Mohon tunggu...
Lisa Dwi Mukti
Lisa Dwi Mukti Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa S1 Pariwisata Universitas Gadjah Mada

Suka healing di wisdom park

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pseudo-Ekowisata: Ketika Realita Tak Sesuai Prinsip Ekowisata

6 Desember 2022   14:18 Diperbarui: 6 Desember 2022   14:52 447
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Taman Nasional Bali Barat (Sumber: CNN Indonesia)

Istilah pseudo-ekowisata atau ekowisata semu, merupakan salah satu bentuk pariwisata yang mengklaim diri mereka sebagai ekowisata sementara belum sesuai dengan prinsip-prinsip ekowisata. Topik ini menjadi salah satu pembahasan dalam Seminar Series Nasional Kepariwisataan ke #11 yang diselenggarakan oleh Prodi S3 Kajian Pariwisata, Sekolah Pascasarjana UGM dengan tema 'Dinamika Ekowisata Tri ning Tri di Bali'. 

Seminar yang diselenggarakan secara daring pada bulan Maret tahun 2021 ini menghadirkan salah satu pembicara yaitu Dr. I Nyoman Sukma Arida, S.Si, M.Si dari Fakultas Pariwisata, Universitas Udayana. Beliau menyoroti adanya fenomena pseudo-ekowisata di Bali, dimana  kegiatan pariwisatanya nampak seperti ekowisata padahal sebenarnya peran masyarakat lokal di sekitar destinasi wisata tersebut termarjinalkan. Memang biasanya aspek terpenting yang tidak dipenuhi oleh pseudo-ekowisata ini adalah mengenai pemberdayaan serta kesejahteraan yang berawal dari kurangnya pelibatan masyarakat sekitar. 

Fenomena ini di Bali terutama didukung oleh praktik ekowisatanya yang terbagi dalam tiga tipe yaitu tipe investor, Pemerintah, serta masyarakat. Tipe investor dan pemerintah merupakan yang paling sering menjadi jenis ekowisata 'pseudo'.  Hal ini disebabkan kedua tipe tersebut pola pelibatan atau partisipasi masyarakatnya cenderung pada tingkat yang sedang hingga rendah (Arida, 2014). Selain itu, karakter wisatawan mereka kebanyakan adalah tipe wisatawan umum atau populer dengan kegiatan wisata yang dilakukan adalah aktivitas ringan seperti sightseeing maupun mencoba atraksi wisata seperti naik mobil atau wisata sport di alam. 

Contoh destinasi dengan tipe investor diantaranya Elephant Safari Park, Bali Zoo Park, Bali Safari and Marine Park, serta Banjar Taro Kaja. Sedangkan untuk tipe Pemerintah misalnya Taman Nasional Bali Barat, Kebun Raya Bedugul, Desa Baha, Desa Penglipuran, serta Bayung Gede. 

Ekowisata dengan tipe investor biasanya perencanaan dan pengembangannya dilakukan oleh investor sebagai pemilik modal, sehingga orientasinya lebih cenderung kepada kepentingan bisnis yaitu peningkatan profit atau keuntungan. Berdasarkan penelitian dari I Nyoman Sukma Arida (2014), ekowisata dengan tipe tersebut di Bali dicirikan oleh peran dominan dalam pengelolaan oleh pemilik modal dari luar kawasan bahkan dari luar negeri. Sedangkan untuk tipe Pemerintah dicirikan oleh intervensi yang besar oleh Pemerintah dalam pengelolaan ekowisata.

Saat ini jenis yang paling banyak dikembangkan adalah bentuk ekowisata di desa (desa wisata). Tak jarang pula konsep serta atraksi dari setiap desa wisata yang mereka kembangkan hampir mirip satu sama lain. Sifatnya pun cenderung dominan dan top-down atau instruksional, sehingga ketika peran Pemerintahnya mulai berkurang biasanya desa wisata tersebut akan menjadi terbengkalai. Hal ini tentu tidak sesuai dengan prinsip keberlanjutan ekonomi dalam pariwisata berkelanjutan.

Konklusi

Fenomena pseudo-ekowisata merupakan salah satu bentuk ketidaksiapan dalam mengembangkan ekowisata di Indonesia. Ekowisata dan Pseudo-ekowisata memiliki pengertian yang hampir sama akan tetapi tujuan dari keduanya sangat berbeda. Hal tersebut dapat menimbulkan kerancuan bagi wisatawan, terutama bagi mereka yang kurang mengikuti mengenai isu lingkungan. Pseudo-ekowisata pada praktiknya lebih banyak merugikan masyarakat lokal. Pada tingkat yang lebih serius dapat pula menimbulkan konflik antara para pemangku kepentingan (stakeholders) ekowisata. 

Selain itu, konsep yang tidak sesuai dengan prinsip ekowisata tersebut juga dapat mengancam kelestarian dan keseimbangan lingkungan baik itu alam, budaya, maupun sosial. Praktik pseudo-ekowisata sebenarnya dapat dijumpai tidak hanya di Bali, namun juga pada kebanyakan destinasi ekowisata di Indonesia. 

Keadaan tersebut terlebih lagi didukung dengan kurangnya pemahaman sumber daya manusia akan konsep ekowisata sebenarnya, praktik pariwisata yang masih cenderung pada orientasi profit, biaya operasional ekowisata yang cukup mahal, sarana dan prasarana yang kurang memadai, serta termasuk pula belum adanya lembaga atau pihak resmi di Indonesia yang dapat melakukan sertifikasi khusus untuk ekowisata. 

Misalnya pada desa wisata, maka sertifikasinya akan digabung dalam Sertidewi atau Sertifikasi Desa Wisata Berkelanjutan. Pada akhirnya hal tersebut menyebabkan banyak destinasi yang melabeli diri mereka dengan ekowisata dan menggunakan teknik promosi greenwashing yang akan menarik wisatawan serta di sisi lain menimbulkan kerancuan makna ekowisata yang sebenarnya. 

Sehingga dapat dikatakan bahwa saat ini Indonesia belum sepenuhnya siap untuk mengembangkan konsep pariwisata 'ekowisata'. Akan tetapi, tidak menutup kemungkinan bahwa di masa depan kondisi ini akan menjadi lebih baik terutama didukung oleh keanekaragaman hayati di indonesia dan juga apabila diiringi dengan kolaborasi yang baik antar semua pihak.

Referensi:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun