Mohon tunggu...
Lisa Hendrawan
Lisa Hendrawan Mohon Tunggu... wiraswasta -

Never stop dreaming

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Bulan Terbenam di Binongko - Part 2

23 September 2016   23:02 Diperbarui: 23 September 2016   23:17 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Wisata. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pelayaran dari Wangi-Wangi ke Binongko membutuhkan waktu sekitar 5 jam.  Sedangkan ombak di perairan dari Tomia ke Binongko bagi saya cukup besar, tapi para penumpang mengatakan “Ini teduh, kalau bulan Desember dan Januari itu besar bisa mencapai 3 meter”.  Kami tiba di pelabuhan Bante, pulau Binongko pada pukul 15:40 dengan perut kosong. Di seputar pelabuhan Bante ini adalah spot snorkeling, banyak penyu berkeliaran di sini.  Para penumpang sudah melenggang satu per satu, sedangkan penjemput kami tidak kelihatan batang hidungnya.  Saya segera menelpon pak Amal yang mengatur penjemputan.  Para penumpang pada bertanya-tanya kami sebenarnya mau kemana.  Lha … kami juga tidak tahu, karena akan dijemput dan diatur oleh penjemput.  Setelah menunggu sekitar 30 menit dan pelabuhan sepi barulah 2 pemuda dengan dua sepeda motor muncul, ini pasti penjemput kami.  Benar saja Ririn dan Gazali. 

Kami dibawa ke kelurahan Popalia yang jaraknya sekitar 22 km dari pelabuhan Bante.  Kami disambut oleh Bapak Saviun yang ternyata bapaknya Ririn, dan istrinya yang bernama ibu Yani.  Di rumah merekalah kami menginap.  Rumahnya sudah terbuat dari batu bata tidak lagi seperti rumah-rumah asli yang berkaki tetapi tidak dapat jalan – alias rumah panggung.  Listrik baru menyala pukul 18:00 hingga 06:00. 

Keramahan dan keakraban penduduk Binongko sudah terlihat sejak kami naik kapal.  Kemana pun kami pergi sepanjang jalan Ririn dan Gazali selalu menyapa siapa saja yang ditemui.  Saya pun ikut melambaikan tangan menyapa mereka.  Setelah makan malam ketika kami duduk-duduk di teras pak Lurah ikutan nimbrung berbincang-bincang.  Kakek La Oda Ibrahim yang rumahnya di belakang rumah Bp Saviun juga datang berkunjung dan bercerita tentang jaman pendudukan Jepang.  Katanya pada jaman itu, Jepang memperlakukan penduduk Binongko dengan sangat baik mereka hanya mengajarkan berbaris dan menyanyikan lagu-lagu kebangsaan Jepang, lalu kakek Ibrahim menyanyikannya.

Sekitar pukul 10 malam ketika kami sedang duduk di bale-bale sebrang rumah, bu Yani mengatakan bahwa sebentar lagi bulan tenggelam.

“Bulan terbenam?”

"Iya", jawabnya santai. 

"Tunggu bu, bulan terbenam? Seperti matahari terbenam?"

“Iya, iyaaaa ...  bisa liat kok di belakang rumah”.

Penasaran dengan bulan yang terbenam ini kami pun berjalan ke benteng yang ada di belakang rumah.  Sebenarnya ini bukan fenomena alam yang aneh.  Saya bahwa planet-planet ini berputar, tapi sebagai orang kota saya tidak pernah melihat bulan yang bergeser mendekati cakrawala hingga terbenam.  Ternyata kami salah perhitungan.  Bulan masih terlalu tinggi. Angin cukup kencang dan kondisi saya kurang sehat.  Ceritanya masuk angin karena kurang tidur, tidak makan, dan kena angin di kapal.  Kami kembali ke rumah dan melepaskan penat.

Masih ada hari esok untuk melihat bulan terbenam.

Bersambung ke Part 3

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun