Mohon tunggu...
Lisa Noor Humaidah
Lisa Noor Humaidah Mohon Tunggu... Lainnya - Penikmat buku dan tulisan

Tertarik pada ilmu sosial, sejarah, sastra dan cerita kehidupan. Bisa juga dijumpai di https://lisanoorhumaidah.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Andre Natalis

24 Desember 2019   22:00 Diperbarui: 7 Februari 2024   19:57 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Setiap kali bertemu Ibu Yosi, Ibu Guru Sekolah Minggu aku ingat salah satu kejadian itu. Ia perempuan selain Ibu yang pernah mencubitku, sakitnya seperti digigit semut merah Rangrang. Penyebabnya, waktu ke Gereja, rambutku panjang. Padahal aku sudah sisir rapi ke belakang. Aku sudah kuliah di tingkat pertama waktu itu. Waktu giliran bersalaman dengan Ibu Yosi, ia bertanya, mengapa rambut gondrong? Aku menjawab, tuhan Yesus juga berambut gondrong, ada masalah dengan itu? Dengan gemas, ia mencubit bagian perutku sambil giginya beradu gemas. Aku hanya meringis terkejut dan tak bermaksud berkelit. Papa dan Mama juga turut gemas namun aku tahu mereka juga tidak mampu menahan tawa mendengar jawabanku."

Aku tertawa terbahak mendengar ceritamu itu. Ini adalah salah satu bagian cerita tentang masa mudamu yang aku suka. Gambaran anak muda yang kritis yang dibesarkan di lingkungan penuh ritual agama. Namamu pun mencerminkan itu. Andre Natalis Njio. Andre adalah Andreas salah satu murid, rasul Yesus pertama yang setia dan kritis. Natalis karena lahir di hari Natal. Njio adalah nama fam/marga dari negeri Maluku keturunan Tionghoa. 

Engkong (kakek)mu keturunan garis ketiga dari Kapten Njio, sosok penting dalam pertumbuhan sastra dan budaya di Ambon, Maluku. Ia berlayar jauh ribuan kilo melintasi luas samudera dari negerinya Tiongkok dan kemudian bergabung dengan Belanda. Nene (nenek) orang asli Maluku. Engkong berpendidikan Belanda. Ia lebih mahir berdagang dan bernegoisasi daripada urusan lain. Keahlian ini menurun ke Papamu. Mamamu juga keturuan Tionghoa asal Makassar yang juga berlayar ke negeri Maluku dan bertemu Papa.

Engkong yang membuka jalan merantau ke negeri ini, negeri Irian Barat waktu masih dalam pendudukan Belanda, lebih karena hubungan kongsi dagang. Engkong pemasok garam dan bumbu rempah yang lain termasuk juga untuk urusan mengolah bahan masakan. Sedangkan Papa-mu melanjutkan keahlian Engkong dalam bernegosiasi dengan mengembangkan bisnis pembangunan (kontraktor).  

Aku mengenalmu karena ditugaskan di provinsi ini, di provinsi paling Timur Indonesia. Provinsi yang dalam beberapa tahun terakhir ini menarik perhatianku karena sejarah konflik dan juga ras bangsa yang berbeda. Dalam banyak urusan pembangunan, tanah ini yang jadi dua provinsi Papua dan Papua Barat selalu berada pada urutan paling belakang dari provinsi-provinsi lain. Tidak lama kenal, kita seperti sahabat lama yang bertemu kembali karena terpisah oleh lorong waktu.  

Kamu seorang dokter. Walaupun tinggal di ibukota provinsi, kamu sering datang ke pedalaman untuk masyarakat yang tak terjangkau. Dengan pesawat kecil baling-baling atau bahkan berjalan kaki berhari-hari untuk bertemu mereka. Kamu sering membawa mobil sendiri dengan ditemani satu perawat atau warga lokal untuk datang ke satu kampung yang tak pernah mengenal siapa itu dokter. 

Mendatangi kampung yang bayi-bayinya bisa segera mati karena panas tinggi dalam hitungan hari. Memperkenalkan obat-obat basic seperti oralit atau paracetamol. Mengajarkan cuci tangan yang benar. Memberikan informasi bagaimana memasak air sungai sebelum meminumnya. Memberi pengobatan kepada Mama-mama yang sekarat karena luka dan persalinan. Dan seterusnya.  

Waktu mengenalmu pertama kali aku tahu kamu bukan orang asli tanah ini. Rambutmu lurus dengan bola mata bulat berwarna kecokelatan. Alis yang simetris, seperti dua pasukan semut hitam yang sedang berbaris, rapi tebal. Hidung mancung membelah wajah oval. Kamu keturunan pendatang seperti yang kemudian kamu ceritakan tentang bagaimana keluargamu tiba di tanah ini. Namun, kamu hanya mengenal tanah ini sebagai tanah kelahiranmu yang kamu hidupi dan perjuangkan. Tanah tempat bertemu kekasih hati dan anakmu lahir dan dibesarkan.

Masa kecilmu adalah masa yang gembira. Seperti anak -- anak lain di wilayah provinsi dan pulau lain. Kamu tak pernah merasa mengenal warga asli karena kamu adalah bagian dari itu. Jika ada yang berkulit hitam, berambut keriting, itu tidak membuatmu merasa berbeda. Kamu mengenal mereka sebagai bagian dari saudara, karena bicara dengan Bahasa yang sama. Makan, minum dari sumber tanah yang sama. Bernafas, hidup dan berpijak di bumi yang sama.

Sejak dilahirkan kamu telah mengenal nama tempat lahir dan tinggalmu bernama Irian Jaya. Sebagaimana sejarah di sekolah menceritakan, Indonesia merebut Irian Barat dari Belanda dengan perundingan dan kemudian diteguhkan dengan jajak pendapat, Pepera (penentuan pendapat rakyat), yang terkenal itu. Pejuang asal Papua yang berpihak ke Indonesia memberi nama Irian Jaya yang berarti Ikut Republik Indonesia Anti Netherland. Lalu kemudian nama berganti Papua. Kamu ingat almarhum Engkong pernah bilang kata Papua berasal dari Bahasa Melayu, poea-poea, yang artinya keriting. Undang-undang yang kemudian disusun untuk mengatur tanah ini menegaskan ciri-ciri itulah yang menggambarkan orang asli tanah ini. Kemudian kamu merasa tersisih, lalu aku ini siapa?

Kamu menyaksikan banyak orang-orang pendatang yang juga berjuang dengan cucuran keringat dan airmata. Menghabiskan hari- hari di bawah sengat matahari yang tajamnya mampu membuat kulit terkelupas. Pantang surut, pantang menyerah. Apa yang salah dengan mereka yang datang, berjuang dan membangun tanah ini. Mereka mencintai tanah ini lebih dari yang orang lain bayangkan.

Mungkin ada kebijakan pemerintah yang bermasalah. Tapi hidup di tanah ini memang tidak mudah, serba salah. Banyak debat. Banyak konflik. Banyak kepentingan. Sangat berisik. Kamu percaya tidak semua orang baik. Tidak semua orang buruk. Berlaku untuk siapapun dan politik yang sanggup membuatnya seperti kartu tarot, membolak-balik nasib baik dan nasib buruk sesuai dengan keinginan, mungkin juga kesepakatan.

Aku menyimak baik-baik semua hal yang kamu sampaikan. Mendengar, memahami dari sisi dan sudut yang berbeda.

***

Lembah Baliem berselimut kabut pagi itu. Udara terasa sejuk, dan dinginnya tak menusuk tulang. Angin menerpa halus seperti membawa percikan air yang menyegarkan. Kita berada di wilayah pegunungan untuk pengumpulan data dan informasi tentang kondisi kesehatan di beberapa Kampung untuk dukungan program yang akan diberikan. Kamu membuka jalan karena pernah bertugas di daerah ini untuk beberapa tahun lamanya.  

Pagi itu, kamu mengajakku menemui seorang pasien yang tinggal di Honai. Salah seorang kader Puskesmas yang mengenalmu menghubungimu tadi malam. Mama pasien ini tidak mau dokter lain selain dr. Andre. Katanya ia mendapatkan tulah mantra dari suku lawan kampung tetangga.  

Tas ransel sudah siap di punggung. Motor telah dipanaskan. Kita akan mengendarai motor tinggi dengan roda besar bergerigi. Motor trail yang biasa digunakan untuk off-road untuk mempersingkat waktu. Lokasi melewati jalan berbatu dan lumpur liat lagi tebal, tak mudah dilalui.  

Motor segera berlari menyusuri jalan beraspal yang tak sampai lima kilometer. Setelah itu  jalanan berbatu saja. Kanan kiri jalan adalah padang ilalang sepanjang dan sejauh mata memandang. Bukit-bukit batu terlihat keras,  legam berdiri kokoh menantang. Kita mulai masuk melewati sela-sela pohon Pinus yang berbaris rapat dan juga perdu ilalang yang rimbun. Bau anyir segera tercium ketika kita mulai memasuki lokasi yang dituju. Ada beberapa bangunan Honai di sana. Terdengar seperti suara erangan dan lolongan yang terdengar pilu.

Mama terlihat terbaring lemas di atas alas jerami. Matanya setengah terpejam dengan bola mata bergerak-gerak ke kiri kanan. Ia terdengar mengerang-erang dan sesekali mengeluarkan seperti lenguhan panjang. Ia sedang demam tinggi. Ia dikelilingi oleh para anggota keluarga yang memandang gelisah. Mereka juga mengeluarkan suara seperti lebah yang berdengung seperti sedang merapalkan mantra. Kamu sigap mengeluarkan stetoscope dan mulai melakukan pemeriksaan menyeluruh, cek nadi, kondisi dan fungsi tubuh yang lain. Kesimpulanmu sementara pasien terserang Malaria. Setelah memberikan suntikan penurun panas, kamu meninggalkan obat Malaria untuk diminum beberapa hari ke depan. Kamu ambil darah untuk memastikan apakah benar ia terserang Malaria.

Sebelum meninggalkan lokasi, kamu sempat berbincang dengan anggota keluarga dalam Bahasa mereka yang sama sekali tak kumengerti satu kata saja. Diam-diam aku mengagumi keseriusan dan dedikasi atas pekerjaan yang kamu lakukan. Mereka menyampaikan ucapan terima kasih yang tulus atas waktu dan kedatanganmu, begitu katamu menyampaikan inti pembicaraan. Kamu akan kembali dalam waktu dekat untuk hasil test darah.

"Perlu waktu yang lama untuk mendekati suku di pedalaman ini apalagi sampai kita diterima dan dianggap mampu 'melawan' mantra dari kampung lawan." Kamu terkekeh. " Ada dokter asli dari warga di sini yang bertugas di Puskesmas terdekat. Tapi dokter ini dalam beberapa bulan terakhir tidak pernah di tempat. Kabarnya ia lebih memilih tinggal di ibu kota provinsi," tambahmu.

Hari mulai gelap. Motor berlari dengan kecepatan sama ketika datang. Di beberapa ruas perlu kejelian dan kehatian-hatian jika tidak mau terperosok ke dalam lubang penuh lumpur. Tiba-tiba dari rerimbunan, kita dikejutkan oleh empat orang laki-laki yang muncul dengan menghunus parang menghentikan kita. Motor terhenti dan kemudian oleng ke kiri. Terpekik ak terjatuh. Beberapa detik aku seperti tidak tahu apa yang terjadi. Aku berusaha keras tidak panik. Aku lihat Andre segera berdiri dan menguasai diri. Entah  darimana datangnya, tiba-tiba aku mendengar suara letusan tiga kali. Aku semakin terpekik menutup mata dan telinga sambil terduduk melindungi kepala. Aku sempat mendengar suara langkah-langkah cepat orang berlari sambil meneriakkan kata-kata yang aku tidak mengerti.

Aku tidak berani mengangkat kepala sampai Andre menarik tanganku dan minta aku segera naik kembali ke motor. Badanku gemetar karena ketakutan. Andre sempat memelukku untuk menenangkan sebelum akhirnya aku sanggup naik ke motor kembali. Aku pejamkan mata sepanjang perjalanan sambil memeluk erat Andre dari  belakang. Setelah tiba di tempat tujuan. Andre terlihat jauh lebih tenang, namun matanya terlhat nanar. 

"Tadi apa yang terjadi? Itu suara apa? Tanyaku dengan nada bergetar. 

"Dengan cara itulah kami menjaga diri. Di negeri ini, kita sendiri yang harus mengupayakannya. Jika tidak, kita akan mati sia-sia," Andre menjawab dengan menatap nanar.

Aku tak melanjutkan tanya. Hanya terdiam. Jantungku masih berdebar keras.

Disclaimer: ini adalah cerita fiksi. Kesamaan nama hanya kebetulan semata. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun