Interview, rekrutmen, psikotes, dan para pelamar dari berbagai latar belakang pendidikan sudah menjadi aktivitas rutin setiap hari. Proses panjang ini pastinya sangat melelahkan bagi semua pencari kerja. Mau tidak mau, sesulit apapun tes yang dijalani, walau berkali-kali gagal dalam tahap seleksi, para pelamar seolah tidak putus-putusnya datang. Coba lagi dan lagi. Mungkin itu prinsip mereka.
Dari perspektif kami sebagai HRD, proses ini juga amat melelahkan. Banyak yang mengirimkan lamaran, namun banyak juga CV yang akhirnya hanya menjadi tumpukan sampah. Terabaikan, karena tidak memenuhi kualifikasi dasar yang ditetapkan. Beberapa CV yang masuk memberikan harapan, terlihat “menjual” kemampuan dan keterampilan yang dimiliki. Pengalaman kerja yang konsisten disertai lama bekerja yang masuk akal mendukung keyakinan kami untuk memproses kandidat ini. Sayangnya, seiring berjalannya proses seleksi, akhirnya kandidat ini pun harus digugurkan di tengah jalan karena berbagai alasan, Tidak lolos psikotes dan interview, tidak memenuhi syarat sehat bekerja, sampairemunerasi yang tidak cocok dengan permintaan pelamar.
Akhirnya kami pun mencoba melirik anak-anak muda lulusan SMK yang melamar di tempat kami. Beberapa senior mekanik kami juga hanya berbekal ijazah STM, namun bisa sukses di sini. Kerjaan bagus, loyalitas tinggi, dan bisa diandalkan jadi pemimpin. Maklumlah, bisnis penjualan spareparts dan servis mesin diesel sekarang ini semakin laris. Perusahaan kami butuh tambahan SDM berkualitas, di samping beberapa karyawan terbaik kami telah terbajak oleh kompetitor. Apa boleh buat. Bisnis harus terus berjalan. Servis tidak henti-hentinya menerima order. Tenaga-tenaga muda dibutuhkan. Beberapa lulusan SMK terutama jurusan mekanik otomotif, mekanik pemeliharaan kendaraan ringan sampai jurusan pelayaran terus kami jaring.
Merekrut dan menyeleksi calon karyawan semakin sulit belakangan ini. Kenyataannya, tamatan SMK sekarang ini benar-benar belum siap kerja. Setidaknya itulah kesimpulan kami sebagai tim seleksi yang telah berhadapan dengan ratusan pelamar SMK Fresh Graduated. Mata pelajaran yang tercantum pada daftar nilai di ijazah bisa jadi hanya sebatas teori kejuruan. Beberapa alumni SMK yang kami wawancarai mengaku bahwa di sekolahnya peralatan untuk praktek lapangan sangat terbatas. Untuk jurusan mekanik otomotif misalnya, mesin yang disediakan sekolah untuk praktek hanya mesin motor bensin, padahal kami berharap mereka setidaknya mengenal sedikitlah bagaimana rupa mesin motor diesel itu.
Belum lagi saat ditanyakan mengenai teori kerja mesin, dasar-dasar pengukuran, proses tune up mesin, dll. Para tamatan SMK ini seolah kesulitan mengingat pelajaran yang mereka terima dulu di bangku sekolah. Padahal harapan kami, kualitas para tamatan SMK ini bukan lagi sebatas mengingat teori, tetapi benar-benar sudah memahami dan mengenal komponen, peralatan, serta berhadapan langsung dengan unit mesin yang mereka pelajari teorinya walau hanya miniatur mesinnya saja.
Biasanya pada transkrip nilai siswa SMK juga tercatat berbagai standar kompetensi utama beserta jumlah jam belajar yang dilaluinya. Namun, pertanyaannya adalah berapa sebenarnya proporsi jumlah jam belajar teori dan praktek lapangan? Berapa perbandingan ideal yang cukup membekali siswa untuk menghadapi dunia kerja sesungguhnya? Ada apa gerangan hingga sekolah-sekolah ini tidak menyediakan sarana belajar yang memadai untuk siswanya? Mengapa pula seolah-olah terjadi penurunan kualitas tamatan SMK dulu dengan SMK sekarang? Bagaimana sekolah kejuruan menjawab tantangan dunia kerja akan SDM siap pakai yang dibutuhkan perusahaan?
Kami sebagai praktisi di dunia kerja berharap banyak, karena perusahaan sangat membutuhkan SDM muda berkualitas. Tidak bisa dipungkiri hal ini berkaitan juga dengan kepentingan perusahaan. Melonjaknya upah minimum propinsi DKI memaksa kami menekan cost seminimal mungkin.Tamatan SMK inilah harapan kami. Praktek kerja di lapangan harus diperbanyak, didukung oleh sarana dan prasarana yang memadai untuk siswa, Pendidikan nasional harus diwacanakan sesuai dengan kebutuhan tenaga kerja di dunia usaha. Bila perlu, kurikulum yang ada sebaiknya direview setiap tahun, sudahkah mencapai sasaran? Berhasilkah kurikulum ini menghantarkan anak didiknya menemukan lapangan pekerjaan yang sesuai dengan bidangnya?
Kami juga melihat bahwa peran aktif sekolah sangat diperlukan. Sekolah bisa saja bekerja sama dengan pihak perusahaan dalam hal pengadaan atau pembelian mesin-mesin bekas layak pakai. Selain itu sekolah juga bisa mengikutsertakan siswa dalam berbagai workshop (bengkel) di perusahaan rekanan. Tambahan kegiatan lain di luar PKL (Praktek Kerja Lapangan) wajib akan semakin membuka wawasan siswa akan dunia kerja. Setidaknya pada saat lulus sekolah nanti, suatu saat, lulusan SMK justru menjadi primadona dunia kerja dibanding lulusan Diploma atau Sarjana. Siapa tahu saja..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H