Mengapa Perempuan Tidak Boleh Padam dalam Menyuarakan Transisi Energi Berkelanjutan?
Kalau ditanya mengapa perempuan tidak boleh padam dalam menyuarakan transisi energi berkelanjutan? Jawabannya tidak lain karena implikasi dari perubahan ketersediaan dan distribusi pangan, air bersih dan energi akibat perubahan iklim membawa dampak yang begitu signifikan bagi perempuan. Sebab, selain diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pribadi, perempuan kerap memikul beban ganda terkait pengelolaan energi dalam skala rumah tangga, termasuk dalam memilih sekaligus memenuhi kebutuhan pangan dan air bersih di lingkup keluarga.
Ini belum berbicara soal siklus hidup kaum hawa yang jauh lebih kompleks dari lawan jenisnya. Kita tentu tahu, bahwa dalam kurun waktu tertentu, sebagian besar perempuan akan melalui fase menstruasi, hamil, melahirkan dan menyusui. Kondisi ini tentu membuat kebutuhan air bersih dan bahan pangan bernutrien tinggi perempuan menjadi lebih banyak dari biasanya. Sayangnya, kebutuhan sekaligus peran perempuan yang berlipat ganda tersebut menjadi begitu rentan jika dihadapkan dengan laju perubahan iklim yang kian hari kian tidak terkendali.
Dampak pemanasan global tidak pernah main-main. Satu diantaranya bahkan sudah kita rasakan bersama. Selain anomali cuaca yang menyebabkan fenomena kenaikan suhu dan permukaan air laut yang ekstrem, intensitas hujan juga terasa menurun. Masalahnya, hujan yang terjadi akhir-akhir ini bisa dibilang ekstrem. Soalnya sekalinya hujan, meski hanya sebentar tapi bisa bikin kebanjiran. Tidak jarang hujan juga disertai dengan angin ribut dan dentuman petir yang begitu menggelegar. Â
Perubahan iklim semacam ini tentu menjadi catatan tersendiri yang patut untuk diwaspadai. Selain menyebabkan gagal panen, dampak perubahan iklim juga berpotensi mengancam 50% kehidupan spesies alami di bumi. Ini belum berbicara soal resiko bencana alam. Ternyata perubahan iklim juga dapat meningkatkan intensitas El Nino, kebakaran hutan dan angin puting beliung. Catatan Badan Nasional Penanggulangan Bencana tahun 2017 bahkan menyebut dari 1328 kejadian bencana yang terjadi kala itu, 99% diantaranya merupakan bencana terkait hidrometeorologi. Yang tidak lain merupakan bencana terkait iklim.
Sadar akan dampak pemanasan global, kini berbagai pihak mulai bersinergi mewujudkan transisi energi. Sebutan untuk upaya dalam menekan risiko pemanasan global yang berpotensi mengancam kehidupan yang layak di masa mendatang. Transisi energi kini mulai gencar dilakukan dengan mengganti penggunan sektor energi berbasis fosil (minyak bumi dan batu bara) dengan berbagai sumber energi baru dan terbarukan seperti energi angin, surya, air hingga energi berbasis biomassa.
Mengapa demikian? Karena pemanasan global erat kaitannya dengan lonjakan jejak karbon harian yang dilepaskan ke atmosfer. Dengan alasan yang sama, kini transisi energi dunia berfokus pada upaya pengurangan emisi karbon dari berbagai sektor. Dalam momentum ini, Indonesia pun turut berpartisipasi. Pada COP 28 (Conference of Parties 28), sebutan untuk rapat tahunan PBB yang membahas isu iklim yang digelar akhir tahun lalu di Dubai, Indonesia kembali menegaskan komitmen untuk mencapai nol emisi karbon pada 2060 atau lebih awal lagi.
Melihat korelasi yang demikian erat antara perempuan dan perubahan iklim, keterlibatan perempuan dalam menjembatani transisi energi lokal yang berkeadilan menjadi penting untuk didengar. Mengapa harus transisi energi adil? Karena setiap orang berhak mendapatkan akses penghidupan yang layak, termasuk di dalamnya kelompok rentan mulai dari bayi, balita, ibu hamil atau menyusui, penyandang cacat atau diffabel hingga orang lanjut usia. Dengan Transisi Energi Adil yang mudah dan murah untuk didapat, potensi kelompok rentan untuk mendapatkan akses penghidupan yang layak pun bisa lebih mudah untuk dipenuhi.
Kita Tidak Sendiri, Oxfam Turut Bersinergi
Sadar akan pentingnya dampak perubahan iklim bagi perempuan, kini transisi energi adil mulai banyak disuarakan oleh berbagai pihak, mulai dari pemerintah, kelompok-kelompok mandiri dalam masyarakat seperti kelompok Dasawisma yang sempat saya singgung di awal cerita hingga berbagai NGO yang beroperasi di Indonesia. Khusus untuk opsi yang terakhir, gerakan konfederensi Oxfam cukup menarik perhatian saya.