Post-Power Syndrome sungguh benar adanya. Kekuasaan rupanya membuat beberapa orang yang pernah berkuasa menjadi ‘haus’. Karena terbiasa ‘meminum’ kuasa maka ketika masanya berakhir, ia akan berusaha tampil untuk mendapatkan perhatian. Hal inilah yang kiranya sedang terjadi pada mantan Presiden Republik Indonesia periode lalu, Susilo Bambang Yudhoyono. Setelah selama sepuluh tahun berkuasa memimpin Republik Indonesia, kini ia berusaha maju ke permukaan mengambil celah di setiap kesempatan yang ada, termasuk menanggapi hal-hal yang kurang ia kuasai.
Kemarin, melalui akun Twitternya @SBYudhoyono yang kini masih menjabat sebagai Ketua Umum Partai Demokrat mengkritik soal Dana Aspirasi yang sepertinya kurang dikuasainya. Ia pun membandingkan pemerintahan masa ini dan pada masanya yang tidak menggunakan Dana Aspirasi karena belum matang terkait dengan governance dan aturan mainnya. (Baca: http://chirpstory.com/li/271733).
Menarik sekali apa yang disampaikan oleh SBY soal ketidaksetujuannya terhadap dana aspirasi. Namun ada beberapa hal yang perlu ia ketahui. Tidak ada itu yang namanya Dana Aspirasi yang ada adalah Usulan Program Pembangunan Daerah Pemilihan (UP2DP) yang artinya anggota DPR RI bisa usulkan program-program pembangunan di daerah pemilihan saat pemilu legislatif lalu kepada pemerintah melalui APBN. Di program ini juga tidak ada dana berbentuk tunai. Mekanisme UP2DP ini masih terus digodok oleh DPR RI melalui Tata Tertib DPR dan Peraturan DPR.
Hal ini juga disampaikan oleh Muhammad Misbakhun melalui akun Twitternya @MMisbakhun yang berkicau “Apa yang Pak @SBYudhoyono ketahui tentang UP2D? Sbg ketum partai apa sudah bertanya pd fraksi di DPR?” Misbakhun juga mengatakan SBY harus berhati-hati dalam memberikan opini. DPR sadar betul bahwa usulan pengelolaan APBN itu memang wilayahnya eksekutif. Dalam UP2DP anggota DPR menerima usulan melalui proposal dari masyarakat di Dapil masing-masing lalu direkap lalu disampaikan kepada pemerintah saat membahas APBN. UP2DP ini tidak dilaksanakan sendiri oleh DPR dan perlu digaris bawahi bahwa tidak ada uang tunai yang diserahkan kepada anggota DPR yang pada akhirnya bisa memberikan kesempatan anggota DPR untuk dijadikan ‘proyek’. Misbakhun sendiri melihat hal ini sebagai pemerataan proses bottom-up yang lebih aspiratif karena pada dasarnya banyak sekali masyarakat yang pilihan politiknya itu berbeda dengan kepala daerah yang berkuasa. Lebih jauh, Misbakhun juga berbicara soal landasan UP2DP yaitu UU MD3 yang sudah diamanatkan dalam sumpah anggota DPR untuk memperjuangkan aspirasi dapil. “Soal pengawasan dan akuntabilitasnya, karena ini melalui mekanisme APBN maka jelas ada kewenangan BPK RI di dalamnya,” lanjut Misbakhun. (Baca: http://www.jpnn.com/index.php?mib=berita.detail&id=309835).
Selain Misbakhun, ada tanggapan menarik juga terkait kicauan dari @SBYudhoyono yang berasal dari @ferrykoto. Di akun Twitternya, @ferrykoto mengicaukan bahwa ia terkejut dengan poin kedua yang dibahas oleh SBY, ia tidak menyangka bahwa pemerintah negara ini belum memiliki database yang baik yang bisa mendeteksi jika ada anggaran ganda. “Saya tidak dapat bayangkan jika 514 RAPBD kota/kab dan 34 provinsi dengan ribuan program masing-masing RAPBD dicek secara manual kemudian disinkronkan & dicek agar tidak tumpang tindih,” kalau benar begitu maka negara ini masih tertinggal jauh, ia juga mengeluhkan pantas saja jika korupsi begitu sulitnya dilacak, mungkin karena kita masih memakai sistem database yang manual. @ferrykoto juga mengungkapkan lebih lanjut bahwa wakil rakyat itu bukan pemerintah. Wakil rakyat itu DPR RI yang telah dipilih oleh rakyat di daerah pilihannya masing-masing dengan tujuan untuk menyuarakan suara mereka yang memilihnya.
@ferrykoto termasuk salah satu orang yang setuju dengan Dana Aspirasi atau UP2DP dengan catatan-catatan seperti yang ia sebutkan dalam kicauannya di Twitter. Namun, kembali lagi, semua itu telah terjawab oleh penjelasan dari Misbakhun.
Jadi opini yang dibuat SBY terkait Dana Aspirasi/UP2DP 20 M itu sudah jelas karena ia tak mengerti substansinya. Jika saja yang terhormat ketua umum Partai Demokrat mau sedikit saja berkoordinasi dengan fraksi-fraksi di DPR, tentunya hal ini tidak akan terjadi. Atau, bisa jadi ia hanya mencari celah kesempatan untuk tampil? Post-Power Syndrome tak pandang bulu, memang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H