Lucu ya?
Bagaimana takdir mempertemukan kita, mengikis jarak antara luka dan bahagia. Sampai aku lupa, bagaimana rasa sakit akan sebuah kata tiada. Mengapa garis takdir kita bersinggungan? kenapa aku dan kamu harus dipertemukan dalam garis yang Tuhan ciptakan? Bila pada akhirnya, kau pergi meninggalkan, bahkan tanpa ucap kata perpisahan.
Segalanya tentang kamu kini hanya ada sendu, kamu meninggalkan aku sendiri untuk berpijak pada bumi yang kini hanya ada kelabu. Membiarkanku melawan garis takdir yang tak henti memukul sampai dasar sanubari yang sendu. Membiarkanku meluapkan segalanya pada angin yang hanya dapat melambai pada duka yang tercipta atas kepergianmu. Kamu dengan tega menyatu dengan bumi, meninggalkan jiwa yang tak henti berteriak di atas bumi.
Kamu bilang, mau menghadapi segala kerumpangan dunia. Kamu bilang, akan menghapus lara yang dilukis semesta. Kamu bilang, akan menghalau segala bising hiruk-pikuk dunia yang tak berkesudahan. Ragamu mampu menghapus segala lara, dan kini? Ragamu tiada.
Entah bagaimana kini, aku harus melangkah ke depannya.
Kamu berucap pada janji yang kamu bilang mampu kamu tepati. Saat itu, aku hanya tersenyum mendengar ikrar suci dari labium yang selalu merapalkan sayup ketenangan untuk jiwa yang selalu rindu akan kehangatan. Aku bahagia saat banyak jiwa yang mengucap doa untuk kita berdua. Saat itu, kita saling melempar segala debar bahagia yang siap membucah kapan saja.
Rasanya baru kemarin hangatmu menyelimuti segala lara. Baru kemarin aku merasa bahagia di tengah kejam dunia yang menusuk dada. Rasanya, aku dapat kembali menghadapi segala pelik yang tercipta dengan kamu sebagai pelipur lara.
Kamu yang setiap fajar datang selalu membubuhiku dengan kecup kasih sayang, kita menyambut fajar yang tenang sebelum menghadapi realita kenyataan yang sudah Tuhan gariskan.
Segalanya berputar tentang kita. Dan aku lupa, Tuhan tak akan membiarkan Hamba-Nya selalu bahagia. Tak ada yang bisa menebak takdir apa yang ada di depan mata. Segalanya rahasia.
Fana. Itulah sifat dunia.