Mohon tunggu...
Lisa Hendrawan
Lisa Hendrawan Mohon Tunggu... wiraswasta -

Never stop dreaming

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

30 Hari Backpackeran dari Malaysia Hingga Vietnam – Bagian VI

14 April 2014   20:32 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:41 290
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam perjalanan ke Phong Nga Ke Bang dari Hue kami berhenti di La Vang Holy Land Kingdom. Sebuah tempat ziarah bagi umat beragama Katolik. Pemeluk agama Katolik di seluruh Vietnam berjumlah 35%, merupakan yang terbanyak, diikuti dengan pemeluk agama Budha sebanyak 28%, sisanya pemeluk agama-agama lainnya termasuk Islam dan Hindu. Pada tahun 1798 kaisar Canh Thinh takut bila banyak rakyatnya yang memeluk agama Katolik, oleh karena itu agama ini dilarang dan disebarkan ajaran anti Katolik hingga ke pembantaian. Banyak pemeluknya yang kemudian melarikan diri ke hutan di La Vang dan banyak yang sakit parah. Pada suatu malam ketika para pengungsi ini berdoa Rosario di bawah sebuah pohon seperti biasanya, tiba-tiba tampaklah seorang perempuan di salah satu cabang pohon tersebut mengenakan pakaian tradisional Vietnam, menggendong seorang anak dan didampingi oleh malaikat di kiri kanannya. Mereka menginterpretasikan penampakan ini adalah Bunda Maria dan Kanak-Kanak Yesus yang hadir untuk menguatkan mereka.

Tahun 1802 banyak pengikut Katolik yang tadinya bersembunyi di La Vang kembali ke kotanya dan menyampaikan berita tersebut. Tahun 1820 dibangunlah sebuah gereja di situ. Antara tahun 1830 – 1885 gejolak anti Katolik berlangsung lagi dan disertai pembantaian pengikutnya termasuk pengrusakan gereja. Tahun 1886 dilakukan renovasi gereja ini dan sejak itu tempat ini ramai sebagai tempat ziarah umat beragama Katolik. Terakhir gereja ini kena bom dari tentara Amerika pada tahun 1979 ketika perang Vietnam berlangsung dan hanya menyisakan bagian depannya saja serta jam tembok besar di atas menara yang masih terlihat.

Sebelum tiba di Phong Nga Ke Bang, kami berhenti makan siang telebih dahulu di sebuah restoran dengan menu yang telah diset, per meja berisi 8 orang. Sampai Phong Nga Ke Bang kami ganti naik perahu motor menyusuri sungai selama 45 menit. Tonjolan bukit-bukit karst menjulang di sisi kanan dan terdapat rumah-rumah penduduk serta gereja Katolik yang berwarna kuning terang membuat daerah ini hidup.

Sampai di dermaga ganti lagi dengan perahu motor yang lebih kecil yang hampir semuanya dikemudikan oleh perempuan. Ketika masuk ke dalam gua mesin motor dimatikan, atap perahu dibuka dan dua orang perempuan mendayung satu di depan, satu dei belakang. Stalaktit dan stalakmit di dalam gua yang diterangi lampu-lampu ditengahi kecipak dayung menampar air, digantikan oleh bunyi klik-klik-klik … kamera yang tak henti-hentinya digunakan oleh para wisatawan.

Diperkirakan karst di Phong Nga Ke Bang ini terjadi selama 400 juta tahun yang lalu dan termasuk dalam salah satu Unesco World Heritage di Asia Tenggara selain yang ada di Filipina, Indonesia, Thailand dan Malaysia. Turun dari perahu motor para wisatawan berjalan kaki melihat stalaktit dan stalakmit dari dekat. Gua ini mengingatkan saya akan tiga gua wisata di Indonesia yang pernah saya intip yaitu gua Gong di Pacitan, yang karena sering dipukul-pukul menyebabkan satu stalaktitnya patah, gua Maharani di Lamongan yang lokasinya di bawah pasar dan gua Pangkep di Sulawesi Selatan yang mempunyai cap telapak tangan dan binatang dari jaman purba. Sama-sama mempunyai keindahan, tetapi mengapa Phong Nga Ke Bang lebih bisa menyedot turis mancanegara, sedangkan yang di Indonesia hanya menyedot wisatawan sekitar daerahnya saja. Apakah promosi yang kurang digalakkan? Sarana transportasi yang tidak nyaman? Akomodasi yang tidak memadai? Atau kurangnya minat bangsa kita akan kekayaan alam yang dipunyainya. Saya yakin Indonesia mempunyai banyak gua yang lebih hebat dan bisa menyedot wisatawan baik lokal mau pun mancanegara. Hari terakhir di Hue saya pergunakan untuk berkunjung ke Khai Dinh Tomb, Tu Duc Tomb, Thien Mu dan Citadel sebelum berangkat ke Ha Noi pada sore harinya. Tu Duc Tomb adalah salah satu yang menarik keingintahuan saya sebelum memulai perjalanan ke Asean, karena sejarah kekaisaran Tu Duc yang penuh dengan konflik dan pemberontakan di dalam keluarganya. Ternyata The Tomb of Tu Duc yang luas ini, tinggal sisa-sisa bangunan yang tersebar di berbagai tempat.

Tu Duc adalah gelar yang dipakai oleh Kaisar Nguyen Phuc Hong Nham ketika naik tahta dan merupakan kaisar ke IV. Beliaulah yang menutup Vietnam dari semua pengaruh bangsa asing serta tidak menghendaki modernisasi pada masa pemerintahannya, termasuk memusuhi mereka yang beragama Katolik. Hal ini menyebabkan semakin banyaknya pemberontokan-pemberontakan, dan dengan masuknya kekuatan Perancis menyebabkan Vietnam menjadi salah satu negara jajahannya. Tu Duc-lah yang membangun kompleks pemakaman untuk raja dan keluarganya selama tiga tahun (1864-1867) luasnya 12 hektar dan dikelilingi tembok. Sambil menikmati semilir angin di halaman, duduk di gazebo yang ada, saya mencoba berandai-andai dengan membayangkan keindahan tempat ini pada masa lampau. Adanya danau dan parit selebar lima meter membelah di tengah lokasi dengan pohon-pohon besar sebagai peneduh membuat tempat ini sangat asri. Permaisuri dan raja serta dayang-dayang dengan pakaian kebesaran mereka berjalan-jalan keliling … ah … lebih baik saya berjalan keliling dan mencoba menikmati apa yang masih tersisa. Sisa dari kejayaan dan keindahan hasil karya Dinasti Nguyen. Sayang sekali pemakaman yang luas dan megah ini tidak dirawat dengan baik, mungkin disebabkan karena Vietnam disibukkan oleh perang yang berkepanjangan dan baru usai 20an tahun yang lalu. Berbeda dengan Tomb of Tu Duc, Tomb of Khai Dinh lebih moderen, terletak di sebuah bukit yang terjal. Makam yang dibangun tahun 1920 baru selesai 1931 ini arsitekturnya adalah hasil gabungan Barat dan Timur. Dari luar (jalan raya) tidak terlihat kemegahannya. Setelah membayar tiket masuk sebesar 80.000 VND, saya naik tangga yang menjulang. Dengan terengah-engah saya menikmati pemandangan dari teras atas ke bukit-bukit di seberang yang tertutup kabut …

Kaisar Khai Dinh adalah kaisar ke XII dalam Dinasti Nguyen, masa pemerintahannya hanya singkat saja dari tahun 1916 – 1925. Karena bersekutu dengan pihak penjajah Perancis maka Kaisar Khai Dinh dibebaskan dari pengucilan (ayahnya adalah kaisar yang dikucilkan oleh Perancis) tetapi mengakibatkan dia tidak disukai rakyatnya. Kebencian rakyat semakin memuncak ketika tahun 1923 dia meminta Perancis menaikkan pajak yang uangnya digunakan untuk membangun makamnya.

Khai Dinh Tomb boleh dibilang masih utuh bagian luarnya hanya lekang oleh waktu tanpa perawatan yang memadai. Tetapi bagian dalamnya terkesan mewah, terlebih lagi makamnya yang terbuat dari marmer, dan patung Kaisar Khai Dinh duduk di atasnya berwarna keemasan. Semakin siang pengunjung semakin berjubel dan berdesakan di makam yang sempit ini, saya segera turun dan melanjutkan perjalanan ke Thien Mu pagoda. Chua Thien Mu adalah pagoda yang bersejarah dan merupakan ikon kota Hue, dibangun tahun 1601 oleh Gubernur Nguyen Hoang (gubernur Hue pada masa itu), dari Dinasti Nguyen. Pagoda yang sederhana ini lambat laun direstorasi dan dikembangkan. Tahun 1710 dipasanglah genta raksasa seberat lebih dari 3000 kg, katanya bunyi genta ini dapat terdengar hingga jarak 10 km. Selain itu di salah satu pagoda kecilnya ada seekor kura-kura terbuat dari marmer sebagai simbol dari panjang usia. Lokasinya di pinggir jalan besar menghadap ke Perfume River. Dengan dermaga bagi para wisatawan yang datang melalui sungai dengan kapal-kapal motor.

Pagoda ini adalah yang tertinggi di Vietnam (7 tingkat) dan menjadi terkenal di seluruh dunia karena seorang biksu bernama Thich Quang Duc datang dengan mengendarai mobil Austin berwarna biru, membakar dirinya pada tanggal 11 Juni 1963 sebagai protes atas kekerasan dan diskriminasi penduduk yang beragama Budha pada masa pemerintahan yang dipimpin oleh Ngo Dinh Diem. Gubernur ini lebih pro kepada Katolik, dan terjadilah diskriminasi pada pemeluk agama Budha untuk lapangan pekerjaan di sektor angkatan bersenjata, pegawai pemerintah dan pendistribusian bantuan dari pemerintah. Di pagoda ini dipajang mobil Austin warna biru tersebut, tapi karena berjubelnya para wisatawan saya tidak bisa mendekatinya apalagi memotretnya. Saya duduk sejenak di seberang jalan mengamati lalu lalang para wisatawan yang tak ada habisnya sambil mencoba merenungkan mengapa agama dicampur adukkan dengan pemerintahan. Agama yang seharusnya adalah individu dari masing-masing orang yang merupakan hubungan antar pribadi dengan Sang Khalik. Bukanlah urusan orang lain untuk ikut campur, apalagi pemerintah sehingga perlu diskriminasi, penindasan dan pembantaian. Rupanya Vietnam belajar dari kesalahan ini. Teringat akan ucapan pemandu wisata waktu di Ho Chi Minh yang mengatakan bahwa kini pemerintah Vietnam tidak ikut campur soal agama, karena itu milik individu penduduknya, tetapi masyarakat jangan ikut campur urusan pemerintahan. Masing-masing sudah punya urusan dan tugas sendiri-sendiri, lakukanlah yang terbaik.

Perjalanan saya lanjutkan ke Citadel malam pertama hanya Nampak gelap gulita. Citadel adalah benteng dan sekaligus merupakan istana Raja Gia Long, dikelilingi oleh tembok bujur sangkar yang tebalnya 2 meter dan tinggi sepanjang 2 km x 2 km, sekelilingnya dibangun parit sepanjang 10 km. Tiket masuknya cukup mahal yaitu sebesar 105.000 VND, tidak heran karena biaya untuk restorasinya pasti menghabiskan cukup banyak dana.

Citadel terdapat di kota Hue yang pernah menjadi ibu kota Vietnam selama 157 tahun pada tahun 1802 – 1945. Citadel merupakan kediaman keluarga kekaisaran Nguyen dan di dalamnya terdapat Purple Forbidden City yang hanya boleh dimasuki dengan ijin dari Raja. Tempat kediaman raja dan keluarganya ini dikelilingi oleh tembok tebal yang tinggal reruntuhan saja. Dibutuhkan kaki yang kuat untuk keliling di dalam Citadel karena luasnya area. Taman yang luas di tengah menunggu tangan-tangan terampil untuk mengisinya dengan bunga-bunga agar keindahannya muncul kembali. Purple Forbidden City hanya menyisakan ratusan kamar-kamar melompong dan rusak. Angin topan dan rayap ikut ambil bagian dalam kerusakan di Citadel termasuk lubang-lubang peluru dan bomb akibat perang antara Vietnam Utara dan Selatan karena Hue dekat perbatasan Utara dan Selatan. Tank dan kapal udara ex Rusia ikut di pajang di luar Citadel sebagai bukti kekejaman perang.

Di bawah pohon yang rindang di ujung salah satu tembok di luar Citadel saya berhenti sejenak memandang kembali tembok besar yang didalamnya hanyalah sisa-sisa secuil sejarah, sambil berharap peace in the world, no more wars. Bersambung

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun