Mohon tunggu...
Lisa Hendrawan
Lisa Hendrawan Mohon Tunggu... wiraswasta -

Never stop dreaming

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Wakatobi Mendunia tapi Miskin Informasi - Part 1

23 September 2016   21:36 Diperbarui: 23 September 2016   21:41 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Wisata. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sudah banyak orang yang tahu tentang Wakatobi yang identik dengan diving atau menyelam.  Tapi masih juga ada yang tanya kepada saya :

"Wakatobi?  Ke Jepang ya?"  

"Wakatobi? Pernah denger tapi dimana itu?"

"Mana itu Wakatobi?"

Saya sendiri sebenarnya sudah putus asa mencari informasi tentang Wakatobi.  Memang banyak di internet yang memberikan informasi tentang Wakatobi tetapi hanya globalnya saja dan tidak mendetail.  Saya mencoba kontak beberapa travel agent yang menjual paket ke Wakatobi tetapi sudah 4 bulan tidak ada jawabannya hingga saya berangkat bahkan sampai hari ini tidak ada satu pun yang menjawab.  Akhirnya saya dapat informasi dari Pak Amal salah seorang staff dari Wakatobi Pariwisata.  Terima kasih pak Amal.  Berkat beliau kami dapat memperhitungkan perkiraan biaya dan bagaimana lompat dari satu pulau ke pulau lainnya.  Hanya saja yang tidak kami perhitungkan adalah adanya liburan Idul Adha yang nyaris membuat kami terlantar di sebuah pulau nun jauh disana.

Dalam kesempatan ini saya ingin memberikan informasi yang dapat saya berikan sedikit lebih lengkap dari yang sudah ada, mudah-mudahan bisa menjadi panduan bagi mereka yang ingin bepergian kesana.

Jadi apa sih Wakatobi?  Wakatobi singkatan dari nama 4 pulau besar yaitu Wangi-Wangi, Kaledupa, Tomia dan Binongko.  Lokasinya berada dalam wilayah Sulawesi Tenggara.  Rasanya salah kalau mengatakan ke Wakatobi tetapi tidak lengkap ke semua pulau tersebut.  Maka kami pun membuat rute ke semua pulau yang ada plus satu pulau lagi yaitu Kapota, tapi apa daya karena adanya liburan Idul Adha yang membuat semua pelayaran tidak jalan di H-1 sehingga kami pun harus merelakan pulau Kaledupa dan Hoga dihapus dari daftar.

Saya bepergian dengan seorang teman dimulai tanggal 7 September 2016.  Karena hanya ada satu kali flight dan hanya satu penerbangan yang melayani rute Jakarta - Wangi-Wangi maka kami pun di tengah malam buta pukul 02:30 pagi sudah menuju ke bandara Soeta.  Rute saat ini hanya dilayani oleh Wing Air dari Jakarta pada pukul 04:00 stop over di Makasar dan Kendari dan akhirnya sampailah di Wangi-Wangi pada pukul 10:20. Harga tiket pulang pergi antara 2 - 3 juta rupiah.

Hari pertama 7 September 2016 :

Tiba di Bandara Matahora kami dijemput oleh sopir dengan mobil Avanza.  Hari ini kami mengunjungi Tee Kosapi, gua bukan, sumber mata air juga bukan, entah apa sebutannya.  Yang jelas Tee adalah air dalam bahasa setempat dan Kosapi adalah nama orang yang menemukan tempat ini.  Lokasinya di pinggir jalan besar.  Mudah saja mencari tempat ini karena semua orang tahu dimana.  Di ujung pertigaan juga tertera Jalan Tee Kosapi dan di ujung tersebut turun tangga sedikit dan kami disuguhi air yang berwarna hijau tosca bening sekali hingga dasarnya terlihat.  Tee Kosapi berisi air payau yang tidak pernah kering.  Tempat ini sebagai tempat berenang anak-anak, mencuci pakaian bahkan mandi dan keramas.  Bungkus sabun cuci, dll dibuang begitu saja ke dalam kolam meski pun telah tersedia tempat sampah.  Setelah itu kami berkunjung ke Topa Kontamale yang tidak jauh dari Tee Kosapi, topa airnya gua dalam bahasa setempat, juga berisi air payau yang tidak pernah kering.  Topa Kontamale juga adalah tempat berenang, mencuci pakaian, mandi dan keramas.  Tak beda dengan Topa Mandati.  

Setelah itu kami makan siang di warung Aiqzi.  Udang goreng tepung dan cah kangkungnya enak.  Bagi yang suka rasa kuah asam pedas mirip tom yam boleh mencoba masakan ikan parende.  Lokasi warung ini di tengah kota dekat dengan hotel Wisata Beach atau Hotel Wakatobi dan pelabuhan Waha Onemai.

Setelah itu kami menuju ke Benteng Liya Togo.  Tiba di tempat ini kami benar-benar bingung tidak tahu apa yang mau dilihat.  Ada masjid Mubarok, masjid tua yang bersejarah tentu saja.  Masjid ini sebenarnya bernama Masjid Agung Keraton Liya Togo.  Masjid ini peninggalan dari Kerajaan Buton, dikelilingi oleh batu-batu karang.  Di sebelah kiri depan masjid ada kuburan yang katanya adalah kuburan dari raja dengan batas batu-batu karang juga dan di sepanjang batu karang terdapat pohon-pohon kamboja yang besar-besar sedang berbunga. Di sebelah makam terdapat benteng, katanya ada meriam di dalam benteng.  Ternyata ketika kami naik ke benteng, meriamnya sudah tidak ada hanya tersisa satu pohon beringin tua yang mengangguk-angguk sedih.  Kemana meriamnya?  Ada yang bilang hilang, ada yang bilang sudah dijual.  Tempat ini seharusnya bisa bercerita banyak sayang sekali sopir yang menemani kami tidak tahu apa pun tentang Benteng Liya Togo.  Dia hanya tahu bahwa penduduk di situ adalah keturunan raja Buton.  Saya sarankan bagi Anda yang ingin berkunjung ke tempat ini, bawalah pemandu wisata.

Dari sini kami menyempatkan diri ke pantai Cemara.  Tidak ada yang dapat diunggulkan di tempat ini.  Lalu kami beralih ke puncak Toliamba, menikmati matahari terbenam sambil minum kopi dan makan pisang goreng yang dapat dibeli dari satu-satunya pedagang di situ.

Malam hari ini kami menginap di Patuno Resort.  Tempat ini jauh dari mana-mana.  Tidak punya tetangga.  Dan dari jalan besar ke dalam resort tidak terlalu dekat, apalagi ke cottage-cottagenya.  Rupanya tidak terlalu ramai dengan tamu, kami yang memesan kamar standard di upgrade ke tipe deluxe.  Kamarnya cukup luas dengan kamar mandi yang luas juga dan balkon menghadap ke laut, yang ketika kami tiba dalam keadaan gelap gulita kami tidak tahu bahwa teras menghadap ke laut.  Kamarnya menggunakan lampu pijar begitu juga dengan lampu di jalanannya, terus terang saya tidak suka dengan suasana remang-remang begitu untuk tinggal di sebuah hotel atau cottage.  Susah mencari barang-barang dalam ransel atau koper.  Kopi tidak tersedia, hanya ada teh dan gula, shampoo dan sabun cair ada tetapi tidak bisa keluar ketika dipencet.  Telepon kamar mati dan suasana yang remang-remang begitu membuat kami harus bolak balik dari kamar ke resepsionis bila perlu sesuatu bahkan untuk mencari tombol lampu.  Kami mendapat kamar nomer 9, anak tangga untuk masuk ke dalam cottage jaraknya terlalu jauh.  Kamar ini sangat tidak cocok untuk orang yang sudah berumur, bermasalah dengan lutut (kaki), dan anak-anak.  Semut juga riang gembira merayap di mana-mana.

Setelah mandi dan berbenah kami tertidur lelap karena semalaman belum tidur.  Besok harus bangun pukul 7 dan berangkat ke pulau Binongko.  Pulau terjauh di Wakatobi.

Bersambung ke Part 2

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun