Penting, tapi jarang diminati. Inilah gambaran profesi petani saat ini. Bahkan mungkin ungkapan seperti "Belajar yang giat ya le, nduk, biar besok hidupnya enak, tidak jadi petani seperti bapak" bukan menjadi hal yang asing lagi. Jadi jangan heran jika kawan-kawan jarang melihat petani berusia muda saat jalan-jalan ke kawasan pedesaan yang dihiasi lahan pertanian. Salah satunya ya di area persawahan di samping rumah saya.
Terlahir sebagai cucu petani yang kebetulan bermukim di desa membuat saya tidak asing lagi melihat fenomena di atas. Mulai dari tebar benih hingga panen padi, semuanya dilakukan oleh mereka yang telah berumur.
Dulu, sewaktu masih duduk di bangku sekolah dasar saya kerap diajak kakek untuk panen, utamanya kalau area sawah sedang ditanami komoditi pangan selain padi seperti kacang panjang ataupun kacang kedelai.
Dulu sawah kakek memang memberlakukan rotasi tanam di sawah miliknya. Kadang ditanami padi, kadang tebu, kadang kacang-kacangan bahkan pernah disewa pula untuk menanam melon. Berbeda dengan sekarang yang dari waktu ke waktu selalu ditanami padi.
Mengenal Petani Naik Kelas
Dalam helatan EXPO UKM Istimewa 2019 misalnya. Saya bertemu dengan Ibu Surati. Pemilik artisan tea berlabel Teh Samigiri. Produk lokal khas Kulonprogo yang dikemas dengan cukup baik.
"Monggo dicicipi tehnya, Mbak. Ini teh premium asli Kulon Progo", ujarnya sembari tersenyum.
![Teh Samigiri dari Kulonprogo (Dokumentasi Pribadi)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2019/05/22/1ef2e261-273f-4ed4-b129-7d9b1bb54967-5ce57a7e95760e4fe7579589.jpg?t=o&v=770)
"Ini teh dari kebun saya sendiri, Mbak", cerita Bu Surati dengan penuh semangat. Salah satu petani teh dari Samigaluh yang berhasil melebarkan sayapnya menjadi produsen teh premium di Kulonprogo.
"Setelah mendapat penyuluhan dari berbagai pihak, saya memberanikan diri untuk mengusung brand sendiri bernama Samigiri. Saya membuat dua jenis teh yakni spesial tea dan teh racikan biasa atau orang sering menyebutnya dengan nama teh angkringan alias teh tubruk".
Meski sama-sama dibuat dari daun teh pilihan, ada beberapa perbedaan yang ada pada Teh Samigiri. Khusus untuk spesial tea dibuat daun teh hijau muda dengan dua varian rasa, yakni teh hijau original dan teh hijau sereh. Sedangkan teh tubruk dibuat dari daun teh tua yang diberi tambahan pewangi alami dari bunga melati. Satu botol sedang Teh Samigiri dibanderol dengan harga yang cukup terjangkau, yakni Rp 15.000 saja.
![Ibu Surati, Petani Teh dari Kulonprogo (Dokumentasi Pribadi)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2019/05/22/4ea4546e-774e-431b-b91c-d9908a7cc324-5ce57a6b733c4339be0c4ef2.jpg?t=o&v=770)
Setelah mendengarkan penjelasan dari Ibu Surati, saya menjatuhkan pilihan pada Spesial Tea Samigiri versi original. Tak disangka, ibu ramah paruh baya ini menjelaskan kalau teh hijau buatannya itu bisa diseduh hingga 4 kali.
"Wah, sudah murah, enak, bisa diseduh berulang kali pula", batin saya dalam hati.
"Oiya, selain menjual teh, tahun ini kamu juga menyediakan paket wisata di kebun teh, Mbak. Mau paket petik tehnya saja bisa. Mau sekalian penginapannya bisa. Mau sekaligus sama makan-makannya juga bisa", tambahnya sesaat sebelum saya berpamitan.
Mungkin inilah contoh kecil petani naik kelas. Mereka sudah sadar bahwa produk yang dapat dijual tidak hanya bertumpu pada hasil cocok tanam saja, melainkan sudah merambah pada aneka produk turunannya, termasuk jasa wisata seperti yang ditawarkan Ibu Surati.
![Seduhan Artisan Tea dari Kulonprogo (Dokumentasi Pribadi)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2019/05/22/268447a6-18f7-4f6a-bae1-ec2f945aed88-5ce5624f95760e6d96373dc8.jpg?t=o&v=770)
Peluang Petani di Masa DepanÂ
Semestinya kita dapat belajar dari Ibu Surati. Bahwa petani merupakan profesi yang luwes karena bisa masuk ke berbagai lini strategis yang kini banyak dilirik konsumen. Kalau dulu petani hanya mampu menyediakan produk pangan (primer) semata, kini mulai bisa merambah ke berbagai sektor lainnya. Di Jogja sendiri kini sedang marak-maraknya helatan pasar sehat yang diisi oleh para artisan. Produk teh misalnya. Selain dijual dalam bentuk kering, kini banyak pula yang menjual aneka produk turunannya seperti dalam bentuk kombucha, sabun, sampo hingga dimanfaatkan sebagai fermentor alami untuk pembuatan roti sehat.
Selain belajar membranding produk sendiri, petani harus melek teknologi sehingga dapat memperoleh informasi terkait komunitas pengusaha di sekitar tempat tinggalnya. Dengan demikian, proses marketing dapat dilakukan melalui berbagai lini, termasuk pasar sehat yang kini banyak diselenggarakan oleh banyak pihak, mulai dari komunitas pengusaha hingga pameran produk lokal yang secara rutin dilakukan oleh berbagai instansi terkait, satu diantaranya adalah Dinas Koperasi UKM setempat. Semoga ide kecil ini dapat bermanfaat untuk kemajuan petani kita. Karena dari hasil kerja keras merekalah urusan perut kita dapat tetap terjaga.
Salam hangat dari Jogja,
-Retno-
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI