Yuliati juga menegaskan keprihatinannya karena stigma di tengah masyarakat terhadap pasien kusta dan OYPMK masih saja ada.
"Meskipun jika dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, perilaku stigma sudah mulai berubah ke arah yang lebih baik. Dulu, stigma dan diskriminasi sampai-sampai membuat para penderita kusta dibuatkan rumah-rumah khusus di sisi belakang rumah. Di Sulawesi Selatan, hingga kini masih terjadi dimana kadang-kadang penyakit kusta ini dijadikan sebagai sumpah untuk membenarkan suatu pernyataan kepada orang lain," urai Yuliati.
"Contohnya, sumpah yang mengatakan saya siap menjadi orang berpenyakit kusta jika saya melakukan hal-hal tertentu yang dituduhkan. Menjadikan kusta sebagai sumpah membuat kami merasa sakit hati," tuturnya.
Yuliati memaklumi, stigma dan diskriminasi itu terjadi karena ketidaktahuan masyarakat tentang kusta. "Langkah-langkah menghapus hal itu, dengan melakukan penyadaran di masyarakat," ujarnya.
Akhirnya, tidak ada alasan bagi kita untuk abai terhadap segala upaya mengeliminasi kusta. Penyakit ini bukan kutukan, bukan pula nista. Menjadi lebih berarti bagi mereka para penderita agar kita tidak menstigmatisasi dengan segala sesuatu yang buruk, apalagi mendiskriminasi. Mari berempati. Apalagi saat memperingati Hari Kusta Sedunia 2022, Indonesia mengusung tema "Hapuskan Stigma dan Diskriminasi Kusta".
ooOoo
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H