Penting, tapi jarang diminati. Inilah gambaran profesi petani saat ini. Bahkan mungkin ungkapan seperti "Belajar yang giat ya le, nduk, biar besok hidupnya enak, tidak jadi petani seperti bapak" bukan menjadi hal yang asing lagi. Jadi jangan heran jika kawan-kawan jarang melihat petani berusia muda saat jalan-jalan ke kawasan pedesaan yang dihiasi lahan pertanian. Salah satunya ya di area persawahan di samping rumah saya.
Terlahir sebagai cucu petani yang kebetulan bermukim di desa membuat saya tidak asing lagi melihat fenomena di atas. Mulai dari tebar benih hingga panen padi, semuanya dilakukan oleh mereka yang telah berumur.
Dulu, sewaktu masih duduk di bangku sekolah dasar saya kerap diajak kakek untuk panen, utamanya kalau area sawah sedang ditanami komoditi pangan selain padi seperti kacang panjang ataupun kacang kedelai.
Dulu sawah kakek memang memberlakukan rotasi tanam di sawah miliknya. Kadang ditanami padi, kadang tebu, kadang kacang-kacangan bahkan pernah disewa pula untuk menanam melon. Berbeda dengan sekarang yang dari waktu ke waktu selalu ditanami padi.
Mengenal Petani Naik Kelas
Dalam helatan EXPO UKM Istimewa 2019 misalnya. Saya bertemu dengan Ibu Surati. Pemilik artisan tea berlabel Teh Samigiri. Produk lokal khas Kulonprogo yang dikemas dengan cukup baik.
"Monggo dicicipi tehnya, Mbak. Ini teh premium asli Kulon Progo", ujarnya sembari tersenyum.
"Ini teh dari kebun saya sendiri, Mbak", cerita Bu Surati dengan penuh semangat. Salah satu petani teh dari Samigaluh yang berhasil melebarkan sayapnya menjadi produsen teh premium di Kulonprogo.
"Setelah mendapat penyuluhan dari berbagai pihak, saya memberanikan diri untuk mengusung brand sendiri bernama Samigiri. Saya membuat dua jenis teh yakni spesial tea dan teh racikan biasa atau orang sering menyebutnya dengan nama teh angkringan alias teh tubruk".