“Pemberian penghargaan atas karya jurnalistik MH. Thamrin ini, sekaligus untuk membuktikan hasil kerja para wartawan telah memenuhi ketentuan normatif tersebut. Sehingga wartawan dalam melaksanakan pengawasan, kritik, koreksi dan saran terhadap kinerja Pemerintah Provinsi DKI Jakarta selalu berlandaskan kepentingan umum, bukan atas dasar kepentingan pribadi,” jelas Endang yang kini mengelola majalah wanita Puan Pertiwi.
Ahok Akan Terus Lawan Wartawan Rasis
Sementara itu, dalam sambutannya, Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama mengungkapkan perilaku wartawan yang seringkali hanya mencari-cari kesalahan instansi dan pejabat dinas yang berada dalam naungannya. “Wartawan itu ada yang cenderung mencari kelemahan, kesalahan dari SKPD yang ada di lingkungan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Makanya saya dari dulu, sejak jadi Bupati, saya sering diliput oleh wartawan tanpa surat kabar atau “WTS”, entah seminggu sekali, atau sebulan sekali, saya paling demen (senang – red) diliput oleh mereka. Karena, mereka ini seringkali justru mencari-cari kesalahan seluruh dinas dan pejabat yang ada dibawah naungan saya. Jadi saya mendapatkan auditor gratis. Saya mendapat pengawas gratis,” tutur gubernur yang akrab disapa Ahok ini seraya disambut gelak tawa hadirin.
Selain itu, Ahok juga menyampaikan rasa terima kasih kepada insan pers yang telah banyak memberitakan berbagai aktivitas dan kegiatan yang dilakukan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. “Baik yang pemberitaannya tendensius, maupun yang dilatarbelakangi oleh “pesanan” dari “belakang” atau dari politisi. Saya bisa baca, yang mana berita yang bermuatan “pesanan” maupun yang memancing saya marah untuk supaya dapat angle penulisan berita. Saya sengaja saja, saya suka. Kenapa? Bagi saya, black campaign itu pada dasarnya adalah campaign juga. Dari dulu, saya enggak pernah takut dengan media, karena saya selalu percaya bahwa yang namanya emas, sekalipun dibakar akan tetap menjadi emas. Tapi, kalau yang namanya bangkai, biar disembunyikan akan tetap tercium baunya. Kita tidak bisa melakukan pencitraan terus-menerus. Kalau kita melakukan pencitraan yang tidak berasal dari hati nurani, hasrat dan pikiran kita, maka pasti akan selalu ada masalah. Makanya, kami sangat beruntung dapat hidup di era pers yang merdeka,” tutur Ahok disambut tepuk tangan gemuruh tamu undangan.
Tapi, Ahok memperingatkan, apabila ada pers yang rasis, maka tidak pantas disebut sebagai pers Indonesia. “Ini harus sangat jelas. Kalau Anda para jurnalis ini berlaku primordialisme, maka Anda tidak pantas disebut sebagai pers Indonesia. Karena seluruh organisasi di negara ini pada dasarnya Pancasila dan UUD ’45. Ini yang membuat saya selalu melakukan perlawanan, apabila para insan pers menulis beritanya secara rasis, maka saya akan terus melawannya sampai mati. Sangat tegas, karena negara ini didirikan dengan darah dan nyawa para pejuang. Pancasila disusun, dipertahankan, dan pada setiap 1 Oktober kita peringati bersama sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Ini bukan sebuah hal yang murah,” urai gubernur kelahiran Manggar, Belitung Timur, 29 Juni 1966 ini.
Untuk itu, Ahok menghimbau kepada pers untuk menulis pemberitaan yang berimbang. “Jangan tendensius, atau hanya sekadar “dibeli” oleh oknum partai demi mencari kekayaan. Saya kira, pers pasti memiliki idealisme, bukan untuk mencari uang. Kalau politisi masuk ke politik hanya mencari uang, PNS masuk juga hanya uang mencari uang, lalu pers juga bekerja untuk mencari uang, maka negara ini akan hancur,” kata suami dari Veronica ini.
Pada kesempatan ini Ahok juga menyinggung tentang kasus Kampung Pulo. “Media massa suka salah juga, dengan menyebut bahwa saya membongkar rumah-rumah di Kampung Pulo. Padahal, saya tidak pernah membongkar rumah-rumah di Kampung Pulo. Jangan salah. Karena, yang saya bongkar adalah rumah liar di bantaran Kali Ciliwung, yang lokasinya ada di sebelah Kampung Pulo. Sekali lagi, yang saya bongkar adalah rumah yang dibangun di atas bantaran Kali Ciliwung, hasil pengurukan sampah. Akibatnya, lebar Kali Ciliwung yang dulungan 20 meter, kini tinggal menjadi 5 meter saja. Kata siapa harusnya 20 meter? Itu kata Kementerian Pekerjaan Umum (PU) Pusat, dan mendasarkan pada kajian Pemerintah Kolonial Belanda waktu itu. Tapi pemberitaan di media massa justru saya diberitakan membongkar dan menggusur Kampung Pulo, lha ini dari mana sumbernya? Jadi mohon maaf nih, kadang-kadang saya menilai insan pers sekarang jadi kurang rajin membaca sejarah. Saking malas baca sejarah, tapi nanyanya ke sejarawan seperti JJ Rizal,” urai Ahok disambut gelak tawa.