Bagi saya pribadi, melabeli diri sebagai generasi sadar resiko keuangan merupakan wujud nyata saya dalam berpartisipasi menjaga perekonomian negara. Disadari ataupun tidak, impian besar ini ternyata dapat dimulai dari hal sesederhana: "bijak dalam mengonsumsi produk keuangan".
Selain berprinsip gunakan sesuai kebutuhan, bukan keinginan, saya tidak lupa untuk menyesuaikannya dengan profil resiko dan kemampuan bayar yang saya miliki. Agar tak ada lagi istilah lebih besar pasak daripada tiang. Lebih besar hutang daripada pendapatan. Saya percaya bahwa keuangan warga negara yang sehat merupakan cikal bakal kuatnya perekonomian sebuah negara.
Hal ini bermula dari kita.
***
Enam tahun lalu akhirnya saya memutuskan untuk menggunakan fasilitas auto debit untuk membayar biaya bulanan asuransi kesehatan. Selain mengurangi resiko lupa bayar yang umumnya berujung pada "hukuman" berupa denda, saya ingin meminimalisir permasalahan yang mungkin terjadi saat hendak membayar biaya bulanan tersebut. Satu diantaranya kita kenal dengan sebutan gangguan teknis.
Benar saja, tak berselang lama dari keputusan saya untuk memanfaatkan fasilitas auto debit tersebut, ada kawan seangkatan yang mengeluhkan kejadian gagal bayar karena gangguan teknis. Sebenarnya alasan gagal bayarnya bukan 100% karena adanya gangguan teknis saja. Kebiasaan bayar di hari terakhir turut andil dalam permasalahan ini. Ditambah lagi bayarnya lewat perantara yang mengharuskan untuk keluar rumah. Sudah rugi waktu dan biaya transport, kalau gagal bayar karena limit waktu biasanya auto bikin produktivitas menjadi terganggu.
Belajar dari hal sepele tapi berujung melelahkan jika sampai kelupaan atau terjadi gangguan seperti contoh kasus di atas, saya mulai tertarik dengan campaign dengan jargon "Manfaatkan Produk Keuangan" yang digembar-gemborkan banyak pihak itu. Paling tidak kian hari kian terasa manfaatnya. Kadang dapat cashback, kadang dapat diskon. Kalau dihitung-hitung, lumayan banget buat penghematan.
***
Maklum saja, waktu itu saya harus bolak balik Jogja ke tempat kerja, yang notabene berada di luar kota. Selama berbulan-bulan lamanya Ibu Kota dan Tanah Banua alias Banjarmasin menjadi tempat singgah rasa rumah. Karena jadi kantor dadakan, meski terbilang cukup jauh dari Jogja, kedua kota tersebut harus rutin dikunjungi.
Benar kiranya ungkapan "Wiwiting tresno jalaran seko kulino". Bahwa cinta bisa datang karena terbiasa. Persis seperti salah satu produk keuangan yang sudah saya singguh di depan.