“Tujuannya, untuk mencegah berkembangnya wabah penyakit menular yang bisa saja diderita para jamaah haji, sesudah melakukan perjalanan panjang selama 6 bulan untuk beribadah haji. Apabila dokter yang bertugas menyatakan bahwa mereka dalam kondisi yang sehat, maka lamanya waktu karantina di Pulau Onrust ini hanya seminggu, untuk kemudian mereka diberangkatkan menuju kampung halaman atau kotanya masing-masing. Barak karantina haji di Pulau Onrust ini berhenti dipergunakan pada 1933, seiring beroperasinya Pelabuhan Tanjung Priok,” jelas Pak Can, sapaan akrabnya.
Selain sisa bangunan barak karantina haji, dapat juga disaksikan lubang yang cukup dalam dan sengaja dibuat pada masa lalu untuk menampung air bersih (clean water reservoirs). Kontruksi lubangnya masih tertata rapi, meskipun pemanfaatannya tentu saja sudah tidak memungkinkan lagi. Menurut papan informasi yang tersedia, ada delapan kamar dalam lubang reservoir yang saling berhubungan satu sama lain. Adapun kapasitas daya tampung air bersihnya mencapai 50.000 liter.
Pak Can menambahkan cerita tentang bagaimana VOC melakukan aksi untuk membendung serangan endemik tikus yang membawa berbagai virus penyakit. “Belanda membuat konstruksi penangkal tikus yang dibuat untuk mencegah wabah penyakit endemik yang disebarkan oleh tikus dan jelas berakibat sangat merugikan. Konstruksi penangkal tikus ini dibuat dengan model pagar batu bata rapat dan pelat baja yang ditanam sampai dengan kedalaman 1 meter. Ini sengaja dibuat untuk mencegah tikus dapat masuk ke dalam bangunan-bangunan yang ada di Pulau Onrust ini,” urainya.
Menurut Candrian, tim arkeologi DKI Jakarta dibawah Museum dan Sejarah pada kurun 1977 – 1995 melakukan serangkaian penelitian arkeologi periode kolonial, baik dalam bentuk survei maupun ekskavasi di pulau maupun di pesisir Teluk Jakarta. Penelitian yang cukup berhasil adalah ketika mengungkapkan sejarah Pulau Onrust dengan menemukan sisa struktur pondasi Benteng Pulau Onrust yang luasnya hampir 2/3 pulau, dan 2 struktur kincir angin. Selain struktur, ditemukan juga pecahan keramik, sisa perbengkelan dan sepatu besi.
Ada juga makam orang-orang Belanda di Pulau Onrust ini. Jumlahnya mencapai 40 makam yang masih tersisa, dan kebanyakan mereka meninggal dunia di usia muda lantaran terserang penyakit tropis. Dapat juga disaksikan di sini, makam seorang wanita bernama Maria yang dipercaya merupakan istri pejabat VOC. Tak hanya makam orang-orang kolonial Belanda, makam kaum pribumi juga nampak terlihat dengan nisan yang sederhana berujud batu-batu kecil saja.
Dari Pulau Onrust, rombongan Kompasiana blogtrip menuju Pulau Kelor. Jaraknya tidak jauh, hanya sekitar 10 menit menggunakan boat dari Pulau Onrust. Pulau Kelor yang luasnya sekitar 5 hektar ini seringkali disebut Pulau Kerkhof atau kuburan.
Di Pulau Kelor, sisa bangunan bersejarah yang dapat disaksikan adalah Benteng Martello. Benteng yang dibangun pada 1850 ini berstatus sebagai situs Benda Cagar Budaya berdasarkan Perda Pemprov DKI Jakarta No.9 Tahun 1999. Menara Martello masih dapat kita saksikan, berupa bangunan melingkar yang terdiri dari batu bata merah yang mereka kuat, dengan jendela-jendela sebagai tempat memantau sekaligus menembakkan meriam artileri ke arah musuh.
Benteng ini juga menjadi saksi sejarah betapa dahsyatnya amuk gelombang tidal (tsunami) yang ditimbulkan akibat letusan Gunung Krakatau pada 1883. Rentetan timeline-nya begini. Pada 1800, Inggris menggempur keempat pulau (Bidadari, Onrust, Cipir dan Kelor) di Teluk Jakarta ini sampai luluh lantak. Praktis, Batavia dikuasai Francis dengan Gubernur Jenderalnya Herman William Daendels, yang kemudian dikuasai Inggris dengan Gubernur Jenderalnya Sis Stamford Raffless.