Mohon tunggu...
Lisdiana Sari
Lisdiana Sari Mohon Tunggu... Administrasi - Kompasianer

Terus Belajar.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Wisata Teluk Jakarta Sambil Mengulik Sejarah

27 Oktober 2015   23:33 Diperbarui: 27 Oktober 2015   23:40 404
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Informasi di papan putih itu menjelaskan semuanya. Tulisannya berbunyi: BARAK KARANTINA HAJI. Ya, di Pulau Onrust bekas karantina tersebut masih tersisa reruntuhannya. Dibangun pada 1911, jumlah baraknya mencapai 35 unit, dan tiap barak mampu menampung 100 jamaah. Artinya, total jamaah haji yang dapat dikarantina mencapau 3.500 jamaah.

Kenapa karantina haji ada di pulau? Yaiyalah, lha wong dulu itu pergi hajinya naik kapal laut. Lama waktunya, bisa mencapai enam bulan. Bandingkan dengan sekarang ini, yang menggunakan pesawat terbang, dan lama beribadah haji yang maksimal hanya 40 hari saja.

Pulau Onrust hanya berjarak tempuh sekitar 30 menit menggunakan boat dari Dermaga Marina di Taman Impian Jaya Ancol (TIJA). Pulau ini termasuk dalam gugusan pulau yang berada di wilayah Kepulauan Seribu, di pesisir Teluk Jakarta. Lokasi Teluk Jakarta, pesisirnya membentang dari Tanjung Pasir di sebelah Barat dan Tanjung Karawang di sebelah Timur.

Berstatus menjadi Taman Arkeologi Onrust. (Foto: Lisdiana Sari)

Papan informasi di bekas lokasi Barak Karantina Haji di Pulau Onrust. (Foto: Lisdiana Sari)

Asal tahu saja, sejarah Pulau Onrust bahkan lebih tua dari cerita kehadiran kolonial Belanda di Indonesia. Menurut Arkeolog, Candrian Attahiyyat, adalah Prasasti Kebon Kopi yang diketahui menceritakan tentang Kerajaan Sunda pada abad 10. Wilayah kerajaan mencapai pesisir Teluk Jakarta. Sebutan KALAPA sebagai pelabuhan baru ada pada sekitar tahun 1.500-an, tertulis pada manuskrip lontar karya Bujangga Manik.

KALAPA tak lain adalah pelabuhan yang paling bagus dan terbaik. Disinilah banyak kapal berasal dari Sumatera, Palembang, Laue, Tanjung Pura, Malaka, Makassar, Jawa dan Madura. “Waktu itu, Kerajaan Sunda dan Portugis membuat perjanjian bilateral pada 1522, yang isinya antara lain: Menjalin persahabatan, Portugis diberi hak monopoli perdagangan, Portugis diizinkan membangun benteng, dan Portugis setiap tahunnya wajib memberi upeti seribu karung lada,” ujarnya.

Sayangnya, perjanjian bilateral ini batal. Pelabuhan KALAPA berhasil dikuasai Fatahillah, gabungan Demak dan Cirebon, pada 1527. “Pada masa kekuasaannya, Fatahillah memerintahkan membangun kota pesisir dan pelabuhan yang diberi nama JAYAKARTA,” urai Candrian yang sejak 1986 bekerja di Pemprov DKI Jakarta dan pensiun pada 2013.

Disinilah bekas lokasi Barak Karantina Haji (1911 - 1933) di Pulau Onrust. (Foto: Lisdiana Sari)

Teluk Jakarta di Masa VOC

Candrian melanjutkan, setahun sesudah Jayakarta ditaklukkan, VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) merencanakan pembangunan kota baru yang dinamakan BATAVIA. “Rancangan kota menggunakan konsep kota ideal Simon Stevin dimana blok-blok diatur simetris yang dipisahkan dengan kanal. Kota Batavia dirampungkan selama 30 tahun yakni 1620 – 1650,” jelas lulusan Arkeologi UI pada 1985 ini.

Dibawah kekuasaan VOC, peran Teluk Jakarta menjadi lebih penting. “Di sepanjang pesisir dibangun benteng yang menandakan sebagai batas wilayah kekuasaan. Gugusan pulau yang ada di perairan Teluk dibagi menjadi 2 sektor. Pulau Onrust menjadi pos pertahanan paling depan pada sektor Barat, dan Pulau Edam untuk sektor Timur. Pada masa itu, dagang dan perang dilakukan VOC semata-mata demi mempertahankan monopoli perdagangan,” papar Candrian.

Referensi lain dari Museum Kebaharian Jakarta menyebutkan, pada tahun 1610, VOC diberi izin oleh Pangeran Jayakarta, Wijayakrama untuk membangun loji (kantor dagang) di sebelah timur kali Ciliwung. VOC juga diberi izin menggunakan 4 pulau yaitu Onrust, Cipir, Kelor dan Bidadari sebagai tempat perbaikan atau galangan kapal. Sesudah VOC menguasai Jayakarta, 30 Mei 1619 dan mengganti nama Batavia, pulau-pulau tersebut menjadi semakin ramai dengan kegiatan galangan kapal, bongkar muat rempah-rempah. Galangan kapal di Pulau Onrust bahkan menjadi yang terbaik dan terbesar se-Asia pada abad 17 dan 18.

Beginilah suasana karantina haji di Pulau Onrust. (Foto: kanzulqalam.com)

Pemandangan Pulau Cipir dengan reruntuhan bangunan bekas Rumah Sakit Haji, Rumah Dokter dan sebagainya, yang masih berkaitan dengan Barak Karantina Haji di Pulau Onrust. (Foto: Lisdiana Sari)

Sesuai namanya, Onrust atau sibuk (tanpa istirahat), pulau ini terus bergeliat dengan kesibukan galangan kapal dan bongkar muat rempah-rempah tadi. Pulau dengan luas sekitar 12 hektar ini, bahkan dihuni hampir 1.000 orang yang terdiri dari pegawai VOC, tentara VOC, pekerja galangan kapal dan pekerja bongkar muat rempah-rempah.

Kompasiana Blogtrip

Sebegitu banyak kisah dan peninggalan bersejarah di Pulau Onrust ini, saya saksikan langsung pada Kompasiana blogtrip bertajuk Pesona Bahari yang didukung sepenuhnya oleh Kementerian Pariwisata dan difasilitasi PT Seabreez Indonesia, pada 24 – 25 Oktober 2015. Ada 20 Kompasianer yang beruntung dan bersama sejumlah admin Kompasiana, tergabung dalam blogtrip seru sekaligus menampilkan pesona indonesia ini. Rombongan berangkat dari dermaga (pier) 15 di Marina Ancol dengan terlebih dahulu berlabuh di Pulau Bidadari. Barulah, dari sini rombongan menuju ke Pulau Onrust dan Kelor.

Adapun ke Pulau Cipir, sayang sekali karena waktu yang terbatas, maka rombongan hanya melintasinya saja, tanpa berlabuh. Tetapi, menyaksikan Pulau Cipir dari kejauhan sudah terlihat puing-puing bangunan yang aslinya berwarna putih. Menurut Candrian, di Pulau Cipir memang sarat dengan puing yang bermacam-macam fungsi. Mulai dari Rumah Sakit, Rumah Dokter, dan Rumah Sakit Karantina Haji. Rupanya memang, dahulu kala antara Pulau Onrust dan Pulu Cipir ini saling berkaitan, bahkan sempat dibangun jembatan, meski kemudian hancur akibat terjangan gelombang badai. Artinya, para jamaah haji yang mengalami sakit, akan dipindahkan dari Pulau Onrust ke Pulau Cipir.

Arkeolog Candrian Attahiyyat memberi penjelasan tentang Teluk Jakarta kepada rombongan. (Foto: Lisdiana Sari)

Penemuan arkeologi hasil ekskavasi di Pulau Onrust. (Foto: Museum Kebaharian Jakarta)

Masih di Pulau Onrust, yang namanya berusaha dilokalkan menjadi Pulau Kapal, Arkeolog Candrian Attahiyyat kepada rombongan menjelaskan, barak karantina haji ini pernah dioperasionalkan pada 1911 – 1933.

“Tujuannya, untuk mencegah berkembangnya wabah penyakit menular yang bisa saja diderita para jamaah haji, sesudah melakukan perjalanan panjang selama 6 bulan untuk beribadah haji. Apabila dokter yang bertugas menyatakan bahwa mereka dalam kondisi yang sehat, maka lamanya waktu karantina di Pulau Onrust ini hanya seminggu, untuk kemudian mereka diberangkatkan menuju kampung halaman atau kotanya masing-masing. Barak karantina haji di Pulau Onrust ini berhenti dipergunakan pada 1933, seiring beroperasinya Pelabuhan Tanjung Priok,” jelas Pak Can, sapaan akrabnya.

Selain sisa bangunan barak karantina haji, dapat juga disaksikan lubang yang cukup dalam dan sengaja dibuat pada masa lalu untuk menampung air bersih (clean water reservoirs). Kontruksi lubangnya masih tertata rapi, meskipun pemanfaatannya tentu saja sudah tidak memungkinkan lagi. Menurut papan informasi yang tersedia, ada delapan kamar dalam lubang reservoir yang saling berhubungan satu sama lain. Adapun kapasitas daya tampung air bersihnya mencapai 50.000 liter.

Bekas tempat penampungan air bersih di Pulau Onrust. (Foto: Lisdiana Sari)

Pak Can menambahkan cerita tentang bagaimana VOC melakukan aksi untuk membendung serangan endemik tikus yang membawa berbagai virus penyakit. “Belanda membuat konstruksi penangkal tikus yang dibuat untuk mencegah wabah penyakit endemik yang disebarkan oleh tikus dan jelas berakibat sangat merugikan. Konstruksi penangkal tikus ini dibuat dengan model pagar batu bata rapat dan pelat baja yang ditanam sampai dengan kedalaman 1 meter. Ini sengaja dibuat untuk mencegah tikus dapat masuk ke dalam bangunan-bangunan yang ada di Pulau Onrust ini,” urainya.

Menurut Candrian, tim arkeologi DKI Jakarta dibawah Museum dan Sejarah pada kurun 1977 – 1995 melakukan serangkaian penelitian arkeologi periode kolonial, baik dalam bentuk survei maupun ekskavasi di pulau maupun di pesisir Teluk Jakarta. Penelitian yang cukup berhasil adalah ketika mengungkapkan sejarah Pulau Onrust dengan menemukan sisa struktur pondasi Benteng Pulau Onrust yang luasnya hampir 2/3 pulau, dan 2 struktur kincir angin. Selain struktur, ditemukan juga pecahan keramik, sisa perbengkelan dan sepatu besi.

Ada juga makam orang-orang Belanda di Pulau Onrust ini. Jumlahnya mencapai 40 makam yang masih tersisa, dan kebanyakan mereka meninggal dunia di usia muda lantaran terserang penyakit tropis. Dapat juga disaksikan di sini, makam seorang wanita bernama Maria yang dipercaya merupakan istri pejabat VOC. Tak hanya makam orang-orang kolonial Belanda, makam kaum pribumi juga nampak terlihat dengan nisan yang sederhana berujud batu-batu kecil saja.

Beginilah bekas tempat penampungan air bersih di Pulau Onrust. (Foto: Lisdiana Sari)

Dari Pulau Onrust, rombongan Kompasiana blogtrip menuju Pulau Kelor. Jaraknya tidak jauh, hanya sekitar 10 menit menggunakan boat dari Pulau Onrust. Pulau Kelor yang luasnya sekitar 5 hektar ini seringkali disebut Pulau Kerkhof atau kuburan.

Di Pulau Kelor, sisa bangunan bersejarah yang dapat disaksikan adalah Benteng Martello. Benteng yang dibangun pada 1850 ini berstatus sebagai situs Benda Cagar Budaya berdasarkan Perda Pemprov DKI Jakarta No.9 Tahun 1999. Menara Martello masih dapat kita saksikan, berupa bangunan melingkar yang terdiri dari batu bata merah yang mereka kuat, dengan jendela-jendela sebagai tempat memantau sekaligus menembakkan meriam artileri ke arah musuh.

Benteng ini juga menjadi saksi sejarah betapa dahsyatnya amuk gelombang tidal (tsunami) yang ditimbulkan akibat letusan Gunung Krakatau pada 1883. Rentetan timeline-nya begini. Pada 1800, Inggris menggempur keempat pulau (Bidadari, Onrust, Cipir dan Kelor) di Teluk Jakarta ini sampai luluh lantak. Praktis, Batavia dikuasai Francis dengan Gubernur Jenderalnya Herman William Daendels, yang kemudian dikuasai Inggris dengan Gubernur Jenderalnya Sis Stamford Raffless.

Papan informasi tentang sekitar 40 makam orang-orang Belanda di Pulau Onrust. (Foto: Lisdiana Sari)

Nisan makam Maria yang dipercaya sebagai istri dari pejabat VOC kala itu. (Foto: Lisdiana Sari)

Memasuki tahun 1820, Hindia Belanda kembali berkuasa, dan keempat pulau ini dibangun lagi, antara lain dengan memprioritaskan pembangunan Benteng Martello di semua pulau. Tapi untuk saat ini, seperti yang saya dan rombongan Kompasiana blogtrip saksikan sendiri, sisa Benteng Martello hanya ada di Pulau Kelor dan Pulau Bidadari. Apalagi, pada 1883, keempat pulau diterjang tsunami sebagai dampak letusan super volcano Gunung Krakatau, yang mengakibatkan sebagian benteng menjadi rusak berantakan.

Selain itu, referensi dari Museum Kebaharian Jakarta menyebutkan, memasuki abad ke-20, selain menjadi barak karantina haji dan rumah sakit haji pada 1911 – 1933, Pulau Onrust juga dijadikan sebagai tempat tahanan-tahanan kalangan pergerakan Nasional non koperatif sampai Belanda bertekuk lutut pada Jepang tahun 1942.

Wilayah Barat Teluk Jakarta dibawah pengawasan Pulau Onrust. Dan sebelah Timur dibawah pengawasan Pulau Edam. (Sumber: Makalah Arkeolog Candrian Attahiyyat)

Penampakan maket Pulau Onrust. (Foto: Lisdiana Sari)

Pada babak Jepang berkuasa inilah, Pulau Onrust, Cipir, Kelor dan Bidadari dijadikan sebagai tempat para tahanan Jepang. Orang-orang Belanda dan Eropa yang bermusuhan dengan Jepang ditahan di empat pulau ini, lagi-lagi sampai Jepang menyerah kalah pada 14 Agustus 1945.

Sejarah masih berlanjut. Pada era Kemerdekaan, keempat pulau ini sempat dijadikan tempat penampungan pasien penyakit Kusta yang kemudian ditutup pada 1960. Tapi kemudian, diubah menjadi tempat latihan perang untuk melaksanakan Operasi Pembebasan Irian Barat.

Di nisan makam orang-orang Belanda yang ada di Pulau Onrust. (Foto: Lisdiana Sari)

Ada juga makam keramat di Pulau Onrust. (Foto: Lisdiana Sari)

Pulau Bidadari, The Heritage and Nature

Rombongan Kompasiana blogtrip menginap di Pulau Bidadari, tepatnya di Bidadari Eco Resort. Saya dan tiga Kompasianer wanita lainnya mendapat jatah kamar di Cendro 2. Di pulau ini, terdapat sisa Benteng Martello juga. Selain itu, ada juga Patung Bidadari, Monumen Elang Bondol, dan Pohon Sejuta Cinta yang akarnya saling menjuntai untuk kemudian melilit menjadi satu. Ada juga rusa-rusa bertanduk yang sangat jinak. Tapi, hewan bukan hanya rusa, ada juga biawak yang ukurannya lumayan super. Maklum di pulau ini terdapat pembibitan tanaman bakau/mangrove (rhizophora).

Fungsi tanaman bakau memang banyak sekali. Situs satwa.net membagi fungsi tersebut menjadi lima. Pertama, fungsi pohon bakau secara fisik:

  • menjaga garis pantai tetap stabil dari abrasi air laut.
  • menahan sedimen secara periodik hingga terbentuk lahan baru.
  • melindungi pantai dari proses erosi.
  • sebagai kawasan penyangga proses rembesan air laut ke danau, juga sebagai filter air asin menjadi air tawar.

Kedua, fungsi kimia pohon bakau:

  • tempat terjadinya proses daur ulang oksigen.
  • penyerap karbondioksida.
  • pengolah bahan-bahan limbah hasil pencemaran industri dan kapal di laut.

Tempat Pembibitan Tanaman Bakau di Pulau Bidadari. (Foto: Lisdiana Sari)

Papan peringatan kepada pengunjung untuk tidak mengambil hewan dari dalam hutan bakau. (Foto: Lisdiana Sari)

Ketiga, fungsi biologi hutan bakau:

  • kawasan berkembangbiak bagi burung dan satwa.
  • sumber plasma nutfah dan sumber genetika.
  • habitat alami bagi berbagai jenis biota darat dan laut.
  • penghasil bahan pelapukan yang menjadi makanan penting bagi invertebrata kecil yang juga berperan sebagai sumber makanan bagi hewan yang lebih besar.
  • kawasan pemijahan (spawning ground) dan daerah asuhan (nursery ground)
  • daerah mencari makanan (feeding ground) bagi plankton.

Keempat, fungsi ekonomi hutan bakau:

  • sebagai bahan baku industri.
  • penghasil bibit ikan, udang, kepiting, dan telur burung serta madu (nektar).
  • penghasil kayu bakar, arang serta kayu untuk bangunan dan perabot rumah tangga

Kelima, fungsi wisata hutan bakau:

  • kawasan wisata alam pantai untuk membuat trail mangrove.
  • sumber belajar bagi pelajar.
  • lahan konservasi dan lahan penelitian.

Monumen ikon Pulau Bidadari yaitu Elang Bondol. (Foto: Lisdiana Sari)

Pohon Sejuta Cinta di Pulau Bidadari. (Foto: Lisdiana Sari)

Rusa bertanduk yang jinak di Pulau Bidadari. (Foto: Lisdiana Sari)

Oh ya, yang menarik, Bidadari Eco Resort memiliki fasilitas cottage dengan dua jenis. Land cottage, dan floating cottage atau yang mengapung di atas laut. Berbagai layanan aktivitas lain juga bisa dimanfaatkan pengunjung, seperti jet sky, banana boat, three cruiser island, canoe single dan double, shooting, photo pre wedding yang umumnya dilakukan di sisa bangunan Benteng Martello, meeting room dan masih banyak lagi.

Sisa bangunan Benteng Martello. (Foto: Lisdiana Sari)

Sisa bangunan Benteng Martello menjadi situs Benda Cagar Budaya. (Foto: Lisdiana Sari)

Jadi, kapan Anda ke sini (lagi)? Berwisata bahari sambil mengulik kisah sejarah yang penuh noktah.

Salam Pesona Bahari!

 

o o O o o

 

Foto #1: Sisa bangunan Benteng Martello di Pulau Bidadari. (Foto: Lisdiana Sari)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun