bersama warga, Romo mengajak warga untuk melakukan pertobatan ekologis dalam khutbah-khutbahnya.  Pertobatan yang dimulai dengan menjaga dan memelihara lingkungan seperti sabda Tuhan dalam Kitab Kejadian.  PLTA yang dikembangkan oleh Romo dan warganya ini merupakan teknologi mikro-hidro yang disebut ramah lingkungan.

 Setelah dari NTT kita ke kampung Kapatcol, distrik Misool Barat, Raja Ampat, Papua Barat. Cerita dibuka dengan informasi Raja Ampat adalah rumah dari hampir 75% terumbu karang yang ada di seluruh dunia. Kampung ini menerapkan Sasi yaitu kesepakatan adat yang melarang masyarakat mengambil hasil laut di daerah tertentu dalam jangka waktu tertentu.

Pada tahun 2010, untuk pertama kalinya kampung ini menyelenggarakan Sasi yang seluruhnya dilakukan oleh perempuan dengan dukungan gereja. Pemimpinnya Mama Almina Kacili. Film ini menangkap prosesi pembukaan Sasi selama seminggu, setelah ditutup selama 6 bulan.

Dengan hanya menggunakan kacamata renang, Mama-mama menyelam langsung mengambil hasil laut. Hasilnya pun luar biasa. Ada Teripang Emas besar, Lola (Siput Laut) yang berlimpah, dan juga Lobster. Mama-mama yang hebat.

Cerita keempat dan kelima adalah cerita tentang Tengku Muhammad Yusuf, Imam di Desa Pameu, Aceh dan Iskandar Waworuntu di Yogyakarta. Keduanya menggunakan nilai-nilai Islam dalam mencintai dan upaya menyelamatkan lingkungan. Tengku Yusuf mengingatkan warga dalam khutbah-khutbahnya tentang kerusakan hutan karena ulah manusia yang berdampak pada kerusakan habitat alami gajah liar.

Film ini menuliskan dalam satu generasi, gajah Sumatera kehilangan 50% populasinya dan 70% habitatnya. Ditambahkan, sejak 1990, hampir setengah dari hutan primer Sumatera telah dibabat habis, sebagian besar untuk kepentingan industri. Dan film ini menggambarkan gajah-gajah yang memasuki wilayah dan merusak ladang warga.

Cerita Iskandar Waworuntu adalah cerita tentang cinta atas Islam yang mendatangkan banyak energi untuk mengikuti sunnah Nabi terutama untuk berbuat baik terhadap alam dan isinya. Ia menjalankan apa yang disebut sebagai praktek thayyib (Bahasa arab yang berarti baik).

Ia menekankan pada kesatuan dari kehidupan termasuk tahu apa yang kita makan karena kita juga harus memberikan rahmat pada tubuh kita. Ia mengembangkan permakultur yang berbasiskan Islam. Menyuburkan tanah yang tandus dan gersang menjadi  berkah dan rahmat bagi warga, alam sekitar dan terutama pada diri sendiri.

Cerita terakhir adalah cerita tentang Soraya Cassandra dan suaminya. Petani di daerah urban Jakarta yang mendirikan Kebun Kumara di Situ Gintung, Tangerang Selatan. Ia melakukan kampanye bagaimana memanfaatkan tanah di wilayah urban perkotaan menjadi hijau kembali. Mengajak warga urban perkotaan untuk mencintai alam dengan cara berkebun.  Disebutkan di sini tentang fakta wilayah urban hanya seluas 2% dari luas daratan bumi, tapi menyumbang lebih dari 70% emisi gas rumah kaca

Kekuatan Gambar dan Ide
Menonton film Semesta menurut saya kekuatannya ada pada gambar dan ide untuk membawa keragaman yang merepresentasikan Indonesia. Landscape, latar belakang budaya dan agama yang berbeda. Seperti yang disebutkan oleh para produser dan sutradara dalam wawancara di Kompas TV, film ini membawa perjalanan spiritual masing-masing tokoh yang diangkat dengan tujuan yang disebutkan di atas untuk dampak yang besar. Inspirasi untuk melakukan sesuatu yang berbeda.

Sebagai penonton, saya sangat menikmati gambar-gambar indah yang disajikan oleh film ini. Dari sisi sinematografi, visualisasi gambar indah, penempatan kapan perlu close up sudah pas, transisi dan editing yang halus serta pemilihan latar musik yang sesuai.

Bicara soal musik, saya paling suka lagu yang mengiringi kisah Mama Almina. Suara perempuan bernyanyi akapela tentang kehidupan yang indah. Suara yang lembut, penuh kekuatan, datang dari hati. Andalan, Mama!

Walaupun secara sinematografi baik, namun saya tidak cukup mendapatkan emosi. Dari awal sampai akhir, saya merasakan datar saja. Ada semangat dan tekat yang membara pada kisah Pak Iskandar Waworuntu, tapi selebihnya datar saja.

Sebagai penonton mungkin karena ada beberapa pertanyaan yang tak terjawab pada tindakan-tindakan kongkrit yang dilakukan, misalnya pada kisah Tengku Muhammad Yusuf, bagaimana mencegah Gajah merusak kembali pemukiman warga selain dengan berdoa? 

Bukan bermaksud membandingkan, dan lebih karena film dengan topik kurang lebih sama, berbeda ketika setelah menonton Before the Flood (2016) yang diproduksi dan dibintangi oleh aktor Hollywood pemenang Oscar Leonardo DiCaprio. Setelah menonton, saya seperti merasakan urgensi tentang masa depan bumi kita ini.

Tidak ada yang bisa dilakukan selain mengubah banyak hal, mulai dari yang kecil, misalnya perilaku kita menggunakan pendingin ruangan, plastik, makanan, dan seterusnya.

Sekali lagi tidak berupaya membandingkan, Before the Flood diproduksi selama tiga tahun dengan perjalanan ke berbagai negara dan wawancara dengan para tokoh penting dunia dari ilmuwan sampai politisi dan kepala negara. Film Semesta disebutkan diproduksi selama setahun, riset dua bulan, pengambilan gambar selama empat bulan. Selebihnya mungkin post produksi.

Namun demikian, film dokumenter ini tetap layak ditonton, seperti yang disampaikan oleh Nico pada wawancara yang telah disinggung di atas, ini adalah kisah perjalanan personal spiritual untuk menyelamatkan bumi kita. Kisah yang ingin didialogkan dengan penonton untuk kesadaran dan aksi kongkrit yang akan dilakukan.

Mengutip Ban Ki-moon, Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) ke-8 yang menganalogikan bumi manusia kita ini seperti perahu kecil. Jika perahu ini tenggelam, maka kita semua akan tenggelam bersama-sama.

Untuk itu, saatnya kita terus belajar dan mencari tahu, apa yang dapat kita lakukan untuk berkontribusi bagi upaya mengurangi dampak dari perubahan iklim ini untuk Indonesia yang tentunya akan berdampak berarti pada semesta.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun