Kita mungkin sepakat bahwa tidak semua orang mampu membangun rumah modular yang minim sampah konstruksi. Namun sebagai bagian dari populasi yang sehat akal budi, sudah seharusnya kita membangun kesadaran pribadi untuk memilah, atau bahkan mengolah sampah domestik sendiri. Biopori-biopori di atas saya maknai sebagai wujud kepedulian dalam menyambut Hari Peduli Sampah Nasional yang diperingati setiap tanggal 21 Februari. Semoga dengan mengingat tragedi meledaknya TPA Leuwigajah yang merenggut ratusan korban jiwa tersebut menyadarkan kita untuk senantiasa bijak dalam mengelola sampah.
Jadi, meski kondisi ekonomi membuat sebagian dari kita belum memungkinkan untuk memasang solar home system pribadi atau membeli alat transportasi listrik yang lebih rendah emisi, tetapi semangat mewujudkan lingkungan sustainable yang lebih layak huni harus menjadi prioritas yang tidak bisa ditunda barang sehari. Alasannya sederhana saja. Karena udara yang segar, juga tersedianya air, bahan pangan serta tempat tinggal yang memenuhi standar kesehatan merupakan kebutuhan dasar dalam setiap nafas peradaban.
Sayangnya, kebutuhan primer di atas kini menjelma sebagai barang langka yang susah didapat. Satu diantaranya terjadi karena kondisi lingkungan yang kian tercemar akibat “suntikan” polusi yang tiada henti. Di Indonesia sendiri, pencemaran lingkungan menjadi pemandangan yang jamak ditemukan, mulai dari tepian jalan, kawasan sekitar pemukiman hingga merembet ke area persawahan di tengah pedesaan.
Iya. Teman-teman tidak salah baca. Kini masalah pengelolaan sampah tidak hanya menjadi momok di kawasan perkotaan saja, tetapi sudah menjelma menjadi problematika hingga ke pelosok desa. Satu diantaranya bahkan sempat saya abadikan karena terjadi di dekat rumah saya di Jogja sana. Segarnya udara pagi selepas hujan ternyata menyisakan pemandangan sukar dilupakan. Pasalnya saluran irigasi di area persawahan yang berjarak 47 langkah dari tempat tinggal saya mendadak dipenuhi gunungan sampah anorganik yang kebanyakan berasal dari sampah kemasan berbahan dasar plastik.
Bu RT saya sampai mengeluh kalau seharian kemarin waktunya habis hanya untuk memungut sampah dari area sawah yang akan ia tanami. “Baru kemarin dibersihkan, ternyata besok paginya ada lagi. Sampah bawaan tersebut mengalir bersama dengan air dari saluran irigasi”, ujarnya pada saya. Orang-orang menyebutnya dengan istilah sampah bawaan. Karena satu aliran irigasi, hal senada juga dialami oleh tetangga-tetangga saya, termasuk simbah puteri dan Pak Gito. Seorang kawan bapak yang setia menjalani profesi sebagai petani.
Saat saya tanya sejak kapan fenomena sampah bawaan semacam ini terjadi, pria berusia 73 tahun tersebut menjawab, “Parah-parahnya sejak terjadi pandemi, mbak”. Artinya permasalahan sampah ini memang sudah lama mendera, hanya saja sejak pandemi melanda, pengelolaan sampah diasa kian memburuk saja. Padahal area sawah di samping rumah saya itu baru saja melewatkan satu kali musim tanam dampak dari musim kemarau yang berkepanjangan. Kok ya saat air untuk irigasi datang, bonusan yang didapat verupa berupa sampah yang jumlahnya “segudang”.
Kondisi ini diperparah dengan membludaknya jumlah sampah yang masuk ke Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) Piyungan. Overload muatan inilah yang membuat TPST Piyungan sempat ditutup sementara waktu pada September 2023 lalu. Karena kesadaran masyarakat dalam mengelola sampah kasih kurang, penutupan TPST Piyungan tentu memiliki efek domino yang cukup panjang. Satu diantaranya adalah maraknya fenomena pembuangan hingga pembakaran sampah liar di sekitar Jogja.